Adhe Ma’ruf: “Dialah Wahabi Buku Jogja”

Mula-mula saya mengenalnya dari esai-esai sosial politiknya di harian yang terbit pertama kali pada 1946 di Yogyakarta. Esai sosial-politik, ya. Sebab dalam pengakuannya bertahun-tahun kemudian, berita-berita ekonomi menyebalkan kata dia. ”Halaman indeks saham dan ekonomi makro di Kompas itu selalu saya hindari membacanya,” kata dia.

Dia mengagumi tokoh Roy dalam Balada Si Roy karya Gola Gong. Sebagaimana Roy, dia juga melakukan perjalanan. Perjalanan dari Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat ke Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Roy berjalan dan mengembara dari kota ke kota, tapi dia mungkin mau bilang, perjalanan dari kabupaten yang ada jalan Tan Malaka-nya itu ke kota yang kemudian disebutnya setengah gila ini sudah lebih dari cukup.

Dia memang tak pernah berlebihan. Jika menulis di koran sudah cukup untuk bisa merangkak naik dari mahasiswa pengisi absen Prof Haikal si Lejen untuk menjadi cendekia bidang sosial dan historika, ya sudah, menulis di koran saja. Walau kemudian saya kerap kecele dan dibikin bingung. Sebab ada tiga nama kembar yang menulis topik yang sama di koran nasionalis-sekular itu.

Selalu begitu. Hidupnya tak jauh-jauh dari menulis. Dia kagumi Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, tapi dia tak peduli GM punya bisnis media dengan saham besar yang membuatnya lebih dari cukup untuk hidup seribu tahun lagi. Baginya, GM itu pintar mengutip. Jika dalam esai-esai budaya dan pengantar buku yang dia bikin tampak kelihaian dan lentur dalam mengutip, pahamilah itu buah ajaran dari GM. Peduli iblis bahwa GM mengenal dirinya atau tidak.

Sampailah seseorang menjerumuskannya dalam dunia buku. Seseorang teman saya juga di pers kampus. Keduanya berteman. Ke sana ke mari selalu bersama seperti orang pacaran saja. Kadang dia ikut rapat redaksi di pers kampus itu, walau bukan anggota. Kadang ikut evaluasi majalah atau buletin juga dengan kritik-kritik tajam. Kadang berpakansi dengan semua anggota pers kampus itu jika ada dana di Rektorat. Daripada membusuk di kos.

“Aku itu gak punya teman ngobrol yang asyik di jurusan. Di kosan juga ‘begitu-begitu’ saja. Cuma kalian ini yang keren dan bisa diajak ngobrol bagus,” akunya.

Ngobrol bagus?!

Mungkin, maksudnya yang bisa berdiskusi. Jarak antara ruang kelas kuliah dan kos tempat tinggalnya hanya beberapa meter. Jika ia pulang ke kos, paling hanya “tidur-tiduran”.

Dan setiap waktu salat, telinga sekulernya pasti selalu terganggu. Maklum, mihrab masjid di mulut Gang Guru itu bersepunggung dengan jendela kamarnya yang menurut pengakuannya jika tengah malam selalu ada suara sandal diseret-seret.

Di antara ruang KK itu, ruang kuliah-kos yang membosankan itulah ia berjumpa dengan ruang lain. Ya, itu tadi saya sudah sebutkan di atas.

Termasuk idenya melakukan simulasi sebelum skripsinya disidang oleh para penguji di jurusannya. Di pers kampus itu, skripsi (politik) islaminya dapat C, tapi di jurusannya dapat A+. Dia pun mengumpat.

Dan tentu saja bikin buku. Pada 1999, ia tercatat sebagai satu dari 3 pendiri lembaga penerbit rumahan di Yogyakarta dengan alamat kantor awal di sebuah rental komputer. Dari penerbit yang bernama Jendela ini ia menjadi saksi bangkitnya penerbit rumahan yang menjalar seperti virus dan hanya butuh lima tahun tergulung badai.

Tapi ia tak mati. Dan tak ingin mati. Maklum, si Roy dengan nasib menyedihkan ini total berdiri di garis buku. Sudah kebacut. Semua peluang dan pelampung penyelamatan atas nasib buruk sepertinya sudah ia bakar dan cabut dari kepalanya. Semua bisikan dan godaan untuk berpaling ke usaha lain ditampiknya,Dia memaksa dirinya hanya mengenal satu usaha di dunia ini, ya hidup dengan buku. Persetanlah dengan keterampilan hidup lain. Padahal ijazah sarjananya masih berlaku — dan jika digadaikan tentu masih laku.

Bangkit, jatuh, bangkit lagi. Dari mendirikan Jendela, Alinea, hingga Octopus. Ia terus mencoba dan membuktikan bahwa buku Jogja di mana ia tampil sebagai patriotnya masih bisa bicara. Ia pembela dan fundamentalis (buku) Jogja yang gigih — yang bahkan si Raja di KM 0 saja mungkin tak pernah memikirkannya. Siang malam di kepalanya hanya buku, sampai-sampai anak lanangnya merasa kasihan dengan kesehatan dirinya dan memutuskan (untuk sementara) bahwa cita-citanya adalah: “Membantu Papa”.

Menurut saya, wahabinya buku Jogja itu adalah si dia ini, lelaki dari Sunda ini. Dialah Adhe Ma’ruf. [Muhidin M. Dahlan]

#TemankuOrangBukuKeren