Ketika orang-orang dengan “gempita” menyambut separuh abad umur salah satu koran nasional terbesar di Indonesia, saya teringat buku milik Auwjong Peng Koen. Ini bukan perihal buku biografi jurnalis tangguh yang lebih dikenal dengan nama PK Ojong ini, Hidup Sederhana Berpikir Mulia. Ini soal sejumlah koleksi bukunya yang berceceran di lapak-lapak buku bekas di Jakarta.
Sudah bukan rahasia, PK Ojong adalah pengoleksi buku. Ia menjadi jurnalis dengan kaya-wawasan mula-mula karena ia pencinta buku. Karena itu, menyusuri jejak pikiran PK Ojong, tak bisa hanya bersandar pada melihat amal usaha jurnalistiknya, antara lain mengulik kisah kehadiran Star Weekly, Intisari, dan Kompas.
Lebih jauh dari itu, warisan utama PK Ojong adalah buku-buku yang di koleksinya bertahun-tahun yang mencakup tema yang kaya, seperti arsitektur, teologi, sejarah, hukum, kebudayaan, sains, jurnalistik, botani, hingga kuliner. Yang menarik, di buku-buku koleksi Ojong selalu terdapat litografi yang menandakan jejak kepemilikan Ojong yang intim atas buku tersebut.
Mendengar kabar bahwa buku-buku yang di koleksinya makin mudah ditemui di lapak-lapak Jakarta menunjukkan bahwa ada kontradiksi tentang apa yang ingin dikenang dari Ojong. Bahwa ia mewariskan sebuah korporasi jurnalistik yang luar biasa besarnya saat ini, namun di satu sisi korporasi itu barangkali khilaf mengeluarkan zakat-infak-sedekah untuk memberi perlindungan maksimum terhadap “keamanan” koleksi sang maestro di lapangan jurnalistik dan bentang pemikirannya selama beberapa dekade dalam lapangan amal.
Saya membayangkan; jika pemerintah — walau datangnya sangat terlambat — sudah memberi contoh yang baik bagaimana memberi rumah yang layak bagi koleksi buku Soekarno-Hatta lewat program “Perpustakaan Sang Proklamator” di Blitar dan Bukittinggi, selayaknya juga korporasi yang didirikan Ojong memberi tauladan dari sisi swasta membuatkan museum di mana peziarahan atas pikiran Ojong berlangsung terbuka untuk publik. Sehingga di Jakarta Pusat kita memiliki rumah memori jurnalistik yang representatif, berwibawa, dan menjadi ikon anjungan edukasi dari sebuah usaha tulus memundaki “Amanat Hati Nurani Rakyat” selama ini.
Jika memang masih berat membuatkan museum khusus untuk menapaki Ojong dan perjuangannya atas penghormatan pada kemajemukan yang diperjuangkan lewat kultur penulisan jurnalistik, toh masih bisa ditempuh cara lain yang lebih “murah”. Misalnya, koleksi buku PK Ojong yang memang secara tema merupakan buku-buku pilihan untuk zamannya bisa dijadikan properti penting yang bisa ditaruh di setiap kamar hotel yang berada dalam jaringan bisnis korporasi warisan Ojong.
Tapi jika itu pun masih juga terlampau berat hati, apa boleh buat, barangkali kita memang sedang menyaksikan penghancuran atas memori yang dilakukan secara kolektif. Nasib koleksi Ojong, jika tak ada usaha mengerem kejatuhannya di lapak-lapak buku bekas di seantero Jakarta, makin setara dengan nasib koleksi pemikir-pemikir masa silam kita yang sudah babak-belur. Sebut saja koleksi Adam Malik, Sutan Takdir Alisjahbana, Ali Sastroamidjojo, Subandrio, dan seterusnya.
Koleksi-koleksi buku yang menjadi batubata bagaimana idea-idea tersusun dari banyak tokoh bangsa kita mengalami pemusnahan. Koleksi yang tak terurus adalah langkah awal dari pemusnahan itu. Ini bukan lagi soal uang, ini soal ketakpedulian yang menjadi mental kendali utama.
Rupanya, berlaku prinsip umum, bahwa koleksi buku bukan warisan berharga bagi mereka yang ditinggalkan sang pemilik. Buku berbeda dengan sertifikat tanah dan benda-benda fana lainnya. Bukan saja bikin rempong merawatnya, koleksi buku bikin repot. Nyaris keluarga pewaris kehilangan semangat melihat tumpukan buku koleksi berdebu. Maka jalan sungsang yang paling mudah diambil adalah melegonya ke pasar lapak buku.
Cara sungsang yang perlahan menjadi kultur ini menampakkan hasil. Kita tak pernah memiliki semacam memorial house yang ikonik yang berangkat dari koleksi sang tokoh dan menjadi patok penting di sebuah kota. Jika pun ada, sebut saja PDS HB Jassin, karena sang tokoh berjuang gigih nyaris sendirian mempersiapkan agar buku-bukunya memiliki rumah “permanen” dan tak mempercayakan begitu saja buku-buku itu pada keluarganya.
* Dipublikasikan pertama kali di Harian Koran Tempo, 1 Juli 2015