“Mboten Korupsi lan Mboten Ngapusi”.
Masih ingat kalimat dari bahasa Jawa itu? Betul, itu jargon yang diucapkan terus-menerus oleh Ganjar Pranowo di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah untuk memilihnya menjadi gubernur periode 2013-2018.
Jargon yang berlayar nyaris di semua bulan tahun 2013 itu tak hanya nyahnyoh di moncong putih nan suci para pelapak pemilu untuk kemenangan Ganjar, tapi juga menempel di spanduk, baliho, stiker, kaos, dan mungkin saja hingga dicap di cawat.
Jauh sebelum isu Kendeng di Pati dan Rembang naik menjadi kemarahan publik yang meluas dan berskala nasional, Ganjar Pranowo memang menjadi harapan baru. Ia adalah produk jualan “Partai Marhenis” yang ajaib. Muda, ganteng, murah senyum, dan tentu saja pintar ndagel. Kombinasi yang pas, bukan?
Saat ia memenangkan konstetasi yang sengit di seantero Jawa bagaian tengah, mirip dengan naik secara signifikannya suara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) saat Pemilu 1987 memasukkan ikon keluarga trah Sukarno dalam daftar calon legislatif, yakni Guruh Soekarnoputera dan Megawati Soekarnoputeri.
Lelaki tikuren (tinggi kurus keren) ini melaju mulus mengalahkan dua kandidat, yakni petahana Bibit Walujo (Demokrat) — yang sebelumnya kader PDI-P — dan Hadi Prabowo dari PKS.
Kemenangannya yang nyaris 49 persen suara itu juga sekaligus menghapus seluruh spekulasi negatif saat Pengurus Pusat PDIP menolak untuk mengusung salah satu kader PDIP paling bersinar sewaktu menjadi Bupati Kebumen dua periode berturut-turut, Rustiningsih.
Naiknya Ganjar si pangeran ganteng dan cakep sekaligus menjadi jalan keluar di pintu belakang Rustriningsih dari partai dengan segala kisah keperihannya.
“Saya memang petugas partai. Orang partai yang bertugas,” ucapnya lantang ketika ribut-ribut soal “Petugas Partai” yang terlontar pada Kongres IV Bali tahun 2015 dari pendiri dan sekaligus ketua umum partai yang insya Allah tak tergantikan selamanya.
Ekspresi tanpa beban yang ditunjukkan Gubernur Ganjar itu menunjukkan bahwa ia adalah kader-dalam.
Berkiprah di jalan pergerakan lewat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sudah cukup bagi Ganjar untuk mengatakan bahwa ia kader dari bawah dan bukan penumpang paruh-jalan. Ia bukanlah kader pragmatis dan atlet loncat-indah macam Basuki Tjahja Purnama.
Dengan demikian, saya bisa pastikan, lebih dari siapa pun Ganjar adalah sosok yang khatam mengunyah ideologi marhaenisme warisan Sukarno. Gubernur Ganjar tahu betul membela wong cilik dan petani adalah jiwa pengabdian dari seorang Petugas Partai sekaligus kader GMNI.
“Saya tetap ke yang lemah. Marhaen. Kalau ora tani, ya, nelayan atau UKM. Yang kecil kami bantu. Yang lain iso urip dewe,” ungkap Gubernur Ganjar kepada Gatra empat hari setelah Pilkada digelar.
Setelah terpilih, barangkali itulah terakhir kali media massa daring menulis Ganjar berbicara soal Marhaen. Selanjutnya, ia lebih banyak bercakap, ya soal petani juga sih. Paragraf semacam ini yang paling tidak disumbang Gubernur Ganjar sepanjang 2013-2015 untuk petani Jawa Tengah:
SATU. “Pertanian itu engak seksi, ga menarik engak ada pemuda yang mau jadi petani. Mereka maunya jadi gubernur daripada jadi petani. Dengan bantuan UGM anak muda bisa pilih tani jadi pilihan.”
DUA. “Jateng mempunyai potensi besar menjadi basis pertanian organik di Indonesia dan untuk mewujudkannya, para petani organik harus diberi insentif dari pemerintah.”
TIGA. “Pelan-pelan kita menuju pertanian organik dan hamparan, tidak ada galengan lagi. Saya ingin ada lembaga penjamin, jadi kalau gagal panen tidak ada lagi petani yang jatuh miskin. Harapannya, produksi beras dan kesejahteraan petani meningkat.”
EMPAT. “Program percontohan kartu tani itu harus berhasil. Kartu ini untuk mengendalikan penyaluran pupuk bersubsidi di tingkat petani. Petani yang memiliki kartu tani wajib mendapat prioritas pupuk bersubsidi.”
Dan kini, sepanjang tahun 2015-2016, frase petani dalam paragraf warisan Gubernur Ganjar itu diuji langsung oleh petani-petani Pegunungan Kendeng lewat dua pilihan yang menentukan Gubernur Ganjar betul-betul marhaenis totok, peranakan, ataukah gadungan: pilih di barisan petani atau korporasi si siluman dunia tani?
Dan, alhamdulillah, “gubernur twitter” yang berprestasi dua kali menebar mantra dan sihir di layar kaca Program Mata Najwa Metro TV ini memilih berjuang bersama korporasi. Gubernur Ganjar seperti ingin mengatakan: “Yang besar dibantu. Wong tani biar saja, iso urip dhewe.”
Sampai di titik ini, saya ingat nasehat ibunda Ganjar Pranowo, Sri Suparmi, di tengah suasana kegembiraan jelang pelantikan lelaki kelahiran Karanganyar 1968 ini sebagai gubernur pada pekan keempat Agustus 2013: “Kalau bekerja yang benar, tidak usah macam-macam”. [Muhidin M. Dahlan]
- Pertama kali dipublikasikan di Harian Solo Pos, 14 Desember 2016.