GURU L. JENTONG. “Kepala Sekolah Penuh Dedikasi”

“Sekolahkan hingga setinggi-tingginya “anak kita” itu. Dia punya potensi besar.” — Guru L. Jentong kepada Ambo Muhammad Dahlan, 1993

Saya menghadap pusara sang kepala sekolah di pemakaman desa kala pulang kampung di pengujung tahun 2013 seusai acara Hari Nusantara Nasional yang dipusatkan di Kota Palu, Sulawesi Tengah. 

Pekuburan ini nyaris tak pernah berubah sejak saya meninggalkan kampung ini untuk tinggal di Yogyakarta sejak 1996; kecuali makin meluas, makin padat. Artinya, ada satu generasi yang ketika dari kanak hingga remaja yang sudah hilang berpindah rumah di pekuburan yang tak jauh dari sungai besar Desa Tondo, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala ini.

Nama di nisan itu L. Jentong. Jika Anda mencarinya di bilah pencarian tentu tak menemui seutas pun link yang mengarah pada riwayat tentangnya. Dan, memang tak ada yang menuliskannya–atau saya tak menemukannya di blog mana pun. Nama ini agak “aneh”, L. Jentong. Seumur-umur hingga sekarang saya tak pernah mengetahui aksara “L” itu akronim dari apa. Apalagi nama “Jentong” yang di internet kita diarahkan ke web seni rupa dan komik “jentong.com”.

L. Jentong yang saya maksudkan ini bukanlah perupa. Ia guru di desa yang berdedikasi. Ia guru saya di Sekolah Dasar. Tepatnya, ia Kepala Sekolah saya di SD Inpres No 2 Tondo, Kecamatan Sirenja. L. Jentong adalah kepala sekolah pertama ketika sekolah yang dibikin atas Instruksi Presiden (Inpres) ini dibuka pertama kali pada awal tahun 80-an. Inpres ini adalah tekad pemerintah Orde Baru membuat satu desa satu sekolah. Tak boleh ada desa yang tak punya sekolah dasar. Nah, sekolah-sekolah yang hadir bersandar pada instruksi ini diberi label: “Inpres”.

Saya adalah bagian dari siswa yang “menikmati” pendidikan dasar dari instruksi itu. Dan, L. Jentong adalah guru yang tersayang dari semua guru yang mengajar. Saya membayangkan kasih Guru L. Jentong seperti Pak Kepala Sekolah Kobayashi di SD Tomoe di Jepang seperti dalam kisah Toto Chan. Guru L. Jentong memang tak pernah memberi tugas membawa bekal makanan dari laut dan dari gunung setiap harinya, sebagaimana Guru Kobayashi.

Tapi, keluasan kasihnya–dan mungkin karena pengalaman mengajar anak-anak kecil berpuluh tahun–menjadikan Guru L. Jentong adalah orangtua kedua. Wejangannya saat upacara di hari Senin yang menyebalkan itu seperti siraman ruhani dari ustaz-ustaz di kota yang berceramah dengan menggunakan speaker lawasan.

Guru L. Jentong terkenang, paling tidak oleh saya, karena tak ringan tangan untuk memukul dan menahan diri sedemikian rupa untuk membentak muridnya secara langsung dan demonstratif di depan banyak orang. Kehadiran Guru L. Jentong selalu meneduhkan lantaran persoalan sepele: ia bukan guru yang menebarkan ancaman.

Jika tak ada acara sangat penting untuk mewakili sekolah, Guru L. Jentong selalu datang untuk mengajar. Ia, seperti halnya hampir seluruh siswanya, berjalan kaki dengan tabah dan gembira ke sekolah. Guru L. Jentong yang hampir semua rambutnya lepas dari kepala adalah Guru Sejati! Semua orang di kampung memanggilnya dengan sebutan: “GURU”. Ya, Guru, tanpa embel-embel nama di belakangnya.

Teken Sang Guru di selembar kertas ijazah itulah yang menjadikannya abadi dalam sejarah pendidikan (dasar) hidup saya. Pak Guru L. Jentong, saya haturkan penghormatan tak terhingga kepadamu. Al-Fatihah! [Muhidin M. Dahlan]

Tandatangan Guru L. Jentong

Guru L. Jentong (Kiri). Berpose bersama siswa-siswanya. Foto: Alimin