KETIKA Prabowo Subianto merayakan ulang tahunnya yang pertama, 17 Oktober 1952, sejumlah jenderal di bawah komando Kolonel A.H. Nasution melakukan “show force” di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Ini parade militer yang tak biasa. Anda tahu Medan Merdeka Utara bukan trek-trekan kendaraan lapis baja yang biasa sebagaimana saban Sabtu dini hari kita dapati jalan ring satu RI ini menjadi adu balap geng motor. Pasca Revolusi dan negara sedang di gerbang politik liberal, semua tank diparkir di barak.
Saat Prabowo dikecup banyak tamu di hari ulang tahunnya yang pertama, sejarah politik Indonesia geger oleh ulah koboi-koboian Nasution dan serdadu-serdadunya yang setia. Di pagi itu, pasukan yang dikawal Kemal Idris mengarahkan moncong tank ke arah kediaman Presiden Sukarno. Anda pasti tahu, menodongkan bedil ke muka presiden bukan suatu candaan yang lucu. Apalagi menodongnya dengan senjata berat berlubang besar kepunyaan tank. Ini gertakan paling kasar yang satu trip di bawah status “pemberontakan”.
Prabowo Subianto masih belajar menikmati sepatah dua patah kata antara bahasa Belanda, Inggris, Indonesia yang dibisikkan ibunda dan ayahandanya serta orang-orang terdekatnya, kala Nasution mempertontonkan kekesalannya sebagai seorang jenderal yang paling bersinar pasca “Madiun 48” dan agresi militer Belanda kedua. Dan Anda pasti tahu jika seorang jenderal kesal, bukan satu dua orang saja begidik bulu kuduk dibuatnya, melainkan satu semesta Republik.
Prabowo Subianto masih belajar merangkak saat Nasution berjudi dengan karir militernya yang cemerlang. Nasution memang serdadu yang kritis. Maklumlah, ia bukan dari laskar rakyat yang muncul dari keluarga di kampung-kampung yang nirgizi; laskar yang hanya bermodal keberanian tapi otak di bawah standar. Nasution serdadu lulusan KNIL. Tiap hari bergaul dalam bahasa Belanda dan di ruang kelas mempelajari politik militer dan taktik-taktik perang Eropa. Dan 17 Oktober adalah pertaruhan nasib Nasution yang paling heroik, tapi sekaligus menentukan langkah politiknya.
Prabowo Subianto masih teramat suci indera pendengarannya dari frase “DPR” dan politik parlemen ketika Nasution mengajukan tuntutan kepada Presiden Sukarno untuk membubarkan DPR. Bagi Nasution, komposisi DPR yang ada masih sisa-sisa kekacauan Revolusi. Nasution menganggap, mestinya tentara yang sudah mati-matian di garis depan pertempuran mendapatkan privelese untuk melakukan pembenahan internalnya tanpa campur tangan sedikit pun parlemen.
Pembenahan internal yang dimaksud Nasution adalah penyingkiran semua unsur Laskar Rakyat yang menempuh pendidikan militer secara “nonformal” dari Jepang. DPR yang dikuasai unsur-unsur revolusioner tidak membiarkan ide Nasution itu menggelinding mulus. Karena kesal, Nasution mengambil langkah berani menggertak Sukarno dengan tank untuk menghabisi parlemen.
Namun sial, dalam perjudian itu, Nasution justru terjungkat. Ia disingkirkan dari jabatan menterengnya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Dari serdadu priyayi dengan pet yang gagah, Nasution menjadi paria di telapak sepatu bot.
Namun Nasution tak menyerah. Dengan sisa-sisa optimisme politiknya untuk mendapatkan panggung, ia bersama serdadu “17 Oktober” bikin partai politik Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang kemudian kalah telak di Pemilu 1955.
Nasution memang kembali mendapatkan posisi tertingginya di Angkatan Darat pada Oktober 1955. Namun itu berkat kemurahan hati Sukarno. Nasution setelah itu adalah jenderal tanpa pasukan, tanpa inisiatif. Hingga Sukarno terjungkal oleh politik berdarah, sinar Nasution tetap meredup untuk selama-lamanya.
17 Oktober adalah kutukan bagi Nasution, dan sekaligus koinsidensi jalan militer untuk Prabowo Subianto. Sebagaimana Nasution, karir militer Prabowo begitu cemerlang. Sosoknya yang gagah, kecakapan bahasa dan intelejensi di atas rata-rata serdadu tidak mampu menyelematkannya dari “kutukan 17 Oktober”. Bintang-gemintang jenderal muda itu dicopot Presiden B.J. Habibie pada 1998 atas rekomendasi Dewan Kehormatan ABRI.
Namun, 63 tahun kemudian Prabowo Subianto berbeda sama sekali dengan Nasution. Walau karir militernya terjungkat 1998, ia kembali ke puncak politik lewat kendaraan partai politik yang didirikannya, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Dan ikhtiar yang sungguh-sungguh dari Prabowo itu hampir saja menjadikannya Presiden RI ke-7 jika tak ada wong nDeso dari Solo bernama Joko Widodo. Si kurus itulah yang melumatkan, tidak saja impi-impi pribadinya, melainkan juga impian keluarga besarnya yang kerap dimamahnya di meja makan.
Tapi Prabowo Subianto tak menyerah. Berbeda dengan Nasution, ia tak membubarkan parlemen. Dengan koalisi partai politik yang dipimpinnya, ia mengokupasi seluruh kursi pimpinan parlemen hingga tak tersisa lagi buat lawan-lawan politiknya.
Selamat Ulang Tahun Bapak Prabowo Subianto! [gusmuh]
* Versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo edisi 17 Oktober 2014