Yusuf Efendi: “Berhikmat di Mihrab Bersama Mesin Buku”

Dia datang dari pekuburan Ngelandung, Geger, Madiun. Pekuburan yang menurut para kamitua mayoritas dihuni patriot-patriot komunis dalam “perang saudara” 48 dan 65. Besar dalam kultur Nahdliyin, tapi bersekolah di kampus yang menjadi sayap pendidikan/guru Muhammadiyah di Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Mengambil jurusan Teknik Informatika, tapi lebih banyak menghabiskan waktunya bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros. Dari Poros inilah sanad bisa ditarik hingga terhubung ke LPM Ekspresi UNY.

Di tengah kesepian mengurusi Poros, ia banyak bermain tandang ke Ekspresi; LPM yang menjadi salah satu pabrik menjanjikan lahirnya pekerja-pekerja buku di penerbit rumahan Yogyakarta.

Pergaulannya dengan Ringga dan Solihin (dua nama pengurus teras Ekspresi) melahirkan buku yang berantakan di pasar bebas buku: Panduan Cerdas Mahasiswa Jogja; Orang Kuper Dilarang Kuliah (2005).

Sejak saat itu, perlahan-lahan ia terseret dalam kultur pembuatan buku. Ringga memilih mundur karena panggilan orang tua di kampung. Hilang Ringga, datanglah Agus. Triumvirat ini kemudian mendirikan Dian Plus yang kemudian bermetamorfosis menjadi Diandra. Kemungkinan, Diandra ini adalah akronim dari Dian Rakyat. Maklum, Agus adalah distributor buku-buku Dian Rakyat.

Ia melatih diri secara otodidak di jalur penjualan buku dan distribusi. Ia pernah menjajal membuat otlet hingga ke bengkel motor dan apotek. Tugasnya di Diandra lebih banyak di lapangan; terus membina diri dengan budaya lapak dan sekaligus membangun cabang di Jakarta dan Surabaya.

Di tengah masifnya dunia internet, ia yang suka mencoba yang baru memimpin divisi baru: Diandra Creative. Jurusan kuliahnya, Teknik Informatika, ada juga gunanya; walau hanya seuprit.

Satu per satu mesin print on demand datang ke Diandra. Kini, mesin-mesin cetak itu sudah lengkap. Ada yang tak percaya, bisakah dapat laba dari bisnis eceran POD ini. Kerja kerasnya di Diandra sudah memperlihatkan hasil tanpa dalih. Mesin-mesin itu membiak menjadi self-publishing.

Kini, sambil menapaki “karir” sebagai enterpreuner buku berbasis rumahan, ia masih rajin mengunjungi guru-guru spiritual dan tetap konsisten selawatan.

Maklum, ia datang dari pekuburan Madiun. Saya mengenalnya karena buku.

Anda pun bisa menjadi temannya. Cetaklah buku lewat dirinya. Nisacaya Anda dilayani dengan sabar dan jauh dari prosedur industri. Karekaternya yang grasa-grusu khas industri buku rumahan Yogya. [Muhidin M. Dahlan]

#TemankuOrangBukuKeren