Wijaya Kusuma Eka Putra: “Memelihara Keramahan kepada Pelanggan Onlen itu Susah”

Mungkin sulit Anda mempercayai tokoh muda kita ini lahir dan besar di Serui, Papua. Maklum, sejak dari jenis kulit dan rambut, dia sudah berbahaya dan imut. Putih seperti porselen dengan rambut lurus. Namun, ketika berbicara dengan teman-temannya se-asal dari “Pulau Burung” itu lidahnya lincah bercakap Melayu-Papua.

Satu putaran hidupnya di seperempat abad pertama memang dihabiskan di sana. Ia adalah anak bangsa yang lahir dan tumbuh dari sebuah proyek demografi raksasa negara birokratik-militeristik bernama transmigrasi. Papihnya adalah guru plus penjual bakso. Di ranah asalnya, Serui, hanya papihnya seorang yang bisa bikin bakso dan sialnya warga di sekitarnya menyukai masakan itu.

“Pasti laku. Papih saya memilih menjual hal yang berbeda dengan rasa yang memang enak. Bakso itu pilihan terbaik untuk dijual. Tanpa saingan,” cerita dia, bangga kepada keterampilan kuliner yang dipunyai si papih.

Tak jauh berbeda dengan si mamih. Pedagang warung kelontong. Menjual segala. Biar jumlah kecil, asal lengkap, asal beragam. Kultur dagang itu, apa boleh bikin, mengalir dalam darahnya. Dan itu menemui titik didihnya saat ia kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tandai jurusan perkuliahannya: Muamallat. Ekonomi Islam.

Tak ada keraguan lagi. Hidupnya betul-betul mengikuti Sang Nabi: pedagang. Bedanya, Nabi menikah usia 25 dengan sosialita padang pasir bernama Bu Khadijah, tapi dia masih memilih jalan samurai tanpa pendamping.

Lupakan soal itu. Kurang urhen.

Di Yogya, objek dan metode berdagangnya berbeda sama sekali dengan Sang Nabi dan kedua mamih-papihnya. Tapi tetap satu arus semangat: lapak, warungan.

Dia menjual buku dengan cara kelontongan, tapi dengan metode berbeda. Ia memanfaatkan media sosial di mana ia hidup dalam ekosistem itu nyaris tiap hari. Ia pun menjual apa yang disukainya: buku-buku sastra, terutama cerpen. Matanya berbinar-binar dan mulutnya yang mengeluarkan suara yang teramat lembut dan mahahalus itu tak pernah diam ketika diajak membicarakan cerpen, wabilkhusus cerpen Hamsad Rangkuti.

Maka ia namakan lapak onlen pertamanya Pojok Cerpen. “Letak rak buku sastra, cerpen, di perpus UIN itu ada di pojok. Dan sepi peminat. Saya yang rajin menyambangi dan duduk di pojok itu,” tutur calon praktisi ekonomi Islami ini.

Sebagai pemuda yang berusaha mandiri dan tak mau merepotkan papih-mamih di Papua, ia pun meng-uang-kan hobinya. Ia menjual buku-buku yang disukainya. Ia kadang menceritakan isi jualannya. Persis Mas Dian yang merekomendasi-terangkan isi film yang disewakannya di lapak sewaan UNIVERSAL jika penyewa bingung mau nonton film bagus apa.

Dia bisa begitu detail berkisah tokoh-tokoh dalam buku Jhon Steinbeck, Dataran Tortilla. Dan ia menjual buku-buku Steinbeck. Dia selalu begitu. Bertanya ke pembaca/calon pembeli lapaknya: sudah baca buku ini?! Dan seperti biasa, ia pun menceritakan hal-hal yang menarik dari buku tersebut.

Hidup berada di antara dua aktivitas literasi: membaca yang tekun, menjual yang rajin. Saat dia bikin warung buku “Toko Budi” yang bersemayam dalam ingatannya adalah warung kelontong ibunya di Papua dan letak rak buku cerpen di UIN. Toko Budi yang diharap-harapkannya seperti toko mungil Kinokuniya betul-betul di pojok kiri Dongeng Kopi di kecamatan perniagaan, Depok, Sleman.

Apa yang dilakukan anak transmigran yang ulet ini sederhana sekali dengan bikin ini bikin itu: bersikap lemah-lembut dengan konsumen. Seperti Nabi, jujurlah. Jika buku yang kamu jual ada, bilang ada. Jika tak ada, ringan jempol mengetik: tak ada. Dan balaslah setiap pemesan dengan cepat karena bisnis buku di dunia onlen adalah jualan kepercayaan. Jangan sering-sering menganggurkan pesan di inboks, di sms, atau di wasap.

“Saya itu selalu menempatkan pembeli onlen seperti sahabat. Ya, ada sahabat yang riwil, yang pendiam, yang lurus. Macam-macamlah. Jika ada yang riwil, cukuplah saya yang tahu, tak perlu saya gembar-gemborkan di status fesbuk keriwilannya yang menjengkelkan itu. Saya selalu menjaga hati mereka,” pesannya, seperti khatib-khatib yang berdiri tiap pekan di Laboratorium Agama UIN Kalijaga.

Jaga hati pembeli buku onlen ya, niscaya semua kepercayaan dan penghasilan mereka dicurahkan kepadamu. Eka Keong, demikian Tokoh Kita ini akrab dipanggil handaitolan pekerja buku di sekitar Jogja ini, membagi kiat suksesnya. Dia pedagang Islami yang ke mana-mana memakai celana selutut dan ke mana-mana selalu membawa sarung terlipat dalam tas. Kita berharap padanya kelak ada toko buku syariat yang beretoskan cara dagang Nabi. Mungkin Toko Budi bergerak ke sana bersama Penerbit Oak.

Amin, yaolo. [Muhidin M. Dahlan]

#TemankuOrangBukuKeren