Hikayat Sekularisma dari Lapangan Pancasila

Saya belum lama membeli buku karya Zen RS berjudul Jalan Lain ke Tulehu; sebuah novel yang mengiringi kehadiran film Cahaya dari Timur.

Itu terjadi jauh berhari-hari sebelum penulisnya terjun ke dalam dunia cocot bola di tivi yang lagi digandrungi kawula muda. Sebuah dunia cocot di mana si pencocot mesti kelihatan dendi dengan dasi yang seragam.

Jika Anda bertanya di bagian mana intisari cerita novel ini, maka dengan lantang dan tak ada keraguan sama sekali di dalamnya, saya menyebut bagian ini: adegan petang hari di Lapangan Pancasila.

Pertama, adegan itu menunjukkan bagaimana si Gentur ini memulai kehidupan sekulernya. Si penulis memperhadapkan antara tendangan 12 pas dan azan magrib. Dan si Gentur memilih berkelahi untuk menumbangkan azan magrib dan memenangkan bola. Maka jangan heran ketika di Tulehu, si Gentur ini cuma duduk-duduk doang di emperan masjid ketimbang tergerak batinnya untuk mendirikan salat asar dan khusyuk mendengarkan tausiah dari para laskar. Semuanya bermula dari Lapangan Pancasila ini.

Kedua, adegan di Lapangan Pancasila itu menunjukkan aktif berkumpul dan bersarikat di mana si Gentur ini. Ternyata, dia dari LPM Ekspresi, saudara-saudara. Gak ada novel-novelan, gak ada fiksi-fiksian, itu pasti LPM Ekspresi IKIP/UNY yang ruangannya tak jauh dari Lapangan Pancasila.

Ketiga, maaf ini masih misterius bagi saya, siapa sesungguhnya yang dicekik si Gentur di rembang petang untuk memenangkan bola dan menjungkalkan ritus magriban itu. Ada clue. Orang yg kuliah di sebelah barat. Siapa? UKKI Mujahidin yang salih-salih itu. Atau jurnalis-jurnalis dari majalah Balairung UGM yang makin kerap bertandang ke LPM Ekspresi IKIP/UNY. Sayang sekali, orang asing dicekik itu memilih ngalah dan berjalan ke barat. Memilih magriban ketimbang bola, memilih yang ukhrawi ketimbang duniawi.
Sudah, itu saja ulasan pendek saya dan sekaligus penghormatan kepada penulis buku ini menapaki hidup baru: si pencocot bola. Akur! (Muhidin M. Dahlan)