Apresiasi: Taufikadan ~ Mengenal Rimba Kepenulisan Esai Bersama Gus Muh

INILAH ESAI! /1/ Dua tahun lalu saya pernah mengikuti sebuah kursus menulis esai yang diselenggarakan YPM Salman ITB. Kursus yang berlangsung selama 12 pertemuan ini bertujuan untuk melahirkan para penulis yang tidak hanya mampu menulis opini di surat kabar, tapi juga memberi pengantar bagaimana menjadi intelektual publik.

Yang menarik, bahwa di dalam kursus itu, porsi “teknik menulis” cenderung lebih sedikit ketimbang “pengembangan pola pikir”. Saat itu saya dijejali materi-materi soal intelektualitas, filsafat, dan proses (berpikir) membaca kreatif. Penyelenggara kursus itu seakan ingin mengatakan, “Menulis merupakan ‘anak’ dari kegiatan berpikir. Jika Anda tidak membangun pola pikir, maka tulisan-tulisan Anda akan mentah.”

Dua tahun berselang, belum ada satupun tulisan saya yang muat di media massa. Beragam kesuitan masih saya alami, dari mulai “mental block”, sampai ketidakmampuan diri untuk tekun menekuni proses menulis yang panjang. Dan yang membuat putus asa: saya tak punya latar belakang otoritas yang mumpuni. Padahal media sangat memperhitungkan ke-”siapa”-an sebelum memutuskan memuat sebuah tulisan.

Saya pun masih dilanda kebingungan tentang ekspolarasi gaya menulis yang, meskipun tersedia di beragam esai, perlu dipelajari dengan ringkas.

/2/

Saya terus mencari buku-buku menulis esai yang bagus. Tapi sejauh pencarian, saya lebih sering menemukan buku-buku kepenulisan yang berisi konsep-konsep, dan teori. Buku-buku semacam inilah lebih sering membuat saya bosan sebelum merampungkannya.

Lalu sekira 2 minggu lalu saya memergoki sebuah buku bersampul hitam, di depannya tertulis sebuah judul “Inilah Esai, Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor”, penulisnya: Muhidin M Dahlan. Sebuah nama yang pernah ramai diperbincangkan karena novelnya, “Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur!”, dan “Adam dan Hawa”. Selain itu Gus Muh, sebutan akrabnya, dikenal juga sebagai pegiat literasi yang terkenal sering menulis di surat kabar.

Setelah memberanikan diri untuk meminjam, akhirnya buku ini saya pegang selama dua minggu.

Di beberapa halaman awal buku, Gus Muh, mengutip Michel de Montaigne, yang menyebut bahwa esai sangat lekat pada aktifitas “coba-coba”. Definisi yang mencerminkan hampir seluruh kelanjutan dari buku ini. Gus Muh, tak berpretensi memberikan definisi yang akademis dan rigid. Definisi esai sepertinya sengaja dibuat lentur.

Pada bab-bab berikutnya, Muhidin secara lengkap membawa kita pada memberikan sebuah upaya mengenal rimba kepenulsan esai di Indonesia. Mulai dari tips soal gaya menulis, cara menata judul, meramu deskripsi, sampai mengunci esai terdapat di dalam buku ini. Gus Muh, tak pernah membiarkan pembacanya kebingungan tanpa contoh. Gus Muh, menjejali sekujur buku dengan hampir 100-an esai dari arsip yang dimilikinya.

Misalnya, saat membahas tentang (menata) judul. Gus Muh, menyuguhkan esai Soewardi Soeryaningrat: “Andai Aku Seorang Belanda” sebagai contoh judul dengan teknik “Pengandaian”. Di kali lain, Gus Muh menyebut beberapa contoh judul “Satu Kata” yang kerap digunakan Goenawan Mohamad saat menulis Catatan Pinggir.

Di dalam buku ini, saya tak hanya belajar teknik menulis, tapi dalam waktu bersamaan mengenal rimba dunia esai dari masa ke masa. Perbincangan tentang beberapa esai yang pernah menjadi kontroversi, dan pergulatan pemikiran dibahas sepintas lalu. Hal ini membuat saya terdorong untuk lebih membaca lebih jauh polemik pemikiran itu.

Gus Muh, barangkali ingin menyisipkan sebuah pesan tersembunyi. “Satu-satunya cara untuk mampu menulis esai, adalah dengan membaca esai.”

Disalin dari: taufikadan.tumblr.com