Pagi itu ia datang seperti ribuan pagi sebelumnya. Bersandal kulit, bercelana kain, dan dengan kemeja bergaris. Kadang juga kemeja putih lengan panjang yang sudah “berwarna”.
“Bagaimana kabar, Din?” demikian ia biasa menyapa dan mengeluarkan enam hingga tujuh buku. “Lagi menulis apa dan buku apa yang diperlukan?”
Ia sudah satu dekade lebih menjadi kurir buku bagi penambahan koleksi Newseum Indonesia di Veteran I, Monas, Jakarta Pusat. Saya berkenalan dengannya pertama kali saat masih berkantor di Jl Jambu, Menteng. Dan, banyak buku koleksi di Indonesia Buku adalah hasil perburuannya.
“Sudah lebih dari 10 ribu buku saya pasok,” katanya lirih.
Namanya Budiman. Jalannya pendek-pendek dan membungkuk. Tiap hari ia naik turun bus mengunjungi lapak-lapak buku. “Jatinegara dan Tenabang yang paling sering saya datangi,” ujar lelaki kelahiran 1956 asal Riau ini.
Datang pertama kali ke Jakarta sebagai mahasiswa Ekonomi Perusahaan di Universitas Pancasila dua tahun setelah Malapetaka Januari (Malari) yang meluluhlantakkan Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Dan, kursus bahasa menjadi “bisnis” awal yang digelutinya.
“Saya dan beberapa teman membuat kursus bahasa Inggris untuk instansi pemerintah. Les private bahasa Inggeris. Kami ditelepon. Lalu mengirimkan seorang guru,” kisahnya.
Ketika pesanan kursus sepi, ia mulai beralih ke buku. Mula-mula ia menjadi agen untuk buku-buku ensiklopedia di Widya Dara. Ensiklopedia yang dipasoknya, antara lain Britanica dan Americana.
Sebagaimana kursus, ia pun memperoleh jalan menjadi agen buku untuk penambahan koleksi beberapa kedutaan besar yang membutuhkan buku-buku “local content“.
Dan, akhir tahun 80-an, ia menjadi pemasok buku untuk Library Congress USA, National Library Australia, maupun KITLV (Belanda). Untuk lembaga dalam negeri, ia sering memasok buku untuk Centre For Strategic and International Studies (CSIS).
“Kalau KITLV mereka mau mengambil seluruh buku tanpa pilih-pilih. Di luar lembaga itu biasanya buku baru atau tiga tahun belakangan. Bahkan, CSIS memesan berdasarkan kebutuhan tema,” tuturnya.
Ia tinggal di Kemayoran bersama keluarga. Kepada buku ia percaya betul bisa menghidupi istri dan dua anaknya. Menurutnya, buku adalah rezeki dan juga persahabatan.
“Saya berkenalan pertama kali dengan Pak Taufik itu saat di Senen. Masih berpakaian hitam-hitam,” katanya, mengenang. Kepada nama ini ia nyaris tiap hari kalau tak sakit mengantarkan buku-buku dalam jumlah tertentu secara konstan. Dan itu berlangsung selama satu dekade lebih.
Dalam beberapa kesempatan, kolektor dan biblioholik Taufik Rahzen memang sering mengatakan bahwa buku-buku yang dibawa Budiman kerap mengagetkan. Termasuk datangnya gelombang buku-buku koleksi Wakil Perdana Menteri Subandrio di era senjakala pemerintahan Presiden Sukarno.
“Saya menemukan buku-buku koleksi Subandrio itu di Jatinegara,” ungkapnya.
Bukan hanya itu, buku History of Java karya Raffles, juga hasil buruannya. Kini, buku itu ada dalam koleksi Newseum Indonesia.
Usianya kini merambat ke senja. Tapi, ia belum menyerah. Ia masih menyusuri Jakarta. Mencari buku. Membangun persahabatan. Sudah menjadi suratan takdir, ia mempertemukan buku kepada mereka yang tepat untuk menyimpan dan memanfaatkannya.
Ia kurir buku yang paham seluk-beluk Jakarta dan persebaran buku-bukunya. Termasuk dunia pelapak daring.
Saya mengenalnya sebagai agen buku utama. Di Veteran, Monas, Jakarta Pusat, kami memanggilnya “Pak Budi”. [Muhidin M. Dahlan]
#TemankuOrangBukuKeren