Ben Anderson dan Aditjondro: Berangkat dalam Satu Rangkaian Gerbong, 10-13

Diriwayatkan Daniel Dhakidae di Harian Kompas (15 Desember 2015, hlm 5) untuk menuntun kita menyusur jalan kematian Ben Anderson saat Indonesia merayakan Hari Nusantara, 13 Desember (2015).
 
“Setelah setahun di Cornell, Amerika Serikat, suatu hari Ben berkata kepada saya: ‘Daniel, ada lamaran aneh dari Indonesia; ini orang tidak ada ijazah secarik pun! Ijazah SMA tidak ada, ijazah sarjana muda tidak ada, apalagi sarjana, dan mau ambil program doktor di Cornell!’
 
“Sesudah disebut nama, saya katakan, saya tidak terlalu paham peraturan Cornell, tetapi saya berani mengatakan orang tersebut intelijen, tipe manusia pekerja keras, dan tidak ada masalah dengan bahasa-Inggris ataupun Belanda. Kemudian, lahirlah seorang pemegang ijazah PhD, George J Aditjondro.”
 
Ben Wafat 13 Desember (2015): Hari Nusantara.
Aditjondro Wafat 10 Desember (2016): Hari HAM.
Keduanya pergi seperti rangkaian gerbong kereta api; berangkat beriringan tahun di hari-hari perayaan “penting” yang khidmat. Ben mencintai Indonesia, mencintai Nusantara lebih dari yang wajar sebagai “asing”. Aditjondro yang mencintai Indonesia untuk bebas dari belitan elite oligarkis yang terkutuk itu.
Ben meninggalkan buku-buku utamanya yang nyaris semuanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku magnum opus-nya Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, misalnya. Esainya “Sembah-Sumpah” di Jurnal Prisma tahun 1982 masih membekas dalam kenangan saya.
Aditjondro juga meninggalkan banyak buku, serakan kata pengantar, juga koleksi buku-bukunya yang bermutu untuk publik. Ia ahli korupsi yang dilakukan politisi. Buku-bukunya adalah: Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century 2009 (2009) dan Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga; Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (2006).