Kudeta Turki di Jumat keramat pekan ketiga di bulan Juli memang sudah gagal. Faktanya: Presiden Recep Tayyip Erdogan
kembali ke tampuk kekuasaannya yang diikuti penangkapan, pemenjaraan, dan pembunuhan terorganisasi atas semua lawan politiknya.
Dan, warga negara Indonesia–juga dunia–kaget dan gaduh atas malapetaka politik di Turki.
Saya tak terlalu kaget ketika warga (Muslim) Indonesia kaget, ribut, riwil, atau entah apalah sebutannya saat berhadapan dengan frase “Turki”. Sebab secara historiografi, Indonesia memiliki memori yang unik atasnegara perbatasan Eropa dan Asia ini. Keunikan posisi Turki ini dalam memori (orang) Indonesia bisa disandingkan dengan relasi kulturalnya yang harmonis dengan negara perbatasan benua lainnya (Asia dan Afrika), Mesir.
Apa yang disumbang Turki untuk aksi prokemerdekaan Indonesia? Tentu saja gagasan pan-islamisme yang disadur pemikir cum pelaku pergerakan nasional awal. Tirto Adhi Soerjo, bapak dari para bapak bangsa, di Pembrita Betawi sejak awal abad sudah berteriak untuk berkiblat ke Turki. Koran bertarikh 16 April 1902 itu memuat kronik yang disusun Tirto betapa Turki dengan gagasan besar pan-islamisme bisa menjadi ilham bagaimana membangun pangkal konsolidasi kekuatan pribumi lewat cara baru yang berbeda sama sekali dengan jalan Diponegoro yang melahirkan Java Oorlog.
Bentuknya? Dengan mengambil ilham dari Turki, Tirto Adhi Soerjo membangun pondasi dasar Sarekat Dagang Islamijah pada 1906 di Bogor yang kemudian hijrah ke Surakarta dengan menggandeng saudagar batik Samanhudi. SDI ini pula yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sarekat Islam dengan pusat palagan baru di Surabaya dengan tokoh utama: Hadji Omar Said Tjokroaminoto.
Perubahan SDI ke Sarekat Islam tak bisa menghapus akar imaji pergerakan Islam ini dari “campur tangan” gagasan yang disumbang Turki. Trek pan-islamisme yang mulanya ditafsir Tirto sebagai pergerakan saudagar Islam berubah menjadi pergerakan politik radikal di seantero Hindia Belanda.
Bukan itu saja, pan-islamisme juga menginspirasi Partai Komunis Indonesia (PKI) generasi awal sebagai sebuah kenyataan objektif untuk menendang imperialisme dari Indonesia. PKI yang lahir dari Sarekat Islam ini nyata-nyata menjadikan pan-islamisme sebagai perkara serius sebagai rujukan konseptual perjuangan. Komunis mesti menggandeng Islam dalam proyek penjungkalan kolonialisme. Tan Malaka dalam pidato di hadapan Kongres IV Komunis Internasional di Petrograd, Rusia, November 1922, menjadi data verbal bagaimana pan-islamisme bercampur dengan ide komunisme di Indonesia.
Kumis Turki
Tapi Turki masuk dalam tulang sum-sum pergerakan Indonesia tak hanya lewat saraf pemikiran politik, melainkan lewat jalan budaya pop. Kumis Turki (juga songkok) adalah gaya hidup yang mulai menggejala bersamaan dengan makin besar konsumsi ide pan-islamisme dalam pewacanaan di rapat-rapat pergerakan.
Ciri kumis turki yang menjadi life style semasa adalah kumis yang menyerupai pedang dengan ujung lancip ke atas.
Tirto Adhi Soerjo tak hanya menangkap dan mempribumisasikan ide pan-islamisme dalam kultur organisasi, tapi sekaligus juga mengadopsi kumis Turki di atas bibirnya. Maka jika Anda melihat kumis Wahidin Sudirohusodo dan Sutomo–sama-sama berkumis–tapi kumis Tirto jelas berbeda.
Kumis Turki dipahami oleh orang macam Tirto sebagai penanda kebaruan, progresif, dan modernitas untuk Muslim di zaman kebangkitan baru. Kumis yang ujungnya lancip ke atas adalah penabal keyakinan melawan imperialisme dengan jalan berserikat, jalan organisasi.
Pengikut utama jalan kumis Turki setelah Tirto diasingkan dari pers dan perserikatan dengan jalan dibuang ke Bacan, Maluku, tentu saja H.O.S. Tjokroaminoto. Penampilan Tjokro dengan songkok tinggi dan wajah tirus berhias kumis Turki yang gagah memberi kepercayaan diri yang kuat bahwa jalan kemerdekaan lewat budaya berserikat yang masif bisa mengantar Indonesia ke pintu kemerdekaannya.
Sampai di sini saya kemudian memahami mengapa Turki tetap penting dalam imajinasi politik Indonesia. Turki tetap menyedot perhatian masyarakat Indonesia karena negeri ini menyumbang ari-ari imaji pembebasan penting untuk Indonesia di masa yang jauh. Turki adalah guru awal Indonesia dalam soal persatuan dan kumis progresif. Tapi soal “kudeta gagal”, narasi konspiratif, dan pembersihan massalnya, barangkali Turki bisa belajar banyak dari sejarah modern Indonesia.
Kudeta sebagai dalih untuk genosida politik.