Jamak diketahui syuting pertama film besutan Usmar Ismail, “Darah dan Doa” atau populer dikenal “The Long March” dijadikan sandaran penetapan Hari Film Nasional. Tapi Hari Film yang kita peringati setiap tahunnya ini tak berlangsung mulus di era perkubuan politik film hingga pemerintahan Sukarno tumbang.
Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik adalah satu kubu. Kubu lain adalah sutradara-sutradara kiri yang berafiliasi politik pada semangat Asia Afrika; termasuk di dalamnya Sukarnois di lingkaran BMKN/PNI, PKI, Lekra.
Posisi Usmar dalam perkubuan politik film ini ambigu. Terutama Usmar. Di satu sisi, ia adalah eksponen Lesbumi-NU yang menjadi sekutu dalam lingkar Nasakom. Mestinya posisinya “aman” saat politik Sukarno condong ke kiri. Sebab bagaimana pun NU adalah saudara politik PKI dan PNI di bawah Sang Bapak Pengasuh.
Apalagi karya-karya Usmar acap dipuji pegiat film kiri, terutama film-film buatannya yang bertema patriotik. Termasuk “Darah dan Doa” yang syuting pertamanya dijadikan tonggak perfilman nasional kiwari.
Usmar dan Djamaluddin juga mendapat apresiasi dari kalangan kiri ketika ia mengambil jalan inisiatif membuat studio film (Perfini, Usmar; Persari, Djamaluddin) yang merupakan cikal rumah industri film nasional pasca Indonesia Merdeka.
Namun kecaman datang menggelombang saat Usmar-Djamaluddin mencoba keluar dari tema-tema Manipolis. Sekondan Usmar, yakni Djamaluddin yang berpikiran maju dalam perniagaan, punya kans kuat mempengaruhi Usmar dan bersama-sama memproduksi film-film hiburan, drama cinta-cintaan melow, seperti halnya film-film Amerika yang deras menerjang bioskop Jakarta.
Gesekan sosial pertama terjadi ketika di Hotel Homann Bandung. Komite aksi dari 31 unsur masyarakat, termasuk kalangan komunis dan Islam, membentuk “Panitia Aksi Pemberantasan Tjabul”. Tugas utama komite ini menggerebek acara “Film-ball” yang dihadiri aktor dan aktris papan atas seperti Mieke Widjaja, Tina Melinda, Indrijati Iskaq, Lies Noor, Farida Ariani, Mimi Marjani, Bambang Hermanto, dan tentu saja Usmar Ismail.
Dan pasca kejadian itu, Usmar tak pernah bisa tidur dan melupakan peristiwa yang mempermalukan dirinya di hadapan publik seperti itu. Dalihnya memang moral. Tapi motif politik penggerebekan ini adalah ancaman Usmar-Malik menutup studio-studio di bawah naungan PPFI karena kekangan berekspresi dan dukungan dana dari negara loyo.
Selain Perfini, studio yang hendak ditutup PPFI itu adalah Persari, Singgabuana, Bintang Surabaja, Golden Arrow, Tan & Wong Bros, dan Olympiad. Padahal studio-studio itu oleh Sukarnois dan kubu kiri didukung sepenuhnya karena menjadi piranti kebudayaan penting untuk jalan politik negara.
Pahamlah kita kemudian mengapa Usmar menjauh dari politik perkubuan Nasakom. Usmar tidak nyaman dengan politik “Trisakti” Sukarno yang di jalanan berbentuk pengganyangan Nekolim.
Menjauhnya Usmar dari Nasakom membuat namanya seakan lenyap dari riuhnya politik film antara tahun 1963 hingga 1965. Tonggak utama perfilman di tahun-tahun ini adalah saat Indonesia menjadi tuan rumah Festival Film Asia Afrika (FFAA) ke-3.
Nama Usmar kian terbenam ketika 10 ribu massa menghadiri pembukaan FFAA 19 April 1964 di Istora Senayan Jakarta. Presiden Sukarno dengan lantang menyerukan kesetiakawanan Asia-Afrika (dan Amerika Latin) kepada perwakilan pekerja film dari 26 negara yang ikut serta untuk mengembangkan film nasional di masing-masing negara peserta.
Sejarawan film pasca 65 kerap mengecilkan peristiwa ini sekadar ambisi kotor PKI dan kegilaan Sukarno pada massa yang merusak film dan membangkrutkan bioskop. Sejarawan film mengabaikan peristiwa keterlibatan sineas-sineas dari negara Asia Afrika di mana film-filmnya punya layar sempit dan pendek usia di bioskop Indonesia yang dikuasai sepenuhnya Amerika lewat badan niaga mereka bernama AMPAI.
Sejarawan film juga lupa bahwa Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) ini bukan hanya domain PKI dan keluarga ideologisnya, tapi juga terdapat unsur Muslimat NU, Pemuda Katolik, GMNI, Pemuda Pantjasila, GMKI, dan PMKRI. Dan panitia yang melakukan perlawanan atas dominasi film Amerika di bioskop ini mendapat “restu” dari Presiden Sukarno.
Gerakan menjadikan film nasional berdaulat di bioskopnya sendiri itu berlangsung massif di pelbagai kota: Jakarta, Bandung, Tegal, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Palembang, Padang, Banjarmasin, Kendari, Makassar, dan Menado.
Semangat melambarinya adalah Komunike FFAA pada 30 April 1964 yang dibacakan aktor Rendra Karno di hadapan Presiden Sukarno di Istana Negara. Hari pembacaan kertas politik film inilah kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional yang baru. Sekaligus “merevisi” Hari Film sebelumnya yang ditetapkan 30 Maret 1962 dalam Konferensi Kerja Dewan Film Nasional.
Hari Film Nasional pada 30 April menjadi momen kedaulatan film nasional. Dan masa perayaan Hari Film ini hanya berlangsung satu kali untuk kemudian raib selama-lamanya. Publik film kemudian selamanya tahu bahwa Hari Film Nasional itu tunggal dan tak ada duanya.
* Edisi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo Minggu, 29 Maret 2015