AKU, BUKU, DAN SEPOTONG SAJAK CINTA. Siang itu, akhir 2004, saya bolos kuliah. Lebih memilih berjalan kaki di tengah terik, daripada mengantuk mendengar dosen mengajar. Tujuannya, bangunan tua di sudut Jalan Ijen, Malang. Di depan moncong tank yang berdiri tak bergerak di halaman museum Brawijaya. Saya menuju perpustakaan kota Malang.
Saya naik ke lantai dua. Menyusuri selasar buku yang khas sekali baunya. Waktu itu perpustakaan kota Malang belum seramai sekarang. Sudut-sudut ruangan masih sepi. Maklum, tahun itu, perpustakaan kota Malang baru “terlahir lagi” setelah lama mati suri. Sekarang, di sudut-sudut ruangan adalah tempat nyaman untuk muda-mudi yang kasmaran. Roman di antara tumpukan buku-buku tebal dan kasih sayang. Aih.
Lalu mata saya tertuju pada sebuah buku. Covernya unik. Judulnya enak dibaca. Catchy. “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta”. Mirip judul tulisan Seno Gumira Ajidarma: Sepotong Senja Untuk Pacarku. Saya meminjamnya. Dan impresi yang hadir setelah membaca buku itu, saya merasa diajak pada sebuah ranah baru penuh pikat. Kendati pada dasarnya ranah itu adalah sebuah ranah yang penuh gigil dan karib dengan keterasingan. Ranah literasi.
Saya sepakat bahwa membicarakan buku yang memberikan kesan tersendiri adalah menyoal pengalaman personal. Tidak ada batasan standar yang baku dan kaku. Tidak ada tolok ukur yang seragam. Orang boleh mengklaim Satanic Verses-nya Salman Rusdhie sebagai buku favorit, mengaku Haji-nya Ali Syariati sebagai buku yang lekat dengan perjalanan seorang manusia, atau juga The Alchemist-nya Paulo Coelho sebagai cetak biru pegangan hidup. Bahkan, lepas dari segala sisi kontroversialnya, boleh mengaku kitab-kitab agama samawi sebagai buku yang paling dikaribi. Tapi orang bebas untuk menolak itu semua. Sekali lagi, ini menyoal pengalaman personal.
Buat saya, salah satu buku yang bisa digolongkan sebagai buku yang mengubah pandangan hidup saya, salah satunya adalah buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta ini. Lebih dari itu, buku ini adalah sebuah tonggak, sebuah milestone, terhadap kecintaan saya pada dunia aksara.
Saya menyadari, bahwa saya memiliki bakat yang kuat di ranah visual. Saya suka menggambar sedari kecil. Dan saya mencintai dunia menggambar. Saya lebih menyukai menggambar dalam konteks desain komunikasi visual dengan segala produknya, dibandingkan menggambar dalam konteks seni rupa murni. Buat saya, desain komunikasi visual mempunyai sifat lebih “cair” dan ramah, dibandingkan produk seni rupa. Entahlah.
Karena saya lebih menyukai dunia visual, saya pun sangat jarang meluangkan waktu berlebih untuk mengasah urat baca. Membaca cuma sekedarnya saja. Tapi semenjak membaca buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta, saya seakan diajak dengan ramah untuk memasuki dunia yang tak kalah menarik. Ranah Literasi.
Buku ini ditulis oleh Muhidin M Dahlan. Kisah yang ditulis di buku ini semacam memoar perjalanan hidupnya sendiri. Sebagai seorang anak dari pesisir laut di kawasan Sulawesi, yang hijrah ke Jawa, untuk melanjutkan kuliah. Tokoh “Aku” di novel itu adalah seorang tamatan STM yang menjatuhkan pilihan di Jurusan Teknik Bangunan di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Namun si “aku” ternyata menemukan jalan lain, jalan baca-tulis. Ia terperangkap di dunia literasi yang sunyi. Alhasil dia drop out dari kuliah. Namun pada prosesnya ia mengasah sendiri kemampuannya. Mengasah skill dasar menulis di organ kampus, menebalkan kesabaran dan menajamkan tulisan dengan mengirimkan ke koran-koran yang awalnya lebih sering menolak tulisannya dari pada menerima, serta mencoba memikat hati seorang gadis dengan mengirimkan emm..tulisan.
Si ‘aku’ digambarkan begitu teguh pendirian dalam menjaga cintanya pada dunia buku. Sebagai seorang mahasiswa rantau, ia tidak punya penghasilan apapun, juga tak punya keahlian lain untuk bertahan hidup. Hanya dengan menulis. Bahkan ia rela berlapar-lapar asal bisa membeli buku. Saya pernah membaca di sebuah tulisan wawancara, bahwa Muhidin pernah menghabiskan semua gaji yang diterimanya sebagai seorang editor, hanya dalam dua jam. Ya, dengan membelanjakannya buku.
Hal menarik yang ditawarkan buku ini adalah soal keteguhan dan semangat yang dibawakan tidak dengan berbuih-buih motivasi. Bukan ala motivator yang mendakik-dakik. Keteguhan dan semangat yang ditawarkan Muhidin. tampil dengan cara yang dingin, satir, dan cenderung ironis.
Muhidin sendiri sebagai seorang penulis, memang tak pernah tanggung dalam proses kreatifnya. Pernah dalam menggarap sebuah novel kontroversial, Adam Hawa (yang pernah disomasi MUI), ia duduk setiap malam di taman duduk Vredeburg,Yogyakarta, selama tujuh hari, sambil menulis. Pernah juga ia mendirikan tenda di bawah lereng Merapi selama berhari-hari, sambil menulis, ketika menggarap novel yang lainnya, Kabar Buruk Dari Langit.
Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta bukannya tanpa kritik. Banyak yang menganggap itu sebagai buku yang ditulis sekenanya. Bahkan ada yang bilang, Muhidin menulis buku itu seperti orang -maaf- berak. Sebab dianggap Muhidin hanya mengeluarkan unek-unek yang berkelindan di isi pikirnya tanpa proses yang panjang. Mirip orang berak.
Tapi sekali lagi, membicarakan buku adalah membicarakan pengalaman personal. Bagi penulis maupun bagi pembaca. Sehingga saat saya menjatuhkan pilihan bahwa buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (akhirnya dicetak ulang sampai dengan judul terbaru: Jalan Sunyi Seorang Penulis) sebagai salah satu buku yang memberikan pengaruh kuat dalam hidup saya, tidak layak ada seorang pun yang melarangnya.
Lha, memang siapa saya?
Disalin dari: sahadbayu.com