Jokowi dan Infrastruktur (Buku)

Mimpi besar Presiden Yang Terhormat Jokowi dalam frase “kerja, kerja, kerja” pada akhirnya kita tahu adalah infrastruktur. Menurut kamus Tesaurus Bahasa Indonesia (2006), padanan kata infrastruktur adalah prasarana. Dan kata “prasarana” ini tak dipakai. Lebih keren infrastruktur, sekeren infrared dan ultraviolet.

Infrastruktur ini tentu saja bukan lagi berada dalam taraf impian. Sebab 2015, terutama bulan Mei, bukan musim debat capres, melainkan saat turunnya gelontoran triliunan dana untuk belanja infrastruktur.

Hitung-hitungan yang beredar, Jokowi mengantongi kertas daftar belanja infrastruktur sebesar lebih kurang Rp 5.500 triliun. Hanya seiprit dari dana gulita Bank Century atau fulus yang diembat Eddy Tanzil di Bapindo tahun 1995.

Dari jumlah itu, Jokowi cuma punya uang 21 persen, selebihnya dipasrahkan ke swasta. Maka jangan sewot ketika ratusan CEO dunia didatangkan ke forum yang kelahirannya tahun 1955 dilambari semangat antikolonial dan antiimperialis, KAA 60. Bagi Jokowi yang sedang deg-degan memegang daftar belanja infrastruktur, yang penting ketersediaan sisa fulus infrastruktur 79%, tak peduli fulus itu datang dari negara imperialis yang dilinggis dan disetrika KAA.

Namun Jepang sudah memberi palang syarat: penggunaan produk mereka sebesar 30 persen. Korea Selatan juga menyaratkan 30-50 persen memakai alat dan tenaga dari negeri mereka. Sementara Jerman meminta 85 persen penggunaan produk buatannya. Bahkan, Rusia meminta 100 persen menggunakan produknya untuk membangun infrastruktur. Nah.

Tapi baiklah, lupakan syarat-syarat itu. Jokowi tengah berjibaku dengan mengumpulkan remah-remah dana yang ada. Demi pembangunan prasarana, eh bukan, demi pembangunan infrastruktur ini pula, nyaris seluruh dana sosial masyarakat dialirkan ke sana. Tersebutlah dana pensiun pegawai, dana asuransi kesehatan, dan bahkan tabungan haji. Dana-dana itu warbyasa memang besarnya dan selama ini secara tradisional diinvestasikan dalam bentuk deposito, obligasi, reksadana. Tapi demi infrastruktur, dana itu dialih-investasikan demi cerita sukses mega impian infrastruktur.

Di sektor energi, pacu infrastruktur sudah dimulai dari pantai Bantul, Yogyakarta. Ambisinya terbangun pembangkit listrik 35.000 megawatt. PLN cuma mampu bangun 10.000 megawatt, sisanya diserahkan kepada investor.

Di ujung timur Indonesia, selain membebaskan secara simbolik 5 tapol Papua dan membebaskan jurnalis asing masuk Papua, Jokowi mencanangkan pembangunan sentra pertanian seluas 4,6 juta hektar di Merauke. Pembagiannya: 70 persen digarap BUMN dan sisanya diserahkan ke investor. 

Sementara itu “petani maha besar” macam Monsanto, perusahaan agrikultur multinasional di Amerika Serikat, sudah pemanasan untuk segera masuk bersama segala benih rekayasa genetiknya (benih terminator) untuk tumbuh di areal (infrastruktur) pertanian yang disiapkan secara saksama oleh Jokowi. Warbyasa, revolusi hijau jilid II siap bersanding elegan dengan revolusi mental.

Soal rumah rakyat, Jokowi perhatian betul. Di tangannya, rincian daftar belanja untuk infrastruktur perumahan sebesar 94,57 triliun. Kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat uang itu diberikan untuk tersedianya 217.725 rumah sederhana tapak (RST) dan 30.000 rumah susun sederhana milik (rusunami).

Tol laut (short sea shipping) sudah diberangkatkan dari Pelabuhan Panjang (Lampung) menuju Perak (Surabaya) di pekan pertama Mei. Ini menandai gong infrastruktur di tepian air sudah berkecipak. Di tepian air, rincian infrastrukturnya adalah: pembangunan 24 pelabuhan baru, pelabuhan penyeberangan di 60 lokasi, pengadaan 26 kapal barang perintis, 2 kapal ternak, dan 500 unit kapal rakyat.

Jokowi saat peresmian pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera Ruas Bakauheni-Terbanggi Besar mengatakan bakal menjewer dan menginjak-injak parapihak yang tak beres mengerjakan tol. Termasuk dalam pengerjan tol ruas Palembang-Simpang Indralaya (Sumatera Selatan) dan tol Solo-Ngawi-Kertosono (Jateng-Jatim).

Untuk infrastruktur di jalan raya ini, Jokowi memberikan rincian belanja: pemeliharaan jalan 46.770 km, jalan baru 2.650 km, jalan tol 10000 km seperti Daendels Project di era VOC. Selebihnya Jokowi ingin ngenyek SBY yang selama 10 tahun hanya bisa bangun jalan sepanjang 38.570 km ketimbang Jokowi bertekad bangun 45.592 km dalam 5 tahun saja.

Sementara Jokowi sibuk menimang belanja infrastruktur tol, industri otomotif dunia sedang menghitung laba menggiurkan yang diperoleh dengan penjualan produk mereka untuk mengisi setiap jengkal ruas tol yang makin panjang itu.

Sebagai bagian dari revolusi mental, mental inlander di hadapan kaca benggala kolonial harus dienyahkan. Memangnya hanya kolonialis Belanda yang bisa bangun infrastruktur kereta api untuk kesejahteraan VOC (pusat). Jokowi juga bisa. Makanya Indonesia yang dipimpin Jokowi juga mau bangun jalur kereta api di Sumatera, Sulawesi, dan tambahan di Jawa dengan panjang total 3.258 km terdiri dari KA antarkota dan antarperkotaan.

Di udara, infrastruktur untuk bandara juga sudah tersedia rinciannya: pembangunan 15 bandara baru, pengadaan 20 pesawat perintis, dan kargo udara di 6 lokasi. Infrastruktur pembangunan angkutan massal cepat di perkotaan juga sudah tersedia hitungan rincinya.

Pendek kata, semua daftar belanja infrastruktur darat, laut, udara itu sudah tersedia. Boleh dibilang Jokowi tinggal berangkat belanja ke toko besi dan bangunan yang terdekat (lokal) dan membereskan syarat-syarat nggilani dari Jepang, Korsel, Jerman, Rusia, dan sederet investor asing lainnya. Tapi Jokowi memang berharap banyak pada Tiongkok. Apalagi “negeri tanpa google” ini sudah memberi investasi awal Rp 523,3 triliun untuk bisa dimanfaatkan membangun infrastruktur.

Sampai di paragraf ini saya masih teramat sulit untuk masuk dalam bahasan infrastruktur buku. Saya linglung, adakah satu saraf saja dari jutaan saraf kepunyaan Pak Presiden mengalirkan bisikan pembangunan infrastruktur buku, seperti ketersediaan jumlah toko buku yang ekuivalen dengan jumlah penduduk; perpustakaan (arsip) nasional yang megah/terakses dan perpus kota yang bikin bangga, gelontoran dana untuk menerbitkan buku-buku bermutu, proteksi nasib penulis seaman nasib pegawai kala masa pikun tiba, dan ketersediaan perangkat regulasi yang mengatur semesta buku.

Kalau memang peduli pada penerbit buku, toko buku daring dan komunitas arsip berbasis warga; lembaga-lembaga ini bisa disediakan infrastruktur server bersama dengan kapasitas besar (big data) untuk menjalankan kegiatan edukasi dan kampanye buku lebih optimal.

Jika memang mainan Jokowi adalah kartu (pintar & sehat) yang kerap dipamerkan dari Jakarta hingga Banda Aceh dan Jayapura, tak terpikirkah bikin kartu buku di mana warga kere yang memegang kartu ini bisa menukarkannya dengan buku di toko buku terdekat di kotanya yang jumlahnya naudubillah terbatasnya.

Sekalian kartu dan infrastruktur buku itu bisa menjadi kado ucapan terima kasih Jokowi kepada (dunia) buku yang memenangkan konstetasi pilpres di deretan rak toko buku. Dalam pertarungan buku di 2014, buku yang bersampul wajah Jokowi menang mutlak di rak biografi dan di lapak-lapak toko buku rakyat.

Ternyata itu tak pernah cukup. Sebab ada yang jauh lebih penting dari infrastruktur buku dengan segala kartunya. 

Selamat Hari Buku Nasional di bulan Mei untuk Presiden Jokowi. Ada yang ingat kapan Jokowi terakhir kali bicara soal buku?

Media Indonesia 18 Mei 2015, hlm 2

* Versi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos Minggu, 24 Mei 2015