​Perpustakaan dan Museum Ki Hadjar Dewantara

Tak semua tokoh bangsa semujur Ki Hadjar Dewantara. Sebutlah sekondan Ki Hadjar yang dihajar pemerintahan kolonial gara-gara esai “satire” di De Expres, 1913: Tjipto dan Dekker. Barangkali yang tersisa untuk dilihat dari keduanya bekas rumah dan luas kuburan/nisan beberapa petak ubin. 
Ki Hadjar tidak,  dan sekaligus menunjukkan lelaki ceking bernyali ini adalah tokoh besar yang pernah dilahirkan di Republik dengan pola pikir yang melampaui identitasnya sebagai seorang bangsawan Jawa. 

Ia mewariskan ratusan sekolah. Metode among-nya bertiwikrama dalam sebaris kalimat yang menempel dalam lambang pendidikan nasional: “tut wuri handayani”.

Lebih dari itu,  rumahnya yang beralamat di Jl Taman Siswa No 31 di Yogyakarta menjadi museum. 

Di museum dengan nama Museum Dewantara Kirti Griya itu saya kira menjadi contoh bagaimana rumah mewujud menjadi museum yang teduh dan sejuk.  Di rumah museum yang auratik itu Ki Hadjar si pemomong bangsa itu terasa hidup. 

Tak cukup itu saja. Di sisi kiri museum itu terdapat perpustakaan mungil. Jika masuk ke dalamnya, Anda menemukan limpahan tulisan hal-ihwal Taman Siswa. Boleh dibilang, jika Anda mencari majalah Pusara, di sini tempat yang tepat untuk didatangi. Majalah Pusara merekam seluruh geliat historika Perguruan Taman Siswa mulai dari tahun-tahun tumbuh. 

Di perpustakaan ini pula seluruh karya tulis Ki Hadjar dirawat dan dipersembahkan kepada publik. Terpampanglah bahwa Ki Hadjar bukan sekadar aktivis pergerakan kepala batu, guru sebenar-benarnya guru bangsa, melainkan juga penulis prolifik, tajam, dan berbahaya. 

Lewat museum dan perpustakaan ini Ki Hadjar begitu dekat, Soewardi begitu rapat. 

Teladani hidupnya di tiga jalan utama pendidikan kebangsaan: keluarga,  perguruan,  pergerakan. 

Perpustakaan–dan museum–buka dari Senin-Sabtu, dari pukul 08.00 hingga 13.00. [Muhidin M. Dahlan]

Hari Kunjungan: Kamis, 15 Desember 2016.