Pada 18 Januari 2015 esai saya tentang Agustin Sibarani dan kultur karikatur dalam sejarah jurnalistik dimuat di lembar Ruang Putih koran Jawa Pos. Sembilan bulan kemudian pemerintahan Joko Widodo menganugerahkannya Penghargaan Satyalancana di Bidang Kebudayaan.
Bersama Kotot Sukardi (film), pemberian anugerah kepada A Sibarani ini tergolong pikiran maju. Dua orang yang selalu berada di saf depan menggerakkan politik-budaya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) ini mendapatkan pengakuan pemerintah yang selama setengah abad bersama lapisan Masyarakat-Yang-Tercuci berada dalam bayang-bayang ketakutan ciptaannya sendiri.
Bukan kebetulan juga, dua seniman kiri yang mendapatkan anugerah Satyalancana Kebudayaan ini memiliki arsiran dengan dunia film. Kotot Sukardi adalah sutradara kiri terdepan sekaligus pengurus pusat Lekra dan A Sibarani adalah penulis film di Bintang Timur, selain tentu saja perupa dan penulis karikatur. Dan keduanya adalah pembela politik Sukarno yang keras kepala.
Kritik Film
Tak banyak yang tahu A Sibarani adalah penulis film yang prolifik, menggebu-gebu, dan kreatif. Ia lebih banyak dikenal sebagai karikaturis dan seorang perupa. Buku Karikatur dan Politik (2001) sudah menabalkan profesi yang melekat pada Sibarani. Sebagai perupa, Indonesia mewarisi karya populernya yang pernah dijadikan negara sebagai gambar di lembar kertas uang 1000 rupiah kita (sebelum “dikudeta” pemegang parang paling besar, Pattimura), yakni lukisan Sisingamangaraja. Walau pernah menuai kontroversi di Medan tahun 1963, kita mengenal “wajah” Patuan Sori Sinambela atau Sisingamangaraja XII, justru berkat lukisan potret Sibarani.
Di Bintang Timur, terutama di Lembar Kebudayaan “Lentera” yang terbit tiap hari Minggu (sebelum tahun 1960, terbit setiap Sabtu), Sibarani diplot sebagai “gelandang-serang” di isu perfilman nasional. Ada dua teknik yang digunakan Sibarani agar pertahanan dan serangannya efektif, yaitu esei film dan karikatur film.
Sibarani, misalnya, menulis serangan kepada Usmar Ismail di Bintang Timur (19 April 1964). Saya kutipkan satu paragraf utuh Sibarani:
“Konsep Usmar mengenai perkembangan film Indonesia adalah konsep Liberal dengan prinsip ‘showbusiness’ dan ‘box-office’ a la pandangan ,American Way of Life’ dan sama sekali ia tidak bisa mempertimbangkan, bahwa suatu bangsa jang belum selesai berdjuang dari belenggu2 jang mengikat dalam bentuk ethis dibidang politik, ekonomi dan kebudajaan, meminta lebih banjak dari pada tjita2 idealisme untuk menjapai taraf2 internasional sadja, tapi ingin pengolahan ideologis jang lebih tinggi nilainja, jang tidak bisa lepas dari kehidupan dan amanat rakjat sekitar jang mau melepaskan diri dari segala ikatan kesjaitanan walaupun ikatan2 ini sementara mendjamin uang dan materi untuk landjutan penghelaan nafasnja. Usmar selalu berpendapat, bahwa ia bisa hidup, perusahaannja bisa hidup bila setjara kommersieel ditilik dari sudut boxoffice ia bisa hidup, Perfini bisa hidup, dan dengan demikian film Indonesia bisa berkembang karena kelandjutan hidup jg didasarkan kepada kompromie dengan pelatjuran politis dan kultural, menghambakan diri kepada dollar, pada Rockefeller, pada segala uluran tangan dari USIS ataupun Palmer-nja, dan bila perlu mengorbankan kawan2 terdekat untuk tudjuan dan cara pandangnja jang dianggapnja selalu lebih sempurna”.
Karena tulisan berjudul “Kebudayaan Reolusioner Mutlak dalam Revolusi” yang menyerang pendiri Lesbumi Usmar Ismail inilah Sibarani disebut sebagai penulis bergenre syaiton dan jahiliah di lembar “Muara” Duta Masjarakat, 10 Mei 1964. Esei yang ditulis Rustam M Abrus kemudian dibalas Sibarani dengan tak kalah garangnya, penuh ledakan, sebagaimana “Sang Guru” Sukarno mencontoh-ajarkan anak-anak zaman “Revolusi Belum Selesai” itu dengan menghidupkan kata-kata yang “melinggis dan menyeterika”.
Berdebat lewat jalan menulis esei film menjadi semacam kudapan sehari-hari buat Sibarani. Dan salah satu keistimewaannya adalah ia bisa menggambar. Karena itu, ketika mengulas atau mereview film terbaru, ia memilih menggunakan teknik karikatur. Alhasil, karya Sibarani yang muncul saban pekan itu mirip poster baru atau kanvas seni kontemporer ketika memasukkan unsur-unsur komik dalam karya. Tentu saja, Sibarani tak sendirian. Ia ditemani kompatriotnya Delsy Samsumar dalam menjaga marwah film-film bertema revolusioner.
Kepercayaan “Lentera” kepada Sibarani menulis esei-esei film dimaksimalkan betul dengan ikhtiar “harus melenjapkan dominasi film2 Amerika dari bumi Indonesia, termasuk pandangan2 American Way of Film making, gedjala2 jang dibawanja bersama harus ditumpas dan tidak diperbolehkan meradjalela dalam masjarakat kita”. (Bintang Timur, 31 Mei 1964)
Perjumpaan Pelukis Asia Afrika
Selain film, kultur visual dan politik yang menarik untuk dilihat dari sosok Sibarani. Bukan kebetulan belaka jika saya menemukan wawancara Sibarani separuh halaman di lembar “Lentera” Bintang Timur dengan topik yang saat ini sedang dikembangkan Biennale Jogja sejak 2011, yakni Equator. Tahun 2015 ini Biennale Jogja berjumpa dengan salah satu negara yang dilintasi garis equator di Afrika, yakni Nigeria.
Keterlibatan Sibarani dalam menyelenggarakan Dasawarsa Konferensi Asia Afrika (DAA I) di Jakarta tahun 1963, khususnya keterlibatan seniman visual, menarik untuk digarisbawahi, bagaimana seniman ini terlibat dalam pergelaran politik kebangsaan dan isu-isu penting Asia Afrika.
Keterlibatan seniman visual dalam Asia Afrika ini, menurut Sibarani, adalah lompatan dari seniman yang “gondrong, jang senang nongkrong2, atau kelujuran sepandjang malam mentjari inspirasi hatinja, bohemian ala mazhab paria dengan l’art pourt l’artnja… mendjadi pelukis rumah kapitalis atau mengharapkan filantropis dari seorang jang berduit”; ke arah perombakan mental seniman yang digembleng revolusi di mana “pena dan kwas, tjet dan pensil, karena api revolusi, setiap waktu tetap siap sedia menggantikannja dengan bedil dan peluru”.
Di tahun 1963 ini pula, dalam Konferensi Asia Afrika II di Aljazair, diselenggarakan pertemuan seniman Asia-Afrika dengan mengerahkan, atau dalam kata-kata Sibarani: “menggalang kerdjasama di antara pelukis2 revolusioner dari Africa-Asia dari seluruh bangsa2 Nefo untuk menelandjangi dan menghantjurkan praktik2 imperialisme, nekolim, dan monopoli”.
Dari jenis politik seni-visual Asia-Afrika seperti ini kita tahu posisi Sibarani di kancah budaya visual, terutama politik kawasan, yang apa boleh bikin, justru semuanya dipundaki seniman-seniman visual yang garis politiknya ke kiri. Peran-peran dan gagasan politik visual Sibarani seperti ini nyaris tak pernah dielaborasi; bahwa ia pun turut serta dalam beberapa pameran di Vienna, Austria, dan Moskwa, Rusia.
Sikap politik visual seniman kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 20 Agustus 1925 ini saya kira penting dikenang saat tahun 2015 ini ia mendapatkan anugerah Satyalancana Bidang Kebudayaan oleh pemerintahan Presiden Yang Terhormat Jokowi.
* Edisi cetak dipublikasikan pertama kali Harian Jawa Pos edisi Minggu di Ruang Putih, 20 September 2015.