“Penggembala dan domba / Di bawah kokangan meriam dan kaliber / Ayo jalan, area sawah dekat / Di sini kuserahkan untuk masa depan” ~ Gregorius Soeharsojo, “Pelita 1969”, Tiada Jalan, hlm. 72
Kesaksian tentang Buru sudah kerap diekspresikan oleh mereka yang kena gebuk dan merasakan satu sekade berada dalam kerja di bawah popor bedil, bentakan, dan sepakan lars yang bikin ciut nyali. Ekspresi itu beberapa sudah dibukukan, dan beberapa lagi masih dalam kepala para tahanan politik (tapol) yang usianya makin menuju titik akhir cerita.
Saya ingat, saat jurnal Prisma menggelar sayembara menulis bertema keluarga, naskah tentang Buru-lah yang menang. Prisma edisi No 10 Th VIII, Oktober 1979, atau di tahun gelombang akhir pembebasan tapol, memberi judul terbitan edisi sayembara itu dengan “Anak Indonesia Sepanjang Jalur Asuhan”. Bukti terbitan ini sekaligus menabalkan tapol Buru Hersri Setiawan yang pertama kali kesaksiannya terpublikasikan secara luas ke publik; atau sembilan tahun sebelum kesaksian besar Pramoedya Ananta Toer terbit pertama kali dalam terjemahan bahasa Belanda, Lied van een Stomme (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu).
Seberapa pun kesaksian dipublikasikan, tak pernah menyurutkan rasa pedih menyaksikan Buru sebagai perbudakan terbuka pertama setelah Indonesia Merdeka. Atau dalam istilah Orde Harto Tempat Pemanfaatan Tahanan Politik (Tefaat) dan Inrehab (Instalasi Rehabilitasi). Jenderal Besar Soeharto dengan sangat tepat meniru metode penjinakkan Orde Kolonial terhadap “pembangkang” atau kaum yang dijadikan tumbal dari sebuah persekongkolan mahajahat. Seperti Digul yang diciptakan untuk “pembangkang 26”, Buru dibikin untuk menyapu sisa-sisa Genosida 65 bagi orang Komunis atau terkoneksi dengan kultur progresif komunis atau pendukung garis keras Sukarno.
Sebagaimana pemusnahan perlahan-lahan ala kolonial Digul itu, Buru sukses melemahkan sisa kiri dari belasan ribu tahanan politik (tapol) ini, tapi tak bisa merampas kehidupan dari pemanggulnya. Mereka melawan pembinasaan dengan cara-cara paling dasar: menulis, bercerita, bikin drama, dan menggambar. Pram dan Hersri memilih menulis untuk mempertahankan kewarasan sebagai manusia, sementara yang lain dengan cara menyanyi, bikin tonil, dan menggambar. Kombinasi tiga hal itulah yang dipilih Gregorius Soeharsojo Goenito menjadi papilon dalam kamp kerja paksa “binaan” Jenderal Besar dalam memoarnya yang tahun ini terbit: Tiada Jalan Bertabur Bunga: Memoar Pulau Buru dalam Sketsa (2016).
Kesaksian Greg Soeharsojo ini terasa segar karena menempatkan horor dan kesakitan yang teramat keterlaluan itu dengan cara menertawakannya. Greg mula-mula mengisahkan sambil terus mengingat sebisa-bisanya Kota Surabaya yang menjadi latar panggung drama dan teater bersama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Juga semampu-mampunya Greg mengisahkan ulang Madiun, kawasan di mana ia lahir pada 10 Februari 1936. Dan, kisah penghinaan kehidupannya betul-betul dimulai pada 22 Juni 1966, pukul 2 dini hari, saat tubuhnya didorong secara kasar ke dalam sebuah jip. Dari penjara ke penjara; dari satu kehinaan ke kehinaan yang lain; dari Surabaya ke Nusakambangan; dan dari Limus Buntu, Nusakambangan, Cilacap ke Pulau Buru, Maluku. Ia bergabung dalam 12 ribu tapol yang oleh Orde Harto dikategorikan B dengan definisi aneh: mereka yang terlibat, tapi tidak cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan.
Pahlawan Repelita I: Tapol sebagai Percobaan Pembangunanisma
Bacalah kesaksian Greg Soeharsojo di halaman 21 buku setebal 248 ini: Sambutan ketika telapak kaki pertama menginjakkan tanah Buru ialah teriakan petugas: “Harap diperhatikan! Nomor sat Oey Hay Djoen.” Menjawab nyaring suara Hay Djoen, “Iya siap!” Berdirilah dia dan pindah ke tempat lain. “Nomor dua Anwar Kodir.” Jawabnya, “Siap!” “Nomor tiga Rivai Apin.” Jawabnya, “Siap.” “Nomor empat Karel Soepit.” Jawabnya, “Siap.” “Nomor lima Pramodya Ananta Toer.” Jawabnya, “Siap.” Sampai seterusnya nomor 500.
Itulah ritus penyambutan limaratus tapol yang dimuntahkan kapal ADRI sehari sebelum 17 Agustus 1969. Di hari kemerdekaan yang umumnya diperingati oleh Greg dan ribuan budayawan revolusioner di masa Sukarno masih kokoh bertahta dengan karnival kegembiraan, kini berganti suasana. Nama-nama para penyokong budaya progresif itu tinggallah nomor belaka. Dan nomor-nomor itu dipaksa menjalankan satu bakti profesi: petani. Maka tak salah bila Pramoedya Ananta Toer membuka paragraf memoarnya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dengan soal petani.
Rombongan buang yang berjumlah 500 orang itu didominasi Jawa Timur, yakni 400-an orang. Mereka berasal dari Surabaya, Bojonegoro, Lamongan, Babat, Tuban, Blitar, Malang, dan Madiun. Sisanya terbagi dua: 50 dari Jakarta, 50 dari Yogyakarta dan Jawa Tengah, terutama Semarang dan Solo.
Di Limus Buntu, Nusakambangan, cerita Greg, ia mendapat tugas membuat nomor yang mesti dijahitkan di baju masing-masing si terbuang. Nomor 001-100 untuk kalangan terpelajar, dosen, pegiat budaya, pimpinan partai. Sisanya untuk rombongan dari Jawa Timur yang bahkan ada yang masih butahuruf yang diangkut dari desa. Dari situ, Greg tahu ia sekapal dengan pengarang terkemuka Pramoedya Ananta Toer.
Di Buru, semua rombongan dibariskan dalam satu profesi: petani. Tugas mereka adalah sekrup mesin membuka lahan pertanian raksasa untuk pembangunan Indonesia Timur, Maluku khususnya. Jauh sebelum program ABRI Masuk Desa (AMD) diprogramkan negara, tapol telah melakukannya. Berbeda dalam segalanya, ABRI dikenal sebagai serdadu pembangunan dengan segala ganjaran yang memperkokoh kedudukan mereka dalam politik sipil, sementara tapol adalah “Pahlawan Repelita I” dalam pengertiannya yang peyoratif.
Berpidatolah komandan Tefaat Inrehap sebelum melepas ke tanah perbudakan berkedok pembangunan di Wai Apu: “Uluran baik tangan pemerintah ini pergunakanlah sebaik-baiknya…. Ingat, Repelita I saudara-saudara adalah ikut membuat sejarah baru Indonesia.” (Tiada Jalan, hlm. 39)
Tak pernah terbayangkan oleh orang-orang kiri yang kalah dalam “perang-aneh” dan memanggul sebutan Pahlawan Repelita I ini bahwa mereka ditunggu batalion penjaga yang selama satu dekade mengawasi kerja hebat mereka. Harapan terbesarnya adalah di satu sisi terbuka lahan pertanian raksasa, terbangun infrastruktur jalan, berdiri barak-barak tinggal dan markas serdadu dengan tenaga cuma-cuma di Maluku; sementara di sisi lain yang lebih sublim adalah pikiran-pikiran kiri/komunis para budak itu tergerus oleh kerja paksa tanpa cuti.
Menghadapi perintah kerja itu, ingatan Greg melela pada nyanyian di masa ketika Revolusi menderu bersama panggilan pembangunan. Judulnya, “Mars Bekerja”: Bekerja bekerja bekerja / Tenaga semua sudah bersatoe / Mesin pabrik berpoetar terus / Marilah kita bersama berjuang / Gugur hancur kaum sekutu. (Tiada Jalan, hlm. 27)
Tanpa mesin pabrik, belasan ribu manusia malang ini bekerja dengan tenaga manusia seutuhnya. Tanpa upah, jaminan keselamatan, apalagi pesangon makan, mereka berangkat kerja dalam barisan yang dikendalikan peluit panjang serdadu yang tak pernah berperang itu sejak matahari timbul hingga terbenam kembali.
Dalam ritus kerja, kerja, kerja di kamp kerja paksa Buru atas nama menyukseskan Repelita I itulah kita mendapatkan kisah siasat-siasat kecil untuk hidup. Jika Pram mendeskripsikan ular sebagai lauk agar badan tak tumbang dalam pembukaan sawah dan bendungan, Greg mendaras betapa tikus dan cindil-cindilnya menjadi penyumbang tenaga kaya protein. Untuk mendapatkan air minum, tapol mendapatkannya dari batang rotan yang dipotong. Berbagai pengobatan tradisional dicobai para tahanan untuk menghalau macam-macam penyakit. Mereka harus bisa merawat badan sendiri jika tak ingin disantap pukulan. Mencoba lari? Diburu dan ditembak mati.
Tahu berapa hektar lahan pertanian yang mereka buka dengan tangan manusia tanpa mesin itu? Tiga ribu lima ratus hektar. Setiap panen, budak-budak itu dipaksa memikul hasil kerja mereka ke pelabuhan untuk para penikmat pembangunan yang tinggal di kota dan sebagian dirampas serdadu untuk kepentingan diri sendiri. Hanya pokok-panen sisa saja untuk petani-petani politik ini buat sekadar bertahan hidup.
Sketsa Kesaksian: Menjadi Pahlawan atau Penakut
“Penakut berkali-kali takut / Sebelum ajalnya tiba / Pahlawan mati hanya satu kali” ~ Gregorius Soeharsojo, “Pentas Drama 1962”, Tiada Jalan, hlm. 131
Dalam selembar surat keputusan Kopkamtib bernomor Kep-009/Kopkam/2/1969 yang ditandatangani 26 Februari 1969 oleh Jenderal M. Panggabean dikatakan Pulau Buru menjadi tempat “pengasingan sementara” bagi belasan ribu manusia hina. Tapi, dengan disusulkannya keluarga para tapol ini ke Buru memunculkan spekulasi bahwa Buru diciptakan sebagai pembuangan akhir dan tak pernah pulang ke Jawa lagi.
Ketakpastian masa depan seperti itu bermain-main dalam hidup tapol itu. Maka, satu-satunya siasat menenggang ketakpastian itu adalah membangun barikade pertahanan jiwa yang kukuh. Dalam ruang-ruang pertahanan itulah mereka menciptakan hiburan untuk menunda kematian dan frustasi pada masa depan yang suram.
Pertahanan hidup selama satu dekade di Tefaat Buru itu tergambar dengan detail dalam 168 sketsa Greg. Garis-garis sketsa yang diguratkan Greg seperti orang yang sedang dikejar hantu pembunuh. Dibikin cepat-cepat dengan harapan suatu hari kelakorang lain melihat lebih dalam begitu daruratnya nasib ribuan manusia yang dinista untuk kesalahan yang mereka juga bingung menceritakannya. Ditambah 13 foto dan 35 sajak atau syair lagu, Greg mendendangkan kegembiraan-dalam-sepi di arus besar sejarah yang mengutuk ia dan kaumnya. Berkesenian dalam ideologi kiri pada akhirnya perkara yang sungguh tidak sepele pada suatu zaman.
Sebagaimana Gumelar Demokrasno dalam Dari Kalong Sampai Pulau Buru: Kisah Tapol dalam Sketsa (2006), garis-garis sketsa Greg Soeharsojo merekam dengan impresif sejak kerja badan yang tiada henti hingga “pembinaan mental” lewat santiaji agama dan mandi junub dari komunis dengan air nilai-nilai Pancasila.
Dalam konteks “pembinaan mental” itulah para budak tapol ini dengan caranya sendiri menjadi “pahlawan”. Greg, selain bikin tonil, main musik keroncong, berdendang, main wayang, juga memanfaatkan kemampuannya membuat sketsa yang tanpa disadarinya mendorong lahirnya “memori kolektif” atas apa saja yang terjadi di gelanggang kerja paksa. Yang menarik adalah sketsa Greg berbeda dengan Gumelar yang kadang keras dan juga artistik. Sketsa Greg lebih natural dan tampak sengaja “menghindari” penggambaran penyiksaan tapol yang kemudian kita tahu dengan siasat itu kertas-kertas sketsanya lolos dari perampasan.
Jika dalam bernyanyi Greg menawar kesepian yang merampas kewarasan; dalam bermain tonil Greg menapis keterpisahan yang panjang dari kolektivisme; maka dalam gambar/sketsa Greg mengubah kesakitan menjadi kesaksian atas sebuah orde yang berdiri di atas pemusnahan massal dan kamp kerja paksa. Kesaksian Greg ini memberitahu kita dengan metode garis dan kata ihwal binatangisme manusia atas manusia yang berlangsung dalam kereta sejarah Indonesia modern.
Dari Surabaya, Greg si pemanggul gelar sebagai “Pahlawan Repelita I” bersama ribuan kaum paria lainnya, bersaksi untuk sebuah kejahatan politik masa silam yang masih berkabut tebal. Dari Jakarta, lalu Yogyakarta, dan serentetan kota lain di Jawa ini, Greg menuturkan kesaksiannya lewat narasi dan sketsa di usianya yang kian senja, 81 tahun. [Muhidin M. Dahlan]
• Pertama kali dipublikasikan di Harian Jawa Pos Minggu, 23 Oktober 2016, hlm 4,