Irwan Bajang: Borjuis Kecil dari Lombok Timur

Saya mengenal Irwan Bajang yang lahir di Aik-Anyar, Lombok Timur,  NTB,  ini justru pada hari Kamis di tahun 2010.

Saat itu Yayasan Indonesia Buku menyelenggarakan pelatihan menulis intensif selama enam purnama bertajuk: “Menulis Sejarah Kampung”. Ia bersama enam orang lainnya menjadi “pengasuh” bagi belasan anak remaja di Kampung Patehan, Keraton, Yogyakarta untuk menulis.

Sumpah demi bibib, saya pada akhirnya betul-betul mengenal UPN Veteran Yogyakarta dari wajah Irwan Bajang. Betul bahwa 2003 buku saya Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur dibedah pertama kali di dunia fana ini di kampus UPN itu. Tapi, tak ada kesan lain selain bahwa bulan itu bulan suci Ramadhan dan dibedah aktivis GMNI. Kelar.

Tapi, menjadi lain ketika Bajang hadir. Wajah Bajang seperti wajah UPN yang aneh. Ceria wajah Bajang, ceria pula wajah-depan UPN di benak saya. Persis wajah UPN yang hadir dalam cetakan brosur mewah.

“Saya ke Jogja karena brosur UPN. Dari Lombok saya pikir cakep betul kampus ini. Ternyata, saat kuliah saya belajar di gedung yang mirip gudang tua penyimpanan senjata Perang Dunia II,” kisahnya.

UPN tak bohong. Gedung kampus yang terpacak agung di brosur itu nyata ada. Namun, itu tampak depan, wajah-depan. Sebuah gedung pusat yang megah. Sementara gedung perkuliahan di tempatkan di lain lokasi. Ya,  itu tadi sebagaimana diakui Bajang bersama sekondannya Renggo Darsono.

UPN memang tak bohong, tapi mesti diakui kampus yang bersulih nama menjadi UPN Veteran dengan SK Panglima ABRI pada 1977 itu licin dalam menjual dirinya. Watak UPN semacam itu pula yang dikuncah secara sempurna oleh Irwan Bajang.

Mula-mula ia mempermak dirinya di jalan penyair. Dibikinnya blog dengan memakai frase yang terhubung dengan kata “merah”. Rumah Merah. Astaga, alumni UPN mau jadi kuminis, Mz?

“Tidak,  cuma mau gaya-gayaan,” katanya sambil ngekek.

Semua proses pengembaraan kreatif itu dilakukannya dengan belajar otodidak. Maklum, di kampus candradimuka para calon penambang itu tak ada lembaga pers mahasiswa untuk memperkenalkannya ilmu menulis jurnalistik. Oleh karena itu, wajar jika ia susah payah menyelesaikan skripsinya soal “Benyamin Netanyahu” (astaga, zionis) untuk lulus dari Jurusan Hubungan Internasional.

Dan, sudah dipastikan pula ketika ia mengenal dunia penerbitan, pasti dari usahanya dengar dan baca sana-sini. Indie Book Corner yang dibikinnya pada tanggal 9 bulan 9 tahun 2009 (SBY banget–juga soal style sisir rambut) mula-mula untuk menerbitkan puisinya sendiri. Namun, entah dapat warisan dari mana ia melempar “brosur” pencarian naskah pada 2010. Mirip dengan UPN memburu mahasiswa baru. Naskah yang terpilih kemudian diterbitkan dan dicetak dengan jasa Indie Book Corner.Dan, buku-buku itu dibedah secara serentak belasan naskah itu di Toko Buku Togamas Jogja.

Sejak saat itu, Bajang sudah tak bisa dihentikan. Setahun IBC bisa mencetak puluhan judul buku baru. Ia pun mulai menapaki pola hidup baru sebagai borjuis kecil (sebutan ini saya dengar pertama kali dari Saut Situmorang).

Saya befpikir tinggal menunggu waktu saja IBC menjajaki lantai bursa saham di Bursa Efek Jakarta; sekaligus berbisnis lukisan di balai-balai lelang.

Sambil menunggu saat itu tiba, ia terus-menerus tanpa lelah bersama teman-teman bermainnya di media sosial mengampanyekan untuk menjadi tuan bagi bukunya sendiri. Bahkan, ia nyaris mewakafkan dirinya untuk menjadi jihadis yang membela kehormatan buku indie dari cibiran dan cipokan biadab dari haters yang bermain di penerbit mayor. Sembari berada di marka revolusi macam begitu,  Bajang tentu saja saban hari tanpa libur menawarkan jasa cetak buku, terkadang borongan dengan praproduksi kepada mereka yang masih percaya pada buku cetak.

“Saya ingin mencetak semua karya pertama penulis Indonesia. Self-publishing jalan tepat untuk buku pertama. Buku berikutnya terserah,” jelasnya menjelaskan misi mulianya sambil mengingat masa awal buku puisinya tak digubris sama sekali “penerbit mayor”. Ada aroma dendam dalam ucapan itu.

Selain itu, sambil menyiapkan mentalnya di lantai bursa kelak, Bajang pun berlatih membangun aliansi dengan para pekerja buku kapiran di Jogja dengan menyelenggarakan pelbagai acara buku. Termasuk memutuskan “serumah” dengan kafe kopi bernama Dongeng Kopi di mana ada sahabat manisnya di sana, Renggo Darsono.

Salah satu aliansi fenomenal yang ditapaki Bajang adalah Kampung Buku Jogja. Ada pikiran dan ludah Irwan Bajang di event tahunan itu. Tentu saja ada perayaan Pekan Buku Indie yang nyaris tapak tangan Bajang menempel semua di kulit acaranya sejak dari ide.

Tak puas hanya jadi biro jasa cetak buku, Bajang melayarkan IBC untuk menjadi penerbit dan sekaligus toko buku. Tak cukup hanya toko buku daring (bukuindie.com), tapi juga merambah toko luring.

Toko luar jaringan atau luring itu bernama Toko Budi. Di toko itu mula-mula Bajang beraliansi dengan pemilik usaha penjualan buku via Facebook berakun “Pojok Cerpen” (Pocer). Tak cuma dengan calon terkuat Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Eka Pocer, Bajang juga bersekutu dengan pelapak daring Stand Buku bernama O Lihin.

Sampai di sini, Bajang mulai melatih dirinya sendiri sekeras mungkin bagaimana mendudukkan utang sebagai bagian yang inheren dari sebuah bisnis. Saat banyak penerbit-penerbit sebayanya menghindari utang, Bajang justru mendekatinya. Dalam bisnis, utang adalah keniscayaan. Menghindari utang bukanlah watak pebisnis yang jenuine.

Prinsip-prinsip usaha dari hulu ke hilir dan mental berhutang yang mulai kokoh itu menjadi modal paling menjanjikan bagi Bajang. Tak hanya berbisnis untuk melayani gizi pikiran, ia juga menyambar bisnis lidah dengan mempersembahkan item produk: Sambal Cap Banteng Nganga.

Jadwalnya pun mulai ketat. Subuh ia sudah mesti di pasar Rakyat untuk belanja cabe, daging sapi, dan rempah. Sebelum matahari tegak lurus dengan langit ia sudah harus ke Kantor IBC mengawasi kerja para pegawainya, baik di bagian redaksi maupun pemasaran.

Kapan ia bersenang-senang? Ya, dalam bekerja dalam buku itu. “Kerja di buku itu harus dibawa tertawa. Utang itu bagian dari kehidupan bisnis,” katanya.

Dengan cara bersenang-senang itulah dihikmatinya jalan setapak seorang borjuis kecil yang berbisnis pengetahuan. Irwan Bajang adalah satu-satunya keluaran mahasiswa UPN yang paling sukses menjadi borjuis buku di Indonesia, terlebih-lebih lagi di Jogja. Salah satu bukti sahih silakan ketik nama Irwan Bajang di Youtube dan kamu akan ditampar dengan tayangan arsip video saat Bajang masuk Program Kickindie di Metrotv.

Bahkan, lini bisnisnya merambah ke Asia Tenggara. Jika Sukarno ngajak berantem Malaysia, maka Bajang sebaliknya: mengajak Malaysia mencari uang bersama dalam wadah bisnis buku. Sebagaimana UPN Veteran yang berjaya di era Orba itu, watak itu tentu lebih dekat dengan Pak Harto.

Seperti halnya dengan Pak Harto, Bajang adalah borjuis kecil yang percaya bahwa senyum adalah awal dari kesuksesan. Sukses di buku indie, sukses di sambal indie nganga, dan semoga juga kelak meraih sukses meniti jasa umrah indie ke Baitullah.

#TemankuOrangBukuKeren