Di Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember 2016, penulis dan cendekia kritis George Junus Aditjondro wafat di Palu, Sulawesi Tengah. Ia berangkat dengan tenang setelah dua tahun sebelumnya ia wakafkan buku dan kliping korannya kepada publik lewat perpustakaan Indonesia Buku di Yogyakarta.
Titimangsa kematian Aditjondro hanya berpaut tiga hari dari kematian Adisoerjo (1918). Dan dua sosok ini, Adisoerjo dan Aditjondro, berbagi koleksi di kamar perpustakaan Indonesia Buku.
“Pustaka Aditjondro” adalah nama ruang koleksi di Indonesia Buku setelah 8 tahun memiliki ruang “Pustaka Adisoerjo”. Jika “Pustaka Adisoerjo” (soerja=mentari) adalah alamat sebuah kerja bagaimana kronik pers Indonesia dilakukan terus-menerus dan sekaligus penghormatan kepada Tirto Adhi Soerjo, maka “Pustaka Aditjondro” (tjandra=rembulan) adalah pustaka sosial untuk pembebasan.
George Junus Aditjondro adalah penulis dan cendekiawan publik yang mewakafkan gelora hidupnya untuk melawan perilaku korup pejabat negara. Sebagai penulis di jurnal Prisma, Aditjondro belajar berdisiplin menata struktur berpikir ilmiah dengan subjek kajian yang khas, terutama pada salah urus soal tanah adat, tanah pesisir, maupun kebudayaan saat berhadapan dengan korporasi negara. Sebagai jurnalis di majalah Tempo ia mengasah kepekaan bahasa dan ketajaman investigasi atas peristiwa arus bawah.
Kampus Cornell, AS, tempat ia mendapatkan gelar doktor, justru memulai langkahnya untuk menjadi cendekiawan pengembara yang hidup dari satu negara ke negara lain, dari satu kota ke kota lain, dan dari satu komunitas ke komunitas lain. Para penggiat perubahan sosial yang tinggal di Aceh hingga Papua pastilah mengenal dekat Aditjondro.
Sebagai alumni pendidikan tinggi yang bonafide, Aditjondro punya potensi menjadi sekrup proyek pemerintah, pengajar di kampus ranking satu, atau bahkan komisaris di korporasi. Namun ia memilih jalan lain yang tidak “normal” dan “lazim”. Ia menjadi cendekiawan publik yang merawat semangat bahwa perubahan sosial mesti terus diperjuangkan dan cendekiawan tak boleh absen di dalamnya walau hidup melarat menjadi niscaya.
Aditjondro melawan kekuasaan korup tanpa pasukan. Ia melawan dengan buku dan tulisan-tulisan yang berserakan di majalah, brosur, dan media daring. Bukan hanya kekuasaan korup Presiden Soeharto yang disingkapnya, melainkan juga rezim penggantinya. Termasuk perlawanan terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadikannya sebagai salah satu newsmaker di pengujung 2009.
Karena komitmen pada dunia arus bawah ini Aditjondro berhadapan vis a vis dengan Raja Yogyakarta ihwal sengketa tanah Kulon Progo yang membuatnya nyaris diusir elemen pendukung raja dari kota tempat koleksi bukunya ia simpan. Bahkan ia juga disingkirkan dari tempatnya mengajar di salah satu kampus swasta dan, terutama, mata kuliah Marxisme yang diampuhnya turut serta hilang.
Di saat pelbagai teror dan ancaman itulah kita tahu bahwa Aditjondro tak memiliki tanah dan rumah untuk tempat tinggalnya. Ia cendekia pengembara par excellence bersama 2.500-an judul buku serta boks-boks berkas dan catatan lapangan, kliping laporan media dan sebagainya.
Dua kali diserang stroke yang nyaris merenggut nyawanya, Aditjondro menjalani kehidupan kedua di Kota Palu yang jauh dari ingar-bingar — dan di sanalah ia akhirnya mengembuskan nafasnya yang terakhir.
Ia berangkat ke Palu pada September 2014. Dia berpamitan dengan segelintir kolega dan anak-anak muda di Yogyakarta. Tapi Aditjondro berangkat ke tempatnya yang baru tak bersama-sama dengan bukunya. Kepada Yogyakarta yang dicintainya dan sekaligus menyingkirkannya, ia mewariskan koleksi-koleksi buku pilihannya untuk dirawat dan dipergunakan angkatan muda yang punya komitmen sama pada perubahan sosial.
Pustaka Aditjondro berisi lini masa bagaimana pemikiran dan semangatnya dibangun oleh buku-buku bermutu dan terpilih. Buku bertema antropologi, sosial kritis, agraria dan lingkungan, Marxisme, pendidikan pembebasan, agama dan keragaman kultur, minyak dan korporasi, gender, biografi politik, serta koleksi majalah dan jurnal.
Pustaka Aditjondro yang dikelola Indonesia Buku, sebagaimana Pustaka Adisoerjo, bukanlah sebuah ruang, melainkan cara kerja dan bagaimana komitmen pada kehidupan sosial yang lebih baik dirawat.
Pada akhirnya, kita butuh mentari untuk menjalani hidup harian dan membutuhkan rembulan untuk menata visi kritis dan menjaga komitmen kecendekiaan pada gerakan arus bawah.
Doa untuk Adisoerjo (7 Desember) dan Aditjondro (10 Desember). Pustaka warisan mereka menjadi amal bagi kehidupan generasi sekarang dan mendatang.
- Pertama kali dipublikasikan di web: Tirto.id, 10 Desember 2016.