Apresiasi: Irwan Bajang ~ “Saya rupanya ketagihan dengan buku ini”

AKU, BUKU DAN SEPOTONG SAJAK CINTA. Syahdan. Suatu hari saya dihadiahkan sebuah buku oleh pacar saya. Maklum, sebagai lelaki romantis, saya memang sering kali diberi hadiah. Hadiah itu cukuplah dibarter dengan sebait puisi atau sebuah perilaku baik.

Pacar saya waktu itu baru saja berkunjung ke pameran buku, lalu dapatlah ia sebuah buku obral. Mungkin dalam hati dia berpikir buku ini cocok buat saya. “Aku Buku dan Sepotong Sajak Cinta”. Judul buku ini sungguh manis. Si pacar mungkin berharap usai membaca saya akan menghadiahkannya sepotong saja cinta. Alih-alih manis. nanti saat membacanya, saya tahu buku ini penuh berisi kisah nelangsa kegetiran.

Buku itu saya bawa ke sebuah perjalanan yang agak lama. Sekitar tiga bulan saya meninggalkan Jogja dan menetap sementara di Bali. Di sanalah buku itu saya habiskan. Tentu saja agak lama, maklumlah niat melancong sambil membaca memang besar, sayang sekali ketahanan selalu tidak berbanding lurus dengan niat. Novel itu saya baca nyaris satu bulan.

Usai membaca, saya rupanya ketagihan dengan buku ini. Saya cari lagi buku lain yang ditulis nama itu. Saya mampir ke Togamas Denpasar dan saya menemukan lagi sebuah buku. Judulnya tak kalah bagus, tapi kali ini bisa dibilang vulgar; “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur.” Membaca kedua novel ini dan mengamati cara menulis penulisnya membuat saya berimajinasi tentang sosok asli penulisnya.

Pastinya dia adalah sosok yang dingin, pendiam, barangkali agak sombong dan susah ditemui. Kalaupun bertemu, paling-paling dia hanya akan memandang saya sepintas, lalu melengos dan berlalu. Tipikal penulis seperti ini yang saya bayangkan akan membuat pembacanya makin penasaran.

Saya ke warnet, saya ketik namanya di google. Muncullah blognya, dan blog indonesiabuku.com yang sekarang sudah pindah alamat ke radiobuku.com.

Yak. Muhidin M Dahlan. Laman yang dia asuh penuh dengan tagar Buku, Resensi, Kabar Buku, Lekra, 65 dan PKI. Saya menelusuri setiap laman itu untuk membacanya. Dan tentu saja saya makin penasaran. Orang ini pasti lebih dingin dari yang saya bayangkan. Di laman itu saya temukan juga sebuah nama, Diana AV Sasa. Selain Muhidin, ia menjadi nama yang paling banyak mempublikasikan artikel dan kliping di laman itu. (Untuk yang satu ini akan saya ceritakan kemudian di tulisan-tulisan mendatang. Kalau tidak malas lo ya, hehe).

Di awal tahun 2008, saya dikenalkan dengan Faiz Ahsoul oleh penerbit yang akan menerbitkan novel pertama saya. Faiz kemudian menjadi mentor pertama saya dalam menulis. Di momen pertemuan penulis dan editor itulah saya benar-benar belajar menulis langsung dari seseorang. Sebelumnya hanya membaca dan belajar sendiri. Pertemuan dengan Faiz kemudian mengubah segala peta perjalanan saya di dunia ini. Dan Faiz kemudian mempertemukan saya dengan Muhidin dalam sebuah riset bersama.

Saya sebenarnya pernah berpapasan dengan Muhidin dan Diana di sebuah momen. Kalau tidak salah usai peluncuran Almanak Seni Rupa. Waktu itu saya lihat mereka bersama kawan-kawannya sedang bergerombol. Sebagai bocah pemalu, tentu saya tidak mendatanginya dan tidak juga berkenalan. Saya menyimpan harapan berkenalan dengan mereka suatu saat. Entah kapan.

Beruntung sekali saya diajak terlibat dalam riset penulisan buku Sejarah Kampung oleh Faiz. Sebab itulah salah satu mata rantai pertemuan saya dengan Muhidin di sebuah sore yang tak terlupakan itu. Muhidin senyam-senyum cengengesan. Kelakuannya sore itu agak nggak jelas sebenarnya. Bahkan saat salaman dan berkenalan ia masih saja cengengesan.

“Oh, Irwan Bajang. Penyair ya?” Saya ngangguk-ngangguk saja. Malulah, saya bertemu penulis idola saat itu. Beberapa kali Muhidin mengulang lagi, seolah bahasa meledek. Penyair ya, oooo, penyair ya. Hmmmmm. Begini rupanya orang yang saya anggap dingin itu. Biasa saja. Malah cengengesan nggak jelas. Beberapa hari berkunjung ke Indonesia Buku, saya sudah bisa mengidentifikasi kelakuan Muhidin. Dan mengenalnya membuat runtuh semua imaji saya akan sifat yang saya bayangkan itu.

*

Aku Buku dan Sepotong Sajak Cinta barangkali adalah salah satu pembuka. Sebuah awal berkenalan. Meski membacanya agak lama, di novel ini saya dapat gambaran banyak hal. Tentang bagaimana kehidupan penulis, terutama di Jogja yang jauh dari apa yang pernah saya bayangkan. Bagaimana penerbitan, bagaimana editor, bagaimana kisah cinta yang wagu dan bagaimana melihat sebuah kecintaan pada buku dan dunia aksara yang absurd.

Saya ingat sekali, proyek penulisan buku Sejarah Kampung tidak selancar yang direncanakan. Molor sana sini, saya juga sempat kecelakaan saat naik motor ke Solo bersama Muhidin. Stamina menulis habis, bosan hinggap, riset melelahkan. Muhidin dan Faiz sebagai pembimbing riset tahu, mental kami yang lemah ini tidak boleh dibiarkan. Hingga akhirnya kami harus dikarantina. Muhidin dan Faiz sebagai mentor kami menyewakan sebuah rumah di Parangtritis. Ponsel dikumpulkan, modem disita. Kami dipaksa menulis saat itu juga, menyelesaikan apa yang belum selesai. Hari itu juga. Kami dipenjara di sebuah rumah lalu dipaksa bekerja keras dan menghargai deadline.

“Bajang, saya ingin lihat kemampuanmu. Saatnya kamu menunjukkan diri sebagai seorang penulis terpenting. Garda depan!” begitu ujar Muhidin seolah menghardik. Kalimat-kalimat itu selalu saya ingat, dan tentu saja ingin tapi tidak bisa saya wujudkan dengan tergesa. Saya tahu, saya malas. Dan saat rasa malas itu kian akut, kalimat itulah yang selalu terngiang. Garda depan. Duh, berat, Gan!

Disalin dari: kampungbuku.com

Buku ini bisa didapatkan di warungarsip.co. KLIK