Apresiasi: Virdika Rizky Utama ~ Politik Olahraga Indonesia ala Sukarno

GANEFO. Politik dan olahraga, jika kita membicarakannya hari ini, keduanya merupakan ranah yang berbeda. Keduanya terpisah dan tak boleh disatukan. Jika dikombinasikan, sanksi akan diberikan oleh komite olahraga internasional. Contoh kasus terbaru yang paling konkret ialah sanksi yang diberikan oleh Federation of International Football Association (FIFA) kepada Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 2015. Musababnya, FIFA menganggap pemerintah mengintervensi kepengurusan PSSI.

Hal itu cukup absurd, sebab pemerintah hanya diposisikan sebagai fasilitator atau penyedia dana bagi lembaga keolahragaan, tanpa punya hak lain. Jika kita berkaca pada perjalanan sejarah Indonesia, kita akan menemukan bahwa politik dan olahraga tak bisa dipisahkan. Keduanya bahkan saling melengkapi. Olahraga dijadikan alat pemersatu bangsa—bahkan antarbangsa terjajah. Selain itu, olahraga dijadikan tolok ukur kedaulatan suatu bangsa dan negara.

Hal itulah yang diungkapkan oleh Muhidin M. Dahlan dalam buku Ganefo, Olimpiade Kiri di Indonesia. Bagi Sukarno, kesehatan badan, keolahragaan, dan kesigapan fisik adalah salah satu bagian mutlak dari pembangunan bangsa (nation building) (hlm. 252). Tak hanya itu, bagi Sukarno, olahraga juga cara wicara lewat kekuatan raga untuk menarasikan kekuatan bangsa (hlm. 40). Karena itu, olahraga menjadi sorotan penting pada masa pemerintahan Sukarno. Bukti keseriusan Sukarno di bidang olahraga adalah dengan memunculkan ide gila untuk menyelenggarakan perlombaan olahraga internasional setara dengan olimpiade, yaitu Ganefo (Games of the New Emerging Forces), yang berarti Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang.

Ide tersebut tidak muncul begitu saja. Musababnya, Indonesia diberi sanksi oleh International Olympic Committee (IOC) tidak boleh mengikuti Olimpiade Tokyo pada 1964. Hal tersebut merupakan efek dari politik olahraga yang Indonesia berlakukan pada saat menjadi tuan rumah Asian Games 1962 di Jakarta. Kala itu, Indonesia menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan (hlm. 30). Tentu saja keputusan itu sangat dipengaruhi situasi perpolitikan yang dilakukan Indonesia.

Indonesia menganggap Israel adalah musuh negara Arab dengan menduduki wilayah Palestina. Sedangkan Taiwan dianggap negara boneka dari Inggris. Tak hanya itu, Taiwan juga musuh Cina. Sebagaimana kita tahu, Sukarno mempunyai kerja sama erat dengan Tiongkok. Karena itu, IOC menghukum Indonesia, dengan dalih “sports are sports! Don’t mix sports with politics”.

Hal itu tentu saja dianggap Sukarno sebagai standar ganda. Sebab, Belgia pernah menolak keikutsertaan Jerman dan Austria dalam Olimpiade di Antwerpen pada 1920. Tak hanya itu, bagi Sukarno, itu merupakan upaya hegemoni negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat dan Inggris untuk tetap berkuasa di bidang olahraga melalui aturan-aturan yang dibuat oleh IOC. “The IOC has shown to be just an imperialistic tool and includes politics! The Olympic Games have proved to be openly an imperialistic tool! Lebih baik kita terang-terangan mengusulkan to mix sports with politics!,” kata Soekarno (hlm. 33).

Langkah berikutnya dari politik olahraga Indonesia adalah membuat olimpiade tandingan. Tak tanggung-tanggung, ide Sukarno ini dianggap gila oleh negara-negara IOC. Pasalnya, Indonesia pada 1963 sedang memasuki fase krisis ekonomi. Tak hanya itu, Indonesia juga sedang melakukan konfrontasi dengan Malaysia.

Pada 14 Februari 1963, Sukarno memerintahkan Maladi, Menteri Keolahragaan, untuk segera membuat olimpiade tandingan tersebut. Sukarno menamakannya Games of The New Emerging Forces(Ganefo). Lebih gilanya lagi, Sukarno ingin Ganefo dilaksanakan pada 10 November 1963. Artinya, persiapan tersebut hanya diberi waktu kurang-lebih 200 hari (hlm. 31).

Dengan berpijak pada politik anti-imperialisme, anti-kolonialisme, dan anti-neokolonialisme, Indonesia kembali menghubungkan koneksi negara-negara Asia-Afrika untuk turut serta dalam Ganefo. Sebab, sewindu sebelumnya, Indonesia berhasil menggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) dengan membawa semangat yang sama dengan tujuan Ganefo.

Meski ini ide Sukarno, ia ingin seluruh masyarakat ikut terlibat dalam Ganefo. Cara pemerintah melibatkan rakyatnya pun terbilang demokratis. Seluruh rakyat dari berbagai daerah menyumbangkan segala yang mereka punya untuk keberlangsungan Ganefo. Ada uang, kain, cendera mata, dan lain-lain. Semuanya diuangkan lebih dulu, dimasukkan ke dalam rekening “Dana Amal Ganefo”. Pembukuan rekening dicetak di semua surat kabar, agar rakyat dapat mengetahui dan mengawasi seluruh dana yang digunakan (hlm. 51-54).

Ketika Ganefo dimulai, seluruh keraguan IOC terbantahkan. Ganefo yang hanya dipersiapkan 200 hari berhasil mendatangkan 51 negara, menghadirkan 10 ribu manusia antarbangsa–terdiri atas atlet, ofisial, seniman, dan utusan lainnya. Hampir seluruh delegasi yang hadir merupakan anggota dan simpatisan “partai kiri” dari seluruh dunia. Karena itu, ia dinamakan olimpiade partai kiri. Olahraga hanya dijadikan alat solidaritas untuk melawan imperialisme.

Meski Indonesia hanya berada di posisi tiga perolehan medali, Ganefo ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh Sukarno dan Indonesia. Dan yang mengerikan, olahraga dijadikan ajang solidaritas untuk kepentingan politik dan rasa nasionalisme—dari negara-negara yang baru merdeka. Tentu saja nasionalisme yang dimaksudkan adalah nasionalisme versi Sukarno, yakni Exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation.

Sayangnya, buku ini tidak menggambarkan situasi perpolitikan Indonesia sebelum dan saat Ganefo dimulai. Dinamika itu sangat penting untuk melihat Ganefo secara obyektif. Meski demikian, buku ini sangat layak dibaca. Sebab, keterkaitan antara politik—secara spesifik nasionalisme—dan olahraga sangat jarang dibahas secara mendalam di lingkungan akademis.

Tak hanya itu, buku ini cukup kaya akan data selama berlangsungnya Ganefo. Baik suasana perlombaan maupun suasana masyarakat saat Ganefo berlangsung. Hal ini juga semakin membuktikan, dalam perjalanan sejarah Indonesia, politik dan olahraga tidak bisa dipisahkan. Bahkan Soeratin Sosrosoegondo mendirikan PSSI untuk menyebarkan semangat nasionalisme dan anti-Belanda. Jadi, olahraga bukan sekadar lomba, melainkan ada semangat solidaritas dan harga diri bangsa di dalamnya. *

Virdika Rizky Utama, peneliti dan pegiat komunitas sejarah

Disalin dari: tempo.co