Puisi dan Penyair Yogyakarta (2): Kota dalam Puisi

Di Kota Yogyakarta penyair-penyair bekerja lebih keras berkali-kali melebihi pedagang dan tukang batu. Mereka beradu siasat untuk hidup selayaknya dalam kota yang terus berubah ini; kota yang mereka anggap sebagai bagian tubuh yang tak terpisahkan.

Yogya ada dalam otakku

Dalam mataku

Dalam nafasku

Dalam suaraku

Dalam jantungku

Dalam batinku

Dalam darahku

Dalam tulangku

Yogya ada dalam suka dukaku. [1]

Sejak era kepenyairan Linus Suryadi, Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, Yogyakarta sudah berhadapan dengan masalah-masalah sebagaimana dihinggapi kota urban. Di masa itu Yogya sudah “dikoyak bising lalu lintas yang padat dan ruwet, bisnis, teknologi, industri, dan polusi rutin yang kian gawat” (Ragil Suwarno Pragolapati, hlm 24). Dari kantor redaksi kepenyairan, penyair sepuh yang tabah dan sekaligus redaktur pelaksana abadi Soeara Moehammadijah Mustofa W. Hasyim melaporkan:

 Aku melihat mayat yang tersayat-sayat

di sekujur tubuhnya

bangkit dari kamar mati

menerobos, keluar rumah sakit.

Ia berjalan menuju kota

Yang tak pernah istirahat …

“Mari berpesta, bebaskan kalian

Dari ketakutan pengadilan.

Mari nikmati perawan

Sebelum kesia-siaan kita menjadi berita,” serunya.[2]

Di balik luka yang barangkali susah terobati yang bahkan mendatangkan kematian itu, Yogya dipandang penyair sebagai sebentuk “Kota penuh kesabaran, kotaku … Kembali dia tegar / Hanya karena dia matang / dan  dewasa” [3]

Keberterimahan seperti itulah yang disebut Iman Budhi Santosa sebagai tafakur “Di Pangkuan Yogya”. Mereka yang dipangku adalah mereka yang sudah mampu melihat dan menghayati: “tinggi rendah menyatu / hitam putih enggan berseteru / setiap kaki memilih jalan sendiri / silang sengketa tuntas sebelum menggoda / kepalan tangan, ketika mata telinga menangkap semua yang diterjemahkan”.[4]

Lantaran itulah kemudian saya memahami ungkapan-ungkapan kerinduan, frase senja yang aneh, kesepian akut, dan pilihan untuk gamang dan mabuk masih bisa dengan mudah kita temukan dalam unggunan kata-kata penyair Yogyakarta—atau di kota mana pun. Ungkapan itu kukuh dan bersisian dengan kompleksnya kehidupan harian masyarakat, seperti isu urban soal hotel dan air tanah, hak kepemilikan tanah, rumah tembok, pasangnya kekuatan fasis yang dihelat agama, dan fakta bahwa penyair yang tersingkir ke pinggiran kota.

Dua buku yang menurut saya cukup representatif bagaimana penyair membaca kota ini dengan intens. Buku pertama adalah Sembilu (FKY, 1991) dan Di Pangkuan Yogya (2013). Keduanya mewakili dua generasi yang berbeda, namun memiliki garis kesinambungan. Hal lain yang mempertemukan dua generasi dalam dua buku ini adalah kemurungan. Dari judulnya saja, Sembilu, 21 puisi di dalamnya adalah kegelisahan dan keperihan yang teramat sangat di tengah kehancuran dan puing-puing kota. Indra Tranggono menyaksikan: “Selembar telegram Tuhan / Melayang-layang di langit Yogya / Angin busuk mengusirnya / Membumbung ke angkasa”.

Seperti seorang koordinator barisan panjang pengungsian, Emha Ainun Nadjib meraih pelantang dan meneriakkan: “Kalian anak-anak terbuang, kalian anak-anak yang dipunggungi, bertahanlah di Yogya! / Bertahanlah di kota yang mulai meninggalkan dirinya sendiri / Jangan bertanya di manakah Yogya kini, sebab makin jelas ia mengungsi ke bilik hatinurani kalian sendiri / Ayo, dirikan rumah-rumah Yogya dalam sajak, rumah-rumah darurat dalam semesta batin para penyair”.

Di Pangkuan Yogya dengan setepat-tepatnya mewaris irisan sembilu itu. Jika kata-kata penyair serupa nubuat, maka ia bisa menjadi radar untuk melihat bagaimana kehidupan kota dan masyarakat di dalamnya.

Saya menyaksikan penyair-penyair muda milenial mulai digoyang perasaan aneh untuk beberapa tahun ke depan; bahwa mereka tak punya tempat hunian untuk masa depan dalam kapitalisme properti yang terus menggandakan prinsip dengan congkak: “tak ada pendapatan tanpa senjata api”[5]. Dan, itu derita. Derita yang diterima dengan ciuman bertubi-tubi dan sekaligus airmata oleh para penyair muda. Penyair muda satu berkata, lantang: “ … akan kucium penderitaan dan malapetaka/ dengan bibirku yang pucat ini … bagai si murung menciumi mawar kekasihnya”.[6]

Penyair lain berkata, dan kini begitu murung: “kusaksikan daun trembesi/ perlahan terlepas/ tetapi aku hanya mengerti: airmata begitu panas”[7]

Penyair yang lain lagi pada akhirnya angkat bendera putih: “Kita selalu menyepi dalam diri / Di kota yang selalu gegas dalam bunyi // Aku menyerah”.[8]

 

[1] Retno Budiningsih,  “Yogya dalam Nafasku”, Prosiding Seminar Internasional Sastra Antarbangsa Indonesia-Malaysia (Balai Bahasa,  2016: 310-311)

[2] Mustofa W. Hasyim, “Reporter yang Menakutkan” dalam Di Batas Yogya (InterBUD dan FKY XV, 2003: 21)

[3] Andrik Purwasito, “Yogya Kembali Malamku”, 1986, dalam Malioboro: Antologi Puisi Indonesia di Yogyakarta (Balai Bahasa Yogyakarta, 2007: 63)

[4] Iman Budhi Santosa, “Di Pangkuan Yogya” dalam Di Pangkuan Yogya (Ernawati Literary Foundation, 2013: 5)

[5] Amien Wangsitalaja, “Konspirasi (1)”, dalam Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2007:58)

[6] Muhammad Ali Fakih, “Akan Kucium Penderitaan dan Malapetaka” dalam Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya, hlm 67

[7] Dea Anugerah, “Sebelum Hari Terakgir” dalam Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya, hlm 6

[8] Komang Ira Puspitaningsih, “Impermenence”, dalam Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu (ning, 2012: 102-103)

*Dibacakan dalam “Orasi Budaya” Pesta Puisi Akhir Tahun oleh Studio Pertunjukan Sastra, Taman Budaya Yogyakarta, 24 Desember 2016.