“Untuk saat ini hanya Ibu Megawati yang kami yakini tetap tepat memimpin kami agar bisa solid.” ~ Rieke Diah Pitaloka, penulis dua buku puisi.
Konsistensi adalah sikap tetap sama dari awal sampai akhir. Lebih lengkapnya ini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: kon.sis.ten (a) tetap (tidak berubah-ubah).
Pernyataan penyair dan sekaligus kader-tengah-jalan Rieke Diah Pitaloka yang saya kutipkan di atas adalah bukti konsistennya Ibu Mega. Bagi Ibu, menjadi Ketua Partai itu harus konsisten. Dari awal sampai akhir.
Ketika teman-teman seangkatannya sudah tinggal tenang duduk di beranda rumah sambil ngemong cucu, memelihara tanaman, memberi makan ikan lohan, beternak ayam ketawa, atau berlari-lari kecil tiap pagi di gang kecil, Ibu Mega tetap tegak di singgasana partai. Seperti Ratu Elizabeth yang anggun.
Sebutkan saja satu nama tokoh parpol—dari partai mana saja—yang seangkatan Ibu Mega yang sekonsisten itu; tetap menjadi ketua umum dari partai yang sama yang didirikannya sendiri. Ada? Tidak ada.
Ibu Megawati adalah perempuan yang keras hati dan keras kepala. Saat dia bilang pada 1987, pasti kembali lagi ke Istana Merdeka setelah dia dan saudara-saudaranya diusir dengan tidak terhormat pascagestok, Ibu Mega sudah bersiap dengan segala risikonya. “Aku naar Merdeka Utara,” begitu katanya.
Konsisten dengan kata-kata itu, dia menjadi perempuan oposan paling konsisten di panggung politik Indonesia. Dan kata-katanya “Aku naar Merdeka Utara” terbukti pada 2001; walau didapatkan lewat turbulensi politik yang gawat.
Soal gawat-gawatan, Ibu Mega adalah ratunya. Namanya saja diambil dari situasi saat lahir di Kota Jogja. Mega lahir saat langit Jogja ditudungi mega-mega gelap yang dicambuki petir dan semburan bulir hujan segede-gede beras impor dari Bangkok.
Soal gawat-gawatan, Ibu Mega mengalaminya secara paripurna. Partainya diobrak-abrik sejak 1993 di Surabaya dan puncaknya adalah ketika kantornya dirusak lawan politiknya pada pagi 27 Juli 1996. Ibu Mega tetap konsisten melawan dan sabar serta ikhlas menjalani konsekuensinya.
Ketika jagat raya bersekutu memenangkan partai yang dibangunnya dengan airmata kesengsaraan dan penistaan, Ibu Mega tetap seperti Ibu Mega. Tetap anggun, berwibawa, tak banyak omong, gak dendam dan konsisten memekikkan kata-kata “Merdeka!”.
Tapi, kata banyak orang, Ibu Mega itu pendendam. Buktinya, setiap upacara kenegaraan sewaktu SBY jadi presiden, Ibu Mega tidak pernah mau hadir. Itu kan dendam.
Saya beritahu, gosip jangan terlalu lama dipelihara. Sudah ditanya belum, apakah Ibu Mega di hari suci kebangsaan itu, ada waktu luang untuk upacara-upacaraan? Kan bisa jadi pas upacara itu, Ibu Mega sibuk luar biasa di rumah. Ah, paling Ibu Mega cuma sibuk merias di kamarnya seperti saat lelaki Prabowo tandang. Eh, kalau kamu bilang merias diri bukan kata kerja, bakar saja itu KBBI.
Bukti kronik saya bahwa Ibu Mega bukan pendendam politik adalah saat Ibu dan semua anasir partainya justru mencalonkan tokoh militer yang menyerang kantornya pada 27 Juli dan melukai banteng-banteng kecil yang berjaga dalam gedung serta jadi sebab pemuda macam Budiman Sudjatmiko dan kompatriotnya jadi paria. Kalau Ibu Mega dendam, itu si Sutiyoso sudah membusuk di Cipinang. Tapi buktinya tidak, bukan?
Ibu Mega, sampai di sini konsisten sebagai perempuan welas asih. Tapi sekaligus tegas. Pendiam, tapi jangan anggap enteng. Kalau dibilangnya NKRI itu warisan Sukarno yang harus dijaga sampai mati, maka bila ada yang ngeyel diajaknya perang.
Begitu juga soal Budi. Budi itu harga mati. Ibu konsisten dengan sikapnya. Sekali diputuskan dan diajukan, pantang ditarik kembali. Ngeyel, seruduk. Kalau Budi, ya Budi. Bukan Bambang, bukan Andi, dan bukan-bukan lainnya. Apa pun yang terjadi Budi tak bakal ditinggalkan Ibu.
Ketika Samad ujug-ujug menghadang, Ibu kirimi Hasto. Bambang menghalangi, Ibu ‘kirimi’ Sugianto. Si Adnan merintangi, Ibu Mega ‘kirim’ si Mukhlis yang memiliki arsiran dengan pemilik saham PT Daisy Timber, si Emir Moeis. Moeis adalah pentol-an PDIP yang kehormatannya dirusak KPK dengan bui.
Mirip pemain catur, Ibu Mega adalah pemain yang selalu berani berhadap-hadapan dan nggak main kotor dengan mengajak pemain lawan ngobrol intim, sementara tangannya yang lain curang mencuri anak-anak catur lawan.
Presiden Jokowi paham betul dengan karakter Ibu Mega yang konsisten itu. Makanya dia amit-amit mau frontal. Soeharto yang monster politik saja bisa dilawannya, apalagi cuma si kurus dari kampung Tirtoyoso, Manahan, Surakarta.
Soal konsistensi dalam memimpin partai, Ibu Mega pasti lebih konsisten dari bapaknya, Sukarno. Dalam hal ini Pramoedya benar bahwa Mega bukan representasi Sukarno. Mega lebih jago dari Sukarno.
Dalam soal? Soal lamanya memimpin partai nasional. Juga soal memenangkan kontestasi dalam pemilu. PNI menang sekali; PDIP menang berapa kali? Nah.
Sukarno saja tidak sampai 4 tahun pimpin PNI. Bahkan sewaktu masih menjabat presiden, kader-kader PNI yang menang Pemilu 55 itu ditinggalkan Sukarno.
Alih-alih dekat dengan kader-kader PNI yang dongok dan elite-nya senang bertengkar ketimbang diajak mikir bersama menjalankan revolusi yang gak selesai-selesai, Sukarno malah lebih dekat ke PKI.
Bahkan makin ke sini, pidato Sukarno dibikinkan orang kominis. Sukarno minta dibikinkan tari nasional, Lekra dalam sekejap menyerahkan tari lenso. Mungkin saking stresnya mimpin LKBN yang mandek, Sitor Situmorang malah
lebih banyak main di Lekra. Begitu juga Sukarno lebih enjoy dikelilingi seniman lukis dari Lekra yang kreatif.
Soal konsistensi menjaga anak-anak penghela working ideology-nya, Ibu Mega tak perlu diragukan. Budi adalah segalanya bagi Ibu Mega. Seperti kata Hasto, Budi itu profesional. Makanya komandan penembak orang-orang Talangsari, Hendropriyono, lugas saja bilang: lantik saja Budi, selesai perkara.
Percayalah, ketika Ibu Mega membikin pengguna internet mangkel, itu bukan perkara tunggal. Ibu Mega memang nyebelin dan bikin gawat saja. Lha bukankah situasi gawat-gawatan adalah inti dari arti “perjuangan” yang melekat di nama partai Ibu Mega: perkelahian dan peperangan!
Perjuangan yang tak (di)gawat(kan) tak pantas disebut perjuangan. Dan kegawatan saat ini sungguh tak sebanding dengan kegawatan yang pernah dialami Ibu Mega.
Ibu Mega sendiri adalah kegawatan. Tidak gawat, bukan Ibu Mega. Clear. Konsisten.
Dalam mega-mega hitam kegawatan itu, Ibu Mega hanya ingin menjadi guru bagi bangsanya, ia tak rela melihat mental rakyatnya yang terpelajar di kota setengah gila macam Jakarta tampak cengeng dan cepat puas diri. “Jangan mabuk kepayang dengan kemenangan,” pesan Ibu Mega itu jelas.
Ya, Ibu Mega itu guru tua dalam kelas yang menguji murid-muridnya yang hidup di alam komunikasi serbagajet dan serba tidak jelas ini tapi ingin sekali disebut melek politik—yang bahkan berambisi lebih melek dari politisi yang sudah berpolitik sejak dari orok. Ibu Mega hanya ingin melihat anak-anak ini bisa sekonsisten dirinya atau tidak
dalam menegakkan hati yang tercabik-cabik oleh arena catur politik.
Hidup Ibu Mega! Pertahankan terus prestasi Ibu yang luarbiasa tidak biasanya ini. Ibu adalah guru sejati dalam soal daya tahan menanggungkan keresahan hati.
Merdeka sampai pikun, Ibu! Cium tangan dan kaki untuk Ibu! Gawat adalah kita.
* Pertama kali diunggah web mojok.co, 28 Januari 2015