Garuda September: Tari, Politik, dan Angkara

Alunan musik instrumen yang cepat khas Republik
Ceko menjadi penanda masuknya sang garuda dan sang dalang di Malam Musik
Antarbangsa di Bangka Culture Wave 2016.
Bukan, sama sekali bukan! Mereka tak
membawa anak-anak wayang yang biasa Anda saksikan di pementasan wayang umumnya.
Sebab, wayang yang dimainkan adalah lima wayang yang dibentuk berdasarkan
struktur lima Kepulauan Nusantara terbesar: Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Wayang rupa ciptaan pengelola Rumah Garuda yang masyhur di
Yogyakarta ini, Nanang R. Hidayat, dimainkan dan digerakkan tiga orang yang
berlainan bangsa dan negara, berbeda bahasa, namun disatukan oleh simbol negara
yang sama: elang. Atau dalam konteks Indonesia disebut garuda atau “raja-wali”.

Republik Ceko yang terbentuk pada 1993
akibat perpecahan yang dikenal Revolusi Beludru, misalnya, menggabungkan elang
dan singa sebagai simbol kenegaraannya.
Selain soal warna bendera yang sama, merah dan putih, Indonesia dan
Polandia dipertemukan oleh simbol negara dengan meminjam wujud burung elang.
Jika garuda Indonesia didominasi warna kuning keemasan, maka garuda Polandia
berwarna putih.
Adalah Katerina Hankeova yang masuk ke
Indonesia sejak 2015 dengan membawa kecintaan atas wayang kulit. Mahasiswa jurusan
Antropologi untuk kawasan Asia Timur dan Selatan di Charles University, Praha,
Republik Ceko ini justru memilih wayang kulit di Indonesia. Ia berusaha
memahami Indonesia lewat wayang dan dunia pedalangan di P4TK, Yogyakarta.
Sementara itu, yang menjadi kompatriotnya
adalah Ewa Miller yang berasal dari Kota Brzeg, Polandia dan sejak 2015 mendalami
tari jawa klasik di Yogyakarta. Mahasiswa dari Universitas Wroclaw ini mengaku
betapa sulitnya mempelajari tari Jawa yang pelan dan halus. Sangat berbeda jauh
dengan minat musiknya yang cenderung hiphop dengan gerak cepat.
Berkolaborasi dengan aktor teater Unsrat
UNY dan pegiat literasi nasional dari Indonesia, M. Faiz Ahsoul, ketiganya
memainkan wayang garuda sebagai kenyataan (retakan) rupa-rupa sosial, rekatan
imajinasi, dan perlambangan negara dalam konteks politik.
Ketiganya memainkan wayang garuda dengan
energi yang melimpah dengan diiringi campuran musik khas Eropa Tengah/Timur dan
alunan musik gamelan Jawa yang ritmis. Bentangan sayap yang dibentuk dari kain
putih dan ditarikan Ewa Miller secara bergantian antara cepat dan gemulai bukan
saja perlambangan garuda putih dari Polandia; garuda putih ini juga menjadi
layar bagi sang dalang, Katerina dari Praha, untuk memainkan lima anak wayang
yang dibentuk dari pulau-pulau. Dan, pentas yang berlangsung selama 12 menit
itu diakhiri dengan penancapan gunungan Garuda Pancasila.
“Gunungan Pancasila itu adalah
perlambang bahwa kepulauan yang dihuni berbagai suku bangsa dan bahasa itu
dijaga oleh simbol nasional bernama Garuda Pancasila,” jelas Nanang R. Hidayat.
Menurut penulis buku Mencari Telur
Garuda
(2012) dan disertasi doktoralnya di ISI Yogyakarta adalah wayang
kepulauan ini, garuda disadari sebagai lambang negara yang nilainya dijunjung
dalam berbagai pidato dan upacara, tapi sekaligus kerap diabaikan. Garuda dan
nilai luhurnya bernama Pancasila adalah alam batin masyarakat Indonesia yang
kelahirannya menjunjung cita adiluhung untuk mencoba menjembatani perbedaan suku
bangsa dengan jalan yang unik dan imajinatif, yang oleh Sukarno dirumuskan
dalam sila keramat: “Persatuan Nasional” dengan sebaris kalimat pengiring
yang tak kalah rumitnya yang disarikan dari naskah tua Sutasoma karya
Mpu Tantular: “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda tapi satu.
Garuda September: Politik Mitos dan
Angkara
Pancasila adalah, meminjam kata-kata terakhir
dari pentas wayang garuda adalah tanhana angkara, mengatasi angkara.
Angkara adalah realitas, sementara garuda
(pancasila) lahir dan tercipta dari mitos yang kemudian menjelma menjadi
pembayangan bersama.
“Garuda itu mitos dalam kehidupan politik
dan sekaligus politik mitos. Ia adalah elemen yang menjadi sengketa tiada
habisnya, juga dari mana bangsa yang plural seperti Indonesia didamaikan,”
kata Prof Jean Couteau. Budayawan asal Prancis yang sudah lama menetap di Bali
dan menekuni dunia simbol dan ikon ini menegaskan jalan simbolik garuda itu
dalam orasi budaya di pergelaran festival bertajuk Bangka Culture Wave, pada
pekan kedua September 2016. Festival di Pantai Tongaci, Sungailiat, ini
sekaligus menandai dibukanya Museum Garuda dan Buku. Di depan museum tampak
patung Garuda Mukha setinggi 3.15 meter dan 9 patung garuda lainnya yang merupakan
karya seniman patung asal Bali, I Made Ada. Dengan jasa Made Ade kemudian desa
huniannya, Desa Pakraman Pakudui, Tegalalang, Gianyar, menjadi Desa Garuda
karena kemampuan warganya menciptakan patung-patung garuda.
Yang unik adalah (mitos) garuda di Bangka
merupakan perpaduan antara elang dan penyu yang secara koeksidensi Pantai
Tongaci menjadi kawasan penangkaran penyu terbaik di Indonesia.
Garuda (penyu) di Bangka beserta rumah
barunya bernama Museum Garuda dan Buku yang dirintis pengusaha Sian Sugito
hendak menyatakan angkara politik yang dikenal sebagai Gestok atau September yang
teramat kelam di tahun 1965, kita bisa atasi dengan tanda petik yang
terus-menerus dibubuhkan kepadanya. Garuda bukan saja pernah menjadi saksi bisu
pendarahan bangsa, tapi juga gelanggang klaim dan penghakiman: siapa penyelamat
(garuda) Pancasila dan siapa pengkhianatnya.
Sudah lima puluh enam tahun sejak Garuda
September itu dipentaskan di panggung politik Indonesia dan melahirkan
mahapralaya bagi kemanusiaan. Kini, wayang garuda (penyu) yang diorkestrasi
tiga penari dari tiga negara serumpun dalam simbol (politik) kenegaraan itu
memperingatkan kembali, angkara itu tak pernah benar-benar lenyap. Ia selalu
ada dan aktual. Termasuk perusakan lingkungan yang masif dan berpotensi melahirkan
bencana ekologi besar.
Kita butuh imajinasi, metode, dan cara
penyampaian garuda dan nilai-nilai agung Pancasila yang dibawa garuda tersebut agar
menjadi watak warga sejak dari pendidikan dini. Bukan dengan jalan
indoktrinasi, kekerasan ideologis lewat koersivitas, namun dengan jalan panjang
gelombang pengajaran kebudayaan. Menari, musik, dan seni rupa adalah salah-tiga
wujudnya. Dengan jalan kebudayaan itulah garuda bisa menjadi metode diplomasi
kebudayaan dunia yang “serumpun” dalam perlambangan negara.
“Kami kira lewat garuda, bangsa dan
negara Indonesia, Ceko, dan Polandia memiliki titik yang sama dalam kebudayaan.
Kita bisa berkolaborasi,” kata Katerina dan Ewa Miller. Ucapan keduanya
nyaris presisi dengan pembangunan politik internasional Sukarno puluhan tahun
silam yang menjadikan Ceko(slowakia) dan Polandia sebagai dua negara kolaborator
yang hangat dari Eropa.
Garuda, pada akhirnya, adalah jalan yang
memungkinkan untuk saling mengenal dan berdialog antarbangsa; gabungan
rupa-rupa daerah (Garuda). [Muhidin
M. Dahlan]
Katerina dari Republik Ceko memainkan Wayang Garuda di lokasi pembuangan Sukarno, Pesanggerahan Penumbing, Muntok, Bangka Barat. Foto: gev/warungarsip
* Pertama kali
diterbitkan di media cetak oleh Jawa Pos Minggu, 11 September 2016.