Kabinet Jokowi Kabinet Ayam Jantan Den Mojo

“Sudah bolak-balik saya katakan, saya bangun kabinet kerja” — Presiden Joko Widodo

Dan koran/majalah yang saya baca keesokan hari setelah pelantikan yang gegap-gempita 20 Oktober memasang judul-kepala di halaman pertama: “Kerja, Kerja, Kerja!” (Tempo), “Bekerja, Bekerja, Bekerja!” (Kedaulatan Rakyat), “Kerja, Kerja, Kerja” (Koran Merapi), “Ayo Bekerja!” (Solo Pos), “Selamat Bekerja, Presiden Rakyat!” (Suara Merdeka), dan “Lupakan Pesta, Saatnya Bekerja” (Pikiran Rakyat).

Betapa pun para redaktur itu bolak-balik menyusun kalimat, tetap saja intinya “Kerja”. Tapi pertanyaannya, mau kerja apa? Karena menurut kamus, kerja itu bisa diikuti apa saja, seperti kerja sambilan, kerja sampingan, dan kerja musiman. Bisa jadi, kalau tak mawas mencari sosok “yang berkarakter dan orisinal” (istilah Presiden Jokowi), frase kerja di kementerian bisa berubah menjadi “kerja musiman” dan bukan pengabdian yang tulus ikhlas untuk Ibu Pertiwi.

Maka dari itu, Presiden Jokowi berpayah-payah memberi penjelasan tambahan bahwa, “Saya tidak mau orang (ca-men) datang dengan program awang-awang, tataran konsep, wacana. Saya mau yang operasional, ada target. Bicara kedaulatan pangan, ya harus jelas berapa kilometer dibangun dalam setahun, berapa hektar lahan baru dibuka.”

Saya lebih suka memakai kata “produktif”. Sebab dalam hukum S-P-O-K, semua predikat umumnya kata kerja. Misalnya, “Saya bermimpi”. Bermimpi itu adalah kerja dalam hukum yang menjadi prinsip pengajaran di program “Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar” yang diampu Bapak J.S. Badudu saban Rabu di layar kaca kebanggaan masyarakat 80-an, TVRI. Jadinya, kerja yang di-jelentreh-kan Bapak Presiden bisa berubah menjadi bumerang. Melamun, betapapun negatif orang memandangnya, tetap saja kata kerja, bukan?

Produktif, selain bermakna banyak secara kuantitatif, juga terkait dengan manajemen waktu dan target yang dicapai. Bukan awang-awang, seperti kata Bapak Presiden.

Mencari pendamping hidup itu kerja mulia. Tapi dia akan menjadi pencarian sia-sia dan menjatuhkan “semangat petarung” yang dibangun sejak dari niat (frase yang yang dipakai Bapak Presiden dalam mencari ca-men) apabila tak pernah ada kejelasan, berapa lama pencarian itu berlangsung dan dengan cara apa meraihnya. Memangnya, mencari jodoh gak butuh ongkos dan tenaga, po? Sementara usia terus diringkus waktu.

Belajarlah dari ayam jantan saya yang hanya butuh semalam untuk menaklukkan hati pasangannya yang di jam-jam awal, naujubillah, lari dan liar bila didekati. Karena dalam jiwanya ada insting petarung dan penakluk, maka Tuhan membalas usahanya. Sangkil, mangkus, dan pagi keduanya sudah berproduksi secara bersama-sama (kawin).

Bapak Presiden Jokowi membayangkan mental sosok menterinya di Kabinet Produktif itu mungkin seketuk-sebunyi dengan bagaimana Pram memahami garis lurus produktivitas ke korupsi: “Mental bangsa ini konsumtif, tidak produktif. Akibatnya mental konsumtif ini melahirkan benua korupsi.”

Bagaimana Pram mengewajantahkan kultur produktif dalam hidup hariannya?

Alkisah, suatu sore anak tertua sastrawan Pramoedya Ananta Toer menanam bunga di halaman. Pram sebagai pemegang kekuasaan eksekutif paling tinggi di rumahnya tidak melihat perbuatan mulia itu, tertidur setelah seharian lelah bekerja di ladang. Keesokan paginya, astaga, saat turun ke tanah dilihatnya bunga-bunga. Tanpa berpikir panjang lagi, dicabutinya semua bunga itu. Kata Pram, bunga itu tidak produktif.

Pikiran Pram cepat, pendek, dan khas eksekutor, sebagaimana Presiden Jokowi adalah kepala eksekutif tertinggi dalam hukum tata negara. Pikirannya tidak mendakik-dakik, seperti memberi pemaknaan bahwa bunga adalah tanaman kiriman Ilahi agar hidup harian yang sumpek memiliki jeda; bunga adalah pernyataan kehalusan budi manusia sebagai makhluk pecinta. Untuk menegaskan bahwa bunga itu tumbuhan tak produktif, keesokan harinya, Pram mengganti bunga malang itu dengan tanaman cabe dan tomat.

Tidak hanya bunga saja menjadi korban dari “mental produktif” yang menyala-nyala dalam diri Pram, tapi juga kolam renang. Ya, di halaman rumah Pram yang berlantai lima di Bojong Gede itu tergeletak sebuah kolam renang 3 x 6 meter. Setiap Sabtu dan Minggu kolam itu dipergunakan cucu-cucunya untuk mandi, bergembira, dan bersenang-senang setelah sebelumnya semua keceriaan itu dirampas dengan biadab oleh Jakarta.

Mungkin semangat berproduksi yang menggelegak terus menggelitiki waham Pram, dengan sepihak ia memutuskan mengubah peruntukkan kolam renang itu, menjadi; kolam ikan. Tak lupa ia lepas beberapa ekor angsa yang dibelinya di pinggiran jalan raya untuk menjadi penghuni kolam renang yang mula-mula biru-bersih itu.

Pram berpikir, kolam renang kok tidak produktif. Menghabiskan begitu banyak tenaga untuk mengurasnya. Dengan menanam ikan di kolam renang, pikir Pram, kolam itu bisa berproduksi dan memberi protein harian bagi dia dan keluarganya yang hidup semata dari honor tulisan. Cucu-cucunya pun, apa boleh bikin, mengubah kesenangan bermain dalam air, menjadi makhluk tepian air yang sabar: memancing.

Khas berpikir Pram yang “produktif” itu khas berpikir Presiden Jokowi yang suatu hari bilang, “Kalau dikasih tantangan nyata di depan mata tapi jawabannya (ca-men) akademis (maksudnya ndakik-ndakik dan tak memberi solusi-operasional), ya tidak bisa masuk.”

Apalagi, pemerintahan Presiden Jokowi ini butuh duit sangat besar untuk menjalankan programnya. Kalau bajeting itu terganjal oleh palu parlemen, sosok petarung dan bermental produktif yang dibayangkan Presiden Jokowi tidak langsung jatuh semangat.

Bagi petarung yang bermental produktif, kekurangan bukan untuk ditangisi, tapi dicarikan jalan keluarnya secepat-cepatnya, semisal menggenjot penerimaan pajak dan menaikkan BBM. Ups.

Contoh paling melatanya begini. Anda tahu honor di mojokdotco itu kecilnya berlipat-lipat dibandingkan dengan menulis di web yang dikelola Denny Januar dan Fatin Hamama. Tapi orang produktif dan berprinsip tidak lalu memaki-maki pendiri web ini, tapi selalu berkata pada dirinya sendiri: tidak apa, biar kecil asal dipakai untuk kehidupan produktif insya Allah berkah.

Maka membeli sepasang ayam dari honor itu adalah salah satu pilihan produktif, ketimbang jor-joran dihabiskan beli pulsa untuk telepon cem-ceman, ongkos internetan untuk skype dan chatting via FB tiap malam, biaya bioskop, bill restoran, ongkos parkir di perpus Malioboro, dan membeli buku mahal di Gramedia untuk merampok hati sang pujaan.

Tak tahunya, si dia yang diincar sepenuh ikhtiar dan menghabiskan honor yang tak seberapa dari mojokdotco itu berstatus masih resmi pacar orang. Lalu stress dan merenggut kemampuan menulis selama berminggu-minggu. Nah, siapa yang rugi?

Pada akhirnya hidup yang produktif adalah banyak kerja banyak akal. Jika tampak sedikit naif, tak apa, maafkan saja.

Post-Script: Nama si cebolang (cebol anggun) ini Den Mojo yang merupakan akronim ” Deni dari Mojok”. Saat tulisan ini dimuat, Den Mojo sudah membuahi betina tercintanya dan, plung, hadirlah dua telur. Den Mojo adalah pejantan produktif dan berpikir ces ces ces. Alih-alih nyari penyakit di dunia kesuasteraan, hari-hari Den Mojo semata dihabiskan untuk bercinta dan berproduksi.

* Pertama kali dipublikasikan di situs daring mojok.co, 24 Oktober 2014