Ketika semangat KAA di ulangtahunnya ke-60 di tahun 2015 ini lebih menampakkan diri konferensi untuk bertukar kabar investasi dan bisnis-perjalanan (turisme) ketimbang isu geopolitik, saya teringat kaum jurnalis.
Dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 jurnalis dan penulis adalah darah utama yang membikin Dasasila Bandung — atau lebih dikenal “Spirit Bandung” — bergaung luas. Tapi jurnalis bukan sekadar pewarta dan penonton peristiwa. Dengan bersandar pada “Spirit Bandung” 1955 itu jurnalis Asia-Afrika membangun solidaritas sewindu setelahnya. Solidaritas itu bernama Konferensi Wartawan Asia Afrika (KWAA).
Saya bisa memastikan inilah konferensi jurnalis terbesar yang diselenggarakan di Indonesia yang melibatkan negara-negara di Asia Afrika dan juga komunitas jurnalis yang diundang secara khusus dari pelbagi negara sosialis di Jerman, Yugoslavia, Kuba, dan Uni Sovyet. Namun, konferensi ini pula yang paling senyap dalam linimasa sejarah pers kita.
Penyungkilan KWAA dalam derap historiografi mirip pendeportasian sejarah Inlandsche Journalisten Bond (IJB) tahun 1914 dalam album besar pers Indonesia.
KWAA dibuka Presiden Sukarno di Istana Olahraga Gelora Bung Karno pada 23 April 1963. Pemilihan tempat pembukaan ini menunjukkan enigma konferensi ini; sekaligus menunjukkan solidaritas akbar jurnalis-jurnalis kiri.
Spanduk panjang dan umbul-umbul buatan seniman Lekra dibentangkan. Beberapa patung raksasa dipasang untuk dilewati defile. Dan, bertambah meriah karena belasan dari negara-negara peserta KWAA membawa serta kesebelasan timnas sepakbola-nya untuk memperebutkan “Sukarno Cup” di Istora GBK.
“Djakarta Declaration”
Utusan jurnalis dari 40 negara yang hadir dari 23 April hingga 30 April 1963 itu membawa semangat yang sama, sebagaimana dituangkan dalam “Djakarta Declaration”. Deklarasi itu menyerukan bahwa “Wartawan-wartawan Asia Afrika mengabdikan dirinya kepada perjuangan melawan imperialisme-kolonialisme” (Asia-African journalist dedicate themsleves to struggle against imperialism-colonialism)“.
Perjuangan yang tak sederhana karena di sana ada langgam yang mesti dijadikan panduan bersikap menghadapi kenyataan yang ingin diberitakan kepada masyarakat. Jurnalis Asia-Afrika lewat “Djakarta Declaration” menabuh genderang perang bahwa mereka adalah–pinjam istilah Sukarno–prajurit pena yang barangkali bisa kalah-alat, tapi tidak boleh kalah-propaganda untuk merebut hati rakyat.
Kepada jurnalis yang memiliki kesadaran dan watak revolusioner macam inilah perlawanan terhadap penindasan masyarakat dikuatkan. Seminar dan sidang-sidang komisi maupun pleno KWAA selama sepekan bukan saja menjadi ruang berbagi pengalaman bagi jurnalis-jurnalis dalam melakukan praktik di negaranya masing-masing, tapi juga menunjukkan kepada dunia kebangkitan dan persatuan besar jurnalis kiri di Asia Afrika.
Boleh dibilang KWAA menjadikan Kota Jakarta menjadi kota historis dalam solidaritas jurnalis Asia-Afrika. Jika Bandung dikenal sebagai leluhur dan ibukota KAA, maka Jakarta menjadi ibukota dari mana jurnalis progresif-revolusioner memperoleh semangat kesetiakawanan di seantero Asia-Afrika.
PWI & KWAA
Kepada PWI dan pemerintahan revolusioner Indonesia, jurnalis-jurnalis dari RRT, Ghana, Republik Demokrat Vietnam, Korea Utara, Iran, Kuwait, Kenya, Kamerun, bahkan Kuba dan Yugoslavia memberikan uluk terimakasih. PWI yang bertindak sebagai tuanrumah dianggap mampu menyuntikkan “Spirit Bandung” dalam kultur jurnalistik negara-negara Asia-Afrika.
Tapi di sinilah soalnya. Justru dalam historiografi PWI, peristiwa bersejarah ini terkucilkan. PWI emoh memasukkan KWAA dalam linimasa sejarah penting perjalanan pers Indonesia; bahkan perjalanan-sukses PWI sendiri. Jika pun KWAA dimasukkan, mesti yang dibahas kelakuan jurnalis komunis yang tak punya adat sama sekali dalam menyabot PWI untuk kepentingan liarnya menghancurkan Pancasila.
Ya, penyebab PWI emoh tak lain disebabkan organisasi utama wartawan Indonesia ini terseret arus dalam perkubuan hebat setelah KWAA. Dan perkubuan ini dimenangkan jurnalis kiri dalam tubuh PWI yang mendapat restu dari Presiden Sukarno.
Bagi jurnalis kiri yang mengambil alih kemudi PWI ini, KWAA dijadikan tonggak bagaimana kultur jurnalistik kita dipahatkan; terutama sekali bagaimana jurnalis mesti menyatakan sikap tegas di hadapan kekuasaan yang tak berpihak kepada kelas warga negara kebanyakan.
KWAA yang bersandar pada “Spirit Bandung” mengingatkan bahwa sejarah jurnalistik kita sebangun dan tak terpisahkan dalam langgam gerakan kebangsaan menuju Indonesia Merdeka. Jurnalistik kita adalah jurnalistik yang berpihak.
Dalam bahasa koran kiri progresif macam Harian Rakjat, KWAA bersepakat menyingkirkan diktum “pers untuk pers” karena memperlemah posisi berdiri jurnalis saat dimintai sikap di pihak siapa dia berdiri. Semangat inilah yang dituangkan dalam organisasi baru jurnalis bentukan KWAA setelah melakukan muhibah-sejarah ke Bandung: Organisasi Wartawan Asia Afrika (OWAA).
* Edisi cetak dipublikasikan pertama kali Harian Koran Tempo Minggu, 19 April 2015