Sukarno dan Olimpiade: Sumbangan Kiri Indonesia untuk Dunia

Tak ada gelora apa-apa saat atlet-atlet Indonesia
berangkat atas nama negara ke gelanggang Olimpiade Rio de Jeneiro, Brasil.
Berlaga di pentas olahraga internasional yang menjadi induk dari seluruh arena
adalah sebuah kebanggaan. Bukan hanya atlet dengan target mendapatkan panggung
dan medali, tapi juga memundaki kehormatan bangsa dan negara. Olimpiade adalah
perjumpaan seluruh bangsa yang mendiami planet bumi dalam satu momentum bersama
yang bernama olahraga.
Memang, menjadi aneh ketika ingar-bingar dan harapan
mencucuk langit tak pernah lagi kita temui saat atlet-atlet terbaik nasional di
pelbagai cabang olahraga keluar dari pintu keberangkatan bandar udara
Soekarno-Hatta untuk mengambil peran di panggung olimpiade. Ketiadaan prestasi
dan olahraga yang dimaknai sebagai rutinitas belaka sebagai bangsa menjadikan
keberangkatan ke olimpiade tak ubahnya sekadar menggugurkan hak berpartisipasi.
Di gelanggang olimpiade, bukan saja minim prestasi, tapi
kita tunasemangat sebagai bangsa besar yang pernah mengagendakan sebagai negara
yang disegani di bidang keolahragaan, sejajar dengan Tiongkok, Korea, Rusia,
hingga Amerika Serikat.
Izinkan saya “mendongengkan” sebuah masa di
mana Indonesia, tak hanya menebal-nebalkan mimpi dengan memperpanjang tidur di
gelanggang olahraga dunia, tapi juga menyusun langkah-langkah taktis dan
mendasar yang dimulai dari mental yang disebut Presiden Sukarno
“sport-minded”.

Dalam sebuah rapat akbar yang dihadiri seluruh
olahragawan nasional, ofisial, pelatih, hingga utusan-utusan negara di Asia,
Afrika, dan Eropa, Sukarno menabalkan keyakinannya itu. Di Markas Besar Ganefo
(Gedung DPR/MPR saat ini), 25 November 1964, Sukarno berteriak: “Hai Rakyat Indonesia, tua-muda, terutama
sekali yang muda-muda, latih kau-punya diri sehebat-hebatnya, agar supaya
didalam waktu sepuluh tahun paling banyak, sepuluh tahun, Indonesia, Rakyat
Indonesia menduduki tempat yang paling tinggi dilapangan olahraga!”
Sepuluh tahun, Saudara! 10 tahun! Artinya, jika diukur
dari saat pernyataan itu dikeluarkan pada 1964, maka di tahun 1974, Indonesia
menjadi salah satu penguasa olahraga yang disegani di planet ini.
Saya tak melihat ajakan yang disampaikan dengan setengah
berteriak itu sekadar “olah-cangkem”. Sebab, ajakan itu berangkat
dari pemadatan pengalaman sebelumnya saat Indonesia bukan saja menjadi peserta
dalam olahraga dunia, tapi bisa menjadi pelaksana yang baik dan sukses untuk
pentas olahraga dunia yang diikuti 53 negara. Ganefo atau Games of New Emerging
Forces menempatkan Indonesia sebagai inisiator dari alternatif gelanggang
olahraga dunia yang dihelat Olympic Games atau International Olympic Committee
(IOC).
Sebelum Ganefo diselenggarakan di Jakarta pada 10
November 1963, IOC menggertak Indonesia untuk “menghanguskan” haknya sebagai
peserta olimpiade. Tak dinyana, gertak yang dijual badan olahraga dunia itu
“dibeli” Presiden Sukarno dengan merancang olahraga dengan level
serupa. Yang di luar perkiraan banyak orang, Ganefo berhasil menarik 53 negara,
bahkan Jepang, Amerika, Belanda, Perancis, dan Rusia mengirimkan beberapa
atletnya. Ganefo juga mesti diperhitungkan karena delapan rekor dunia
terpecahkan di arena yang diselenggarakan di seantero Jakarta ini.
Indonesia memang “hanya” berada di urutan ketiga dalam
pengumpulan medali yang jauh di bawah perolehan Tiongkok dan Rusia, tapi
kemampuannya menyediakan fasilitas, logistik, dan menggerakkan seluruh elemen
kota dan ragam potensi budaya lewat jalan festival/karnaval selama sepuluh hari
menabalkan keyakinan Sukarno bahwa Indonesia bukanlah bangsa paria di bidang
olahraga. Kemampuan “sport” itu ada dalam otot belikat orang
Indonesia, namun bagaimana menatanya secara baik dan menaikannya hingga ke
level prestasi dunia, itulah tugas pemerintah untuk mengorganisasikannya secara
terarah dan terpimpimpin.
Inilah komando Presiden Sukarno kepada Menteri Olahraga
Maladi selaku sosok yang paling bertanggung jawab di balik pelaksanaan Ganefo:
“Maladi, engkau aku jadikan Menteri Olahraga dan perintahku kepadamu ialah
buatlah seluruh bangsa Indonesia ini sport-minded.
Dari orang Indonesia yang sudah kakek-kakek, nenek-nenek sampai kepada
anak-anak yang masih kecil, jadikanlah seluruh Rakyat Indonesia sport-minded. Kuperintahkan: gerakkan,
gerakkan, gerakkan seluruh bangsa Indonesia dan seluruh bangsa New Emerging
Forces ini, dengan cara yang sehebat-hebatnya.”
Sukarno memulai “sport-minded” dari regulator utama
keolahragaan, yakni pemerintah itu sendiri. Sebagai Menteri Olahraga, Maladi
nyaris habis waktu rehatnya untuk membuktikan Indonesia tak bisa diatur-atur
dalam bidang olahraga dan sekaligus bisa membuktikan kekuatan Indonesia sebagai
pengorganisasi yang baik. Tak salah Sukarno mempercayakan kepada Maladi yang
mampu mengurus hampir 10 ribu orang peserta “olimpiade kiri pertama” bernama
Ganefo saat gelanggang ini dihelat.
Kiblat Indonesia dalam “sport-minded” jelas adalah
Tiongkok, Korea, dan Rusia. Dua negara pertama adalah penghasil atlet-atlet
paling berbakat di bidang atletik. Nyaris semua medali emas di cabang olahraga
atletik disapu oleh Tiongkok dan Korea. Bahkan, empat rekor dunia di cabang
atletik berhasil dipecahkan atlet-atlet dari Korea Utara.
Di negara-negara ini, olahraga adalah bagian dari
keseharian. Fisik dan intelejensia sudah dipantau oleh tim yang
bertingkat-tingkat dari dusun hingga kota/kabupaten, sejak sang “calon
olahragawan” masih berusia sekolah dasar. Dan itu memungkinkan ketika
lembaga-lembaga olahraga dan segenap pendanaannya berdiri kuat dengan satu
tujuan: menyatukan bangsa, memperkuat negara. “Sport-minded” menjadi gerakan
nasional karena negara hadir dan berdiri kokoh untuk menopangnya.
Sukarno berani sesumbar sepuluh tahun Indonesia bisa
menjadi mercusuar di bidang keolahragaan karena memiliki pemutar turbin negara
semacam Maladi. Jika Maladi bisa mengumpulkan 53 negara dalam waktu tujuh bulan
untuk berlaga di Jakarta yang berlangsung lancar dan sukses, maka tak mustahil
ia bisa membuat cetak-biru dan mengorkestrasinya menjadi kekuatan baru dalam
rentang waktu satu dekade.
Di mata Sukarno, olahraga sama membanggakannya dengan
politik. Olahraga adalah cara wicara lewat kekuatan raga untuk menarasikan
kekuatan negara. Di negara yang olahraganya kuat biasanya kekuatan negara dan
soliditas bangsanya juga kuat. Sukarno memiliki modal besar soliditas
suku-bangsa dengan kemampuan tempaan alam. Negara lewat tangan pemerintah mesti
menjadikan bakat alam dari ragam bangsa itu menjadi tanah pembibitan yang kaya.
Di masa Sukarno, semua ras bangsa bersatu padu berlempangkan merah putih. Jika
Anda membaca daftar nama 400 atlet dan ofisial tim Indonesia yang berlaga di
Ganefo, maka Anda bisa temukan suku bangsa Tionghoa, Arab, Jawa, Batak, Maluku,
Menado.
Artinya, olahraga bisa menyatukan bangsa yang berbeda.
“Sport-minded”, oleh karena itu, tak hanya memperkuat negara, tapi juga sebuah
etos tentang penghormatan pada keragaman suku-bangsa.
Dan seperti saya sebutkan di paragraf di atas, semua itu
hanyalah dongengan. Sebab, jangankan memulai sebuah gerakan (pendidikan)
olahraga yang masif dari daerah, rupanya “kehebatan” Indonesia yang berhasil
menyelenggarakan “olimpiade-kiri” atau olimpide alternatif dunia justru
mempercepat kematiannya dengan jalan diincar untuk dihabisi.
Kliping yang dirilis Bintang
Timur
19 November 1963 dari Ta Kung
Pao
(Peking) menjadi nubuat, sebagaimana terbaca dari judul berita: “Amerika
Serikat lakukan usaha2 penggulingan Pemerintah Indonesia: GANEFO salahsatu
sasaran sabotase AS”.
Anda tahu, saat Federasi Ganefo dibentuk dan 53 utusan
negara berkumpul dalam perjamuan terakhir dan pengumuman medali pada 25
November 1963, dunia digegerkan oleh berita kematian Presiden John F. Kennedy.
Dunia memang sedang dilanda krisis kemanan yang besar.
Nubuat Ta Kung Pao itu pun berlaku dua
tahun setelah itu ketika gelombang genosida itu benar-benar datang dan kemudian
menenggelamkan olahraga Indonesia serta menghancurkan seluruh impian-impiannya
menjadi mercusuar olahraga dunia.
Markas Besar Ganefo yang dijadikan Sukarno sebagai tonggak
dari mana olahraga nasional kita menata diri memang tak turut dibakar, namun
diganti peruntukannya sebagai Gedung DPR/MPR RI. Sejak saat itu, cerita
olahraga Indonesia berjalan tertatih dan parsial dimulai hingga kita
memperingati Ulang Tahun RI yang ke-71 di tahun ini. [Muhidin M. Dahlan]
* Edisi cetak dipublikasikan pertama kali Harian Jawa Pos Minggu, 24 Juli 2016