Dodo Hartoko: “Kesenangan Saya Kepada Buku Itu Seperti Hobi Saya Minum Bir”

Dengan segala kepolosan yang dipunyainya, Mas Do memberikan pengakuan bahwa ia membeli buku setelah lulus SMA di Batang, Jawa Tengah. Dan, buku yang dibeli berjudul Slilit Sang Kyai karya Emha Ainun Nadjib di depan sebuah masjid di Pekalongan.

Setelah itu, hidup Mas Do seperti bus Akap. Hidup dari kota ke kota. Pernah tinggal di Padang dan bahkan ngelapak buku-buku Penerbit ISAI di Jakarta dalam kurun waktu yang lama. Hingga akhirnya ia terlempar ke Shoping Center Jogja. Hampir tiap hari Mas Do ke Shoping di belakang Benteng Vredeburg sampai-sampai ia berada pada satu fase: mengenali dengan baik buku-buku yang baru terbit. Di Shoping ini pula Mas Do pada akhirnya bisa bertemu Mas Buldanul Khuri. “Sosok ini sangat berwibawa dan nyaris tak tersentuh. Melihatnya pun saya sudah senang. Terimakasih, Shoping,” aku Mas Do terkekeh.

Sihir Buldan si pemilik penerbit Bentang Budaya itu dibawa serta Mas Do hidup dalam malam-malam penuh cakap di warung mBak Sri. Di warung yang terletak di depan Mirota itu beragam kepala datang. Termasuk mahasiswa-mahasiswa filsafat. Lahirlah Penerbit Kanal yang kemudian bertransformasi menjadi Buku Baik. “Sesederhana itu ceritanya,” kata Mas Do pendek dengan menyunggingkan senyum tipis.

Buku pertama yang diterbitkan Mas Do adalah karya ST Sunardi, Semiotika Negativa. Naskah ini berasal dari tumpukan materi perkuliahan. Gaya Pak Nardi mengajar memang begini: menulis makalah yang dipersiapkan jauh hari.

Dalam rentang satu dekade, Buku Baik sudah menebitkan puluhan buku hingga buku sketsa Gumelar Demokrasono dan kisah Trubus.

Modal dasar Mas Do untuk bisa pada tahap menjadi penerbit adalah pergaulan. Dan Malioboro mesti disebut sebagai ekosistem yang mempengaruhi seluruh syarafnya. Delapan tahun bergiat di jalanan pendek, namun menjadi jantung kehidupan niaga Kota Raja ini. Berkomunitas di Komunitas Seni Jogja hingga terlibat sebagai sukwan di majalah anak jalanan, Jejal. Apa itu mesin tok, plat cetak, misalnya, dikenal Mas Do dari mengelola Jejal ini.

“Bergerak secara mandiri adalah jalanku,” kata Mas Do sambil mengingat dengan tajam sihir bantuan Buku Utama ala Ford Foundation via IKAPI. Mas Do yakin, buku-buku Buku Baik layak mendapatkan, tapi ia tak mengajukannya. Bahkan, Mas Do hingga ke Pasir Kali Jakarta untuk “ngobrol” soal subsidi cetak buku itu. Penerbit memang tumbuh subur seperti jamur di musim hujan, tapi kemudian program itu dihentikan karena tumbuhnya tidak sehat.

“Kalau kemampuanmu hanya cetak seribu, ya cetaklah sebanyak itu. Jangan tergiur pada sesuatu di luar kemampuan. Dengan gagah masuk pasar dengan bayaran cek-mundur. Padahal ini semua semu. Nyungsep kamu,” tukas Mas Do.

“Apalagi,” kata Mas Do, “menjual buku di Gramedia sebagai cita-cita. Ini kesalahan yang fatal. Selain retur membikin stress, cita-cita macam ini juga melahirkan keseragaman tema yang membuat pameran-pameran buku menjadi anyep, sepi.”

Mas Do, walau terlihat makin uzur dan masih rajin ke mana-mana dengan bersepeda, tak lupa mengapresiasi pergerakan buku nasa kini.

“Semangat baru dari pemain baru di jejaring onlen menerbitkan harapan. Ini fenomena bagus yang tak terpikir oleh pemimpi yang menjual bukunya di Toko G. Gila itu. Apalagi, menerbitkan buku puisi yang disebut-sebut buang uang,” pujinya.

Bagi Mas Do, buku laku 300 eksemplar itu sudah lebih dari cukup. Hidup tanpa janji dan harapan di era cek-mundur, melainkan fresh money.

Mas Do mewanti-wanti satu hal bahwa di Jogja itu tidak banyak pemilik penerbit yang tahu menerbitkan buku baik itu seperti apa dalam pengertian yang benar.

Biar pun kecil, tapi belajarlah selalu menjadi seorang yang profesional dan teliti. Mas Do bercerita pengalamannya tinggal beberapa hari mengurus buku Jazz di rumah Seno Gumira Ajidarma. Dari situ, Mas Do melihat betapa telitinya orang yang menjadikan menulis sebagai jalab hidupnya.

Selain dari Seno, perilaku memandang buku sebagai sesuatu yang mesti dikerjakan sempurna dillihat Mas Do dari sosok Goenawan Mohamad. “Kepada Mas GM ini saya belajar tentang arti profesional saat mengurus pengantar untuk buku Romo Baskara T. Wardaya, Manusia Pembebasan,” kata Mas Do sambil berbisik.

“Soal tanda baca, Mas GM selalu mengingatkan. Bahkan, sampai lima atau enam kali telepon dalam sehari. Padahal, itu ‘cuma’ soal tanda baca,” lanjut Mas Do, tanpa berkaca-kata.

Mas Do mengingatkan, jika kamu memilih bekerja di buku, jalankan sebaik mungkin. Bekerja secara baik adalah cara kita respek dan menghormati diri sendiri dan juga profesi bekerja di buku ini. Buku baik dilahirkan oleh orang yang menghormati bagaimana bekerja sebaik yang bisa ia lakukan.

Kepada buku, Mas Do membuat pengandaian yang berangkat pada kehidupan malima yang dijalankannya secara paruh-waktu: “Kesenangan kepada buku itu seperti saya tidak berhenti pada minum bir. Bukan birnya itu, tapi minumnya. Pengalaman minum yang tidak memabukkan itu, ya, seperti bikin buku yang baik. Menyenangkan sekali.” [Muhidin M. Dahlan]

Foto: FB Dodo Hartoko

#TemankuOrangBukuKeren