Bunyi berita dari Jogja:
Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menyita sebuah buku berjudul Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula. Buku itu disita dari penjual di toko buku Shopping Center, Yogyakarta. Buku dianggap memutarbalikkan sejarah terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).
Asisten Intelijen Kejati DIY, Joko Purwanto, mengatakan, buku setebal 528 halaman yang ditulis 32 orang itu disertai ilustrasi provokatif perihal pembantaian yang terjadi sekitar tahun 1965. “Arahnya untuk mempengaruhi anak-anak muda soal ajaran itu (komunisme),” kata Joko, Jumat, (13/5/2016).
BACA JUGAJokowi Minta Penertiban Paham Komunis Tidak dengan SweepingJK: Lagu Genjer-genjer Menyakiti TNIJK: Paham Komunis Sudah Gagal Joko mengungkapkan, buku yang dibeli seharga Rp200 ribu keluaran penerbit Ultimus tersebut tak hanya dijual melalui toko buku. Namun juga secara daring.
Menurutnya, penjual sudah kehabisan stok dan menduga buku itu sudah beredar di masyarakat. “Penjual buku itu menyediakan pemesanan,” kata dia.
Bagi para penjual buku aliran kiri, lanjut Joko, tak akan ada langkah hukum dari aparat. Namun, kejaksaan memberikan peringatan agar tidak menjual buku serupa kembali. Sementara, buku yang telah disita tersebut akan dilaporkan ke Kejaksaan Agung.
Plis deh Kejaksaan. Masih ingat tarung drajat di Pengadilan Mahkamah Konstutisi sejak awal Januari hingga Oktober 2010?! Kewenangan situ dikebiri Mahkamah Konstitusi. Nggak kek dulu-dulu lagi, asal sensi, sita. Asal ada ormas lapor, sweeping. Lalu bakar bareng-bareng.
Wewenang kelian sudah awu-awu, sudah dianu-anu. Menyita, merampas, lalu membakar bersama-sama sudah tak punya landasan hukum. Masak lupa sih.
Coba baca ulang Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelarangan Buku Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 itu. Aturan hukum itu sudah jadi Berita Acara Negara dan sifatnya final dan mengikat. Verbindende kracht. Kelian masak sih diajarin yang kek gini-gini. Kan mestinya sudah khatam. Sana, banyak main blog.
Eh, nanti ngeles lagi. Bilangnya cuman pinjem, padahal nyita, ngerampas. Emangnya shoping center itu perpus, emangnya penerbit itu seenaknya pinjem buku. Perpus saja yang bisa main pinjem punyak aturan main yang ketat: jadi anggota dulu dong. Bayar ini dan itu, jika telat bayar denda sekian.
Ini bukan teman, bukan pembaca dan pencinta buku jugak, asal sabet, asal ambil. Kita-kita aja nih sudah akrab dan tahunan jadi teman penjual buku di shoping, ya kalau sukak bukunya, bukak dompet, keluarin duit. Tukuk.
Ini, tiga abad untung2nya ke shoping center, eh ujug-ujug, petantang-petenteng datang ke warung buku, asal HAP. Situ kok cicak-cicak di dinding.
Namanya orang asal ambil nggak bayar apa saudara?! Pinter. Pemalak. Idih, pemalak kok pakai seragam. Situ kok makin jauh aja dari doktrin kejaksaan, apa itu, Tri Krama Adhyaksa. Cari aja di wiki. Intinya doktrin itu ya kelian itu pribadi yang satya (jujur), pribadi yang adhi (sempurna dalam tugas), dan pribadi wicaksana (bijak). Muliyanya.
Malak buku, ngambil yang bukan gretongan, di mana bijaknya. Situ kira itu bukuk brosur gratis. Dunia buku ini sesek napas. Lha ya dibantu. Selemah-lemah bantuan itu ya kalau sukak tukuk, yo beli. Asal main ambil, main sikat. Situ kira nyetak buku itu gretongan. Mahal, bosssss!
Sudah gak sukak baca, nggak bantu khasanah literasi, malak seenaknya pulak. Dasar parasit buku!
Salam.