“Dengan buku kami ingin membangunkan pada mereka hidup jang tak bertudjuan, dalam keadaan sulit dan hasrat akan hidup jang lebih luhur dengan usaha sendiri” – Gunung Agung, 1954
Ketika Toko Buku Gunung Agung (GA) mengumumkan tutup pintu untuk selamanya pada Mei 2016 ini, maka selesai pulalah sejarah (toko) buku di era “Revolusi Belum Selesai”. GA adalah legenda dan sekaligus representasi bagaimana penerbit, toko, dan penyelenggaraan festival buku dilakukan secara menyeluruh dalam satu mata rantai usaha.
Toko dan penerbit yang didirikan di Kwitang 13, Jakarta Pusat ini adalah penyelenggara ” book fair” pertama Indonesia setelah Proklamasi pembentukan negara diumumkan. Bertajuk “Pekan Buku Indonesia”, book fair GA ini dihelat pada 8 – 4 September 1954 di Gedung Pertemuan Umum, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta.
Buku setebal 331 halaman yang berjudul “Pekan Buku Indonesia 1954” yang sekaligus bertindak sebagai katalogus memberi kita informasi dan kesaksian dunia buku Indonesia semasa. Artinya, pekan buku digunakan GA sebagai bentuk laporan situasi perbukuan kepada masyarakat buku.
Untuk mengerjakan pelaporan ini GA memiliki tim database yang bernama Bibliografi Buku Indonesia. Tim ini melaporkan secara detail bukan hanya leksikon penulis, nama dan alamat penerbit, tapi juga percetakan dan jaringan toko buku di seluruh Indonesia; mulai dari Toko Buku Tuan Jusuf di Air Bangis (Sumatera Tengah) hingga Toko Buku Sabar di Wonosobo (Jawa Tengah).
GA juga nengeluarkan daftar jumlah percetakan yang lengkap. Sebelum book fair pertama ini diselenggarakan dan sembilan tahun setelah Indonesia merdeka, kita memiliki infratruktur percetakan buku yang sangat memadai. Percetakan itu tersebar di 98 kota, dari Ambon (Percetakan Maluku) hingga Tulungagung (Percetakan V.I.O.D). Jumlah percetakan terbesar dirajai Jakarta lalu Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Malang, Jogja, Surakarta, Makassar, dan Banjarmasin.
Bukan IKAPI, tapi GA dan Balai Pustaka-lah pemberi peta pertama kepada kita dunia penerbit buku di Indonesia; tak hanya daftar, tapi juga informasi-informasi kualitatif soal sisi-melik penerbitan dan harapan-harapannya, bahwa dengan buku “kami jakin semua tjita2 dapat tertjapai oleh setiap orang jang mempunjai kemauan dan berdaja upaja mengedjarnja”.
Peran GA yang besar bagi peletakan dasar industri buku di Indonesia inilah yang menciptakan kedekatan khusus dengan Presiden Sukarno. Kedekatan ini dibuktikan dengan kepercayaan Sukarno di senjakala kekuasaannya menyerahkan naskah biografinya berjudul Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat yang disusun Cindy Adams untuk diterbitkan dan didistribusikan Gunung Agung.
Tjio Wie Tay atau kemudian dikenal dengan nama Masagung pun bukan sekadar industriawan buku yang mendirikan Gunung Agung, melainkan menjadi sahabat dekat Sukarno. Lewat bukulah Sukarno berkali-kali singgah di Kwitang untuk melihat dan menyapa para pekerja buku.
Karena faktor patronase Sukarno ini pula “Pekan Buku Indonesia” dengan nama yang terkesan datar seperti frase “book fair” empat tahun kemudian berubah menjadi lebih bersemangat dan berapi: “Gelanggang Buku Indonesia”.
Hubungan Gunung Agung dan Sukarno ini adalah sinyal betapa infrastruktur utama buku berupa toko buku, percetakan, dan penerbit tak pernah kalis dari kesertaan negara. Dukungan penuh seorang presiden bisa membangkitkan semangat bahwa para pekerja buku ini tidak bekerja sendirian dan hanya mengikuti naluri liar bisnis semata. Kerja mereka bernilai besar menyediakan makanan ruhani warga negara.
Sebagaimana kata Menteri Penerangan F.L. Tobing (1954: 9) yang menyitir ucapan seorang ahli jiwa: “Katakan kepadaku betapa dan berapa djumlah buku-buku jang terbit dalam negaramu dalam djangka waktu tertentu, maka akan kukatakan kepadamu bagaimanakah nilai perkembangan ilmu pengetahuan dan sastera di negaramu itu.”
Maka di bulan kematian salah satu infrastruktur buku paling penting dalam sejarah NKRI ini, yakni Gunung Agung, saya menyeru-nyeru: Ayo negara, kirimkan penjabat-penjabat pentingmu kepada buku dan pekerjanya, dan bukan jenderal tua dan laskar-laskar penghancur buku dan penebar ketakutan dan kegelisahan. [Muhidin M. Dahlan]
- Versi cetak dipublikasikan Jawa Pos, 30 Mei 2016
#PerkakasBuku