18 September 1948. 18 September 2016.
Esai #SyawalMerah dan sekaligus mengenang #68TahunMadiun ini saya susuri dengan melewati rute dari arah timur. Tepatnya dari Kediri. Setelah lolos dari Perlimaan Braan, Jombang, Jawa Timur, yang menjadi simpul kendaraan arah Surabaya, Kediri, Madiun, kendaraan merah saya pacu sekuatnya, semampunya, melewati jalanan lurus Baron-Nganjuk-Caruban. Diiringi kerekan matari pagi dan lagu-lagu dengan nada berderap, saya memasuki Kota Madiun.
Yang menari di kepala saya ketika melakukan perjalanan dari Kediri ke Madiun adalah ingatan turne Mayor S. Mustofa pada 1948 setelah dikalahkan detasemen STD Kediri pimpinan Letkol Suhud. Di Kediri, Mustofa yang memegang simpul pasukan Pesindo dari Brigade ke-29 TNI Masyarakat. Tidak seperti saya yang biasa menempuh jalur arus balik “Syawal Merah”, sebagaimana kerap saya lakukan saban bulan Syawal, Mayor Mustofa tur ke Madiun karena dipaksa keadaan: Kiri-Yang-Terdesak, Kiri-Yang-Kuldesak. Dan Madiun, oh kota ini, adalah pangkalan kiri yang masih solid setelah Solo (di)porak-poranda(kan), (di)lemah(kan) oleh Yogyakarta yang menjadi Ibu Kota RI pasca Renville.
Kota ini adalah simpul sedemikian banyak cerita, sekaligus keruwetan imaji dan dalih berdarah yang dihembuskannya. Madiun adalah magnet yang demikian mudah dinisbahkan dengan komunis. Terletak di daerah pedalaman—jauh dari pantai selatan, tapi menjadi lalu lintas utama perlintasan Jawa di garis selatan-tengah. Ia menjadi kota utama untuk kawasan-kawasan sekitarnya seperti Magetan, Maospati, Ngawi, dan Ponorogo. Dari postur ekonomi agrarisisme, Madiun diuntungkan karena persilangan lalu lintas kereta api Jakarta-Surabaya.
Tapi, kosmopolitanisme Madiun serupa city of sin. Dalam litografi namanya menguar darah pekat. Juga hantu yang gentayangan dalam gelap. Mediyun; kota medi, kota hantu yang berayun.
Madiun, oh Madiun. Ini kota yang disusun dari ingatan gelap dan batubata kutukan. Masyarakat di seluruh Indonesia ditanamkan lewat jalan didaktika untuk menempatkan Madiun di sudut ruang kenang paling busuk.
Madiun adalah nama kota/kabupaten yang dijadikan dalih paling jelas dan presisi tentang kota industri berbasis agraris dan pedalaman yang menjadi musabab mengapa orang-orang di Jawa seperti gelap hati melakukan pembantaian massal. Dalih mereka, kami balas dendam. Dari apa?
Madiun. Frase “Madiun” adalah horor yang mungkin hingga seratus tahun ke depan tak bisa pulih total dari penisbahan sejarah. Sehebat apa pun Pak Ong Hari Wahyu berprestasi dalam dunia seni rupa buku, saat ia menyebut diri lahir di Madiun, maka bayangan kamar gelap yang menjijikkan segera menyergap kesadaran.
Seramah dan sesamodya apa pun Yusuf Efendi membawa percetakan buku Diandra Creativa berjaya candradimuka di Yogyakarta, saat dia menyebut berasal dari Geger Madiun, dunia-sadar tiba-tiba ditarik paksa dan dibanting dalam genangan lumpur yang busuk. Sudah Madiun, Geger pula!
Sesalihat-salihatnya Lilik Hastuti Setyowatiningsih dengan cara masuk Himpunan Mahasiswa Islam sebelum banting orientasi bergabung dalam kafilah pergerakan kiri kekinian (PRD), saat dia menyebut diri bertanah tumpah darah Madiun, saat itu juga jidatnya langsung tercap merah semerah-merahnya.
Demikianlah, wajah Madiun, kota yang menyumbang satu peristiwa yang oleh banyak orang ditekuk dalam satu parafrase “Pemberontakan PKI”. Parafrase ini terus diawetkan dalam berbagai cara dan metode. Yang paling genetis dan didaktis adalah dengan metode memasukannya sebagai narasi memedi dalam kurikulum sekolah untuk sejarah Indonesia merdeka, dalam Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.
Dengan pengawetan seperti itu, Madiun seperti kota yang ditakdirkan sebagai kota/kabupaten mahakhusus lengkap dengan stereotipe yang menempel dalam ari-arinya.
Dulu. Kini! (Bersambung)