Ketika fajar internet masih lamat-lamat di beranda kalbu para sastrawan, sekelompok penyair menabalkan suatu era baru ketika “egalitarianisme” medium berkarya terbuka lebar. “Cyber poetry”, demikian penyair Saut Situmorang menyebutnya. Sastra siber—dan kemudian puisi siber—kemudian menjadi polemik karena menawarkan sesuatu yang “baru” yang menggoyang tatanan yang dominan. Rekaman polemik itu dibukukan menjadi Sastra Cyber Polemik Sastra Cyberpunk.
Saya menganggap perdebatan yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada 2004 itu menjadi gerbang masuk dan sekaligus tonggak penting saat sastrawan/penyair hari ini leluasa berenang dengan kesadaran penuh di jagad pascaruang itu. Mengunggah puisi, menyapa pembaca pertama, saling memberi komentar, dan bahkan menggelar sawala yang sengit kemudian menjadi sesuatu yang wajar saat ini dan merupakan bagian dari kreativitas.
Konsekuensi ketika ranah siber menjadi gaya hidup adalah memudarnya perdebatan di koran-koran yang dianggap terlalu prosedural, lambat, dan menebarkan kecemasan oleh “sensor” polisi tekstual bernama “sang redaktur”. Sastra siber sama sekali tak menolak medium konvensional manakala sisi hegemonik dan watak “polisi tekstual”-nya tak terlalu keblinger.
Dan, Anda tahu budaya cetak masih bekerja. Surut karena digeser budaya sibar, iya. Tapi, siber tak menghilangkannya sama sekali. Koran/cetak menjadi barang antik, iya. Yang lebih dahulu masuk ke rumah antik tentu saja jurnal. Justru muncul fenomena di mana internet atau dunia siber ini menajdi pupuk bagi tumbuhnya keinginan penyair menerbitkan buku puisi mereka.
Jika internet adalah reriungan, gaya hidup harian; serupa kedai dan kafe, maka buku menjadi rumah untuk menabalkan alamat. Buku adalah portofolio. Di masa ketika percepatan dan komunikasi nirbatas teritori, penerbitan buku puisi justru menemukan tempatnya.
Mari membuka kembali kalender 2016. Catat, ada berapa buku puisi penyair dan penerbit Yogyakarta yang terbit? Di gerai Jual Buku Sastra, Anda temui sejumlah judul buku ini:
- Andy Sri Wahyudi, Energi Bangun Pagi Bahagia
- Mahwi Air Tawar, Tanah Air Puisi Air Tanah Puisi
- Saut Situmorang, Perahu Mabuk
- Ulfatin Ch, Tanda Ibu
- Hasta Indriyana, Rahasia Dapur Bahagia
- Ali Fakih, Di Laut Musik: Seikat Puisi
- Sutirman Eka Ardhana, Malioboro 2057
- Umi Kulsum, Lukisan Anonim
- Arimba, Onrust: Ziarah Cinta
Dan, Anda tahu semua buku itu diterbitkan oleh penerbitan yang lahir dari rahim budaya siber lengkap dengan sistem teknologi cetak bawaannya, yakni Print on Demand. Selain bagian kerumahtanggaan jawatan negara yang mencetak laporan-laporan, yang paling diuntungkan dari “cetak sesuai pesanan” ini justru buku-buku puisi yang telah teruji oleh sejarah perniagaan sebagai “item uniq” dengan pembaca yang luar biasa terbatasnya.
Sejumlah penerbit baru di Yogyakarta yang memasukkan puisi sebagai item perniagaannya, antara lain Interlude, Mata Angin, Indie Book Corner, Gandhing, Gambang, BasaBasi, Gading Pustaka, MK Book, Frame Publishing, Kakatua, Garudha Waca, Gress Publishing, Omah Sore, Green Tea, Halindo, Isac Book, EABook, Java Karsa Media, Pustaka Hariara, Cantrik Pustaka, Akar Indonesia, dan I:BOEKOE.
Menurut penyair Indrian Koto yang mengikuti dengan intens geliat tumbuhnya dunia penerbitan baru ini, beberapa dari daftar penerbit di atas muncul antara tahun 2003 hingga 2007. Selebihnya di atas tahun 2010 saat internet menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sastrawan.
Salah satu “pemain lama” yang dengan segala kenekatannya berbisnis dengan penyair adalah Buldanul Khuri. Bentang Budaya adalah penerbitan yang mendobrak dunia penerbitan yang mulanya hanya berkisar di antara mereka yang memiliki modal dan nama besar yang menyejarah.[1] Bukan hanya itu, pilihan untuk membuka selebar-lebarnya “berbisnis” dengan dunia kepenyairan bukan soal sepele. Taruhannya adalah bangkrut karena daya serap pasar buku atas buku puisi sangat rendah.
“Dalam konteks penerbitan, saya tak pernah pernah menjadikan puisi sebagai bisnis. Dalam pandangan saya, bisnis itu soal untung rugi. Kalau untung dijalan terus, kalau rugi ditinggalkan. Dan, saya tak pernah meninggalkan puisi,” aku sosok yang mengaku sejak kecil sudah akrab dengan puisi. Bahkan, ia pernah menjadi seorg penyair dengan “p” kecil. “Saya terbitkan buku puisi saya ketika SMP. Saya ketik sendiri, saya bikin covernya sendiri, dicetak dg mesin stensil di rumah sendiri oleh kakak saya. Dan saya jual sendiri,” kata tokoh yang di masa jayanya pernah menerbitkan 30 judul buku dalam sebulan.
Anda tentu mengenal daftar nama penyair berikut ini: W.S. Rendra, Emha Ainun Nadjib, Sapardi Djoko Damono, Ragil Suwarno Pragolapati, Abdul Hadi WM, Zawawi Imron, KH. Mustofa Bisri, Dorothea Rosa Herliany, Ahmadun Yosi Herfanda, Afrizal Malna, Sitok Srengenge, Saut Situmorang, Mustofa W. Hasyim, dan Oka Rusmini.
Nah, buku puisi mereka semuanya pernah diterbitkan Bentang Budaya. Beragam cara dipakai Buldanul Khuri untuk “merayu” penyair untuk mau “berbisnis” dengannya. Ada cara di mana ia datang langsung menemui penyairnya di rumah masing-masing, seperti Emha Ainun Nadjib dan W.S. Rendra. Kadang bertemu langsung si penyair dalam sebuah pergelaran sastra tertentu. Kebanyakan lewat surat atau email dan dihubungi lewat telepon.
“Jangan berharap untung dengan menerbitkan puisi,” pungkas Buldan kepada saya lewat Whatsapp sembari memberikan “rambu”. Menerbitkan puisi di era Buldanul Khuri menyaratkan jumlah eksemplar terendah, yakni lebih kurang seribu eksemplar. Tak diserap pasar alhasil menjadi beban yang mesti dipikul menuju tubir kebangkrutan.
Di sinilah perbedaannya dengan teknologi masa kini yang dilahirkan budaya siber ini. Bahkan “pemain lama” yang lain di dunia perbukuan, Dodo Hartoko, secara jujur mengaku merasa iri dengan perkembangan terkini. Menurut pemilik penerbit Buku Baik ini, semangat baru dari pemain baru di ranah daring menerbitkan harapan. “Ini fenomena bagus yang tak terpikir oleh pemimpi yang menjual bukunya di toko-toko besar. Gila itu. Apalagi, menerbitkan buku puisi yang disebut-sebut buang uang,” pujinya. Bagi Dodo, buku laku 300 eksemplar itu sudah lebih dari cukup. Hidup tanpa janji dan harapan di era cek-mundur, melainkan fresh money.[2]
Nah, berbeda segalanya dari buku puisi yang diterbitkan Buldanul Khuri yang umumnya penyair-penyair yang sudah “punya nama”; penerbit yang lahir dari rahim siber ini justru awamnama. Teman sebaya, bahkan. Sistem manajemen penerbitannya juga berbeda. Menurut pendiri Indie Book Corner Irwan Bajang, buku puisi yang mereka terbitkan awalnya berasal dari penyair-penyair yang nongkrong di portal kemudian.com dan/atau penulis daring lainnya yang menghidupkan mesin blog dan mikroblog pribadinya. Buku puisi itu sama sekali bukan diambil dari publikasi koran sebagaimana era sebelum siber menjadi begitu intim.
Karya-karya Edy Firmansyah (Derap Sepatu Hujan, 2011), Cristian Dicky Senda (Cerah Hati, 2011), Thendra BP (Manusia Utama, 2011), dan Malkan Junaedi (Lidah Bulan, 2011) antara lain buku-buku puisi awal yang diterbitkan IBC.
Alasan Irwan Bajang menerbitkan buku puisi selain ia adalah penyair, teman-teman mainnya juga kebanyakan para penyair sebaya. Apalagi puisi sedang sangat digemari bersamaan akun @sajak_cinta di Twitter begitu populer, walau tak menjanjikan finansial. Sosok “penyair baru” yang melahirkan karya di gelanggang ini adalah prosais Agus Noor. Setelah 20 tahun berkarya, ia yang selalu “bermasalah” dengan puisi meluncurkan Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan (Motion Publishing, 2012).
Fenomena seperti Agus Noor dan ceruk pasar pembaca puisi di Twitter itu yang menabalkan keyakinan borjuis kecil semacam Irwan Bajang ini. Kata dia: “Sekarang sih banyak buku puisi kami yang laku, jadi menerbitkan puisi juga menyenangkan. Tentu tak sebanyak prosa. Apalagi saat ini kontak dan stok penyair banyak. Lumayan jadi pembeli potensial.”
Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Penerbit IBC adalah generasi siber yang membikin cemburu pekerja buku seperti Dodo Hartoko. Mereka umumnya menerbitkan buku puisi sangat terbatas. Kadang pula memakai dana sendiri. Tentu saja tak bikin bangkrut karena kebutuhan dana tak sampai belasan juta. Kadang juga tanggung renteng untuk para penyair yang isi kartu ATM-nya stabil.[3]
Beberapa penyair yang boleh dibilang “sudah jadi” dan tetap menyerahkan naskah ke penerbit-penerbit indie menandakan bahwa menerbitkan buku puisi bukanlah domain penerbit besar. Jika bukan nama-nama megastar, mana mau penerbit-penerbit mapan menerbitkan buku-buku puisi. Tentu saja, indie atau mayor, bukanlah pembeda kualitas untuk saat ini. Masih ingat buku puisi Afrizal Malna berjudul Museum Penghancur Dokumen? Nah, pada 2013 buku yang diterbitkan penerbit indie Garudha Waca itu menjadi buku puisi terpilih yang meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA).
Buku puisi selalu menampilkan dua agensi awal: penyair dan penerbit. Jauh tahun sebelumnya, penyair adalah dunia yang lain dan unik; dunia penghasil teks. Sementara itu di sisi lain penerbit sebagai pengelola teks yang menangani segalanya hingga menjadi buku laik jual sebelum dilemparkan ke pasar sastra Indonesia.
Berbeda dengan saat ini. Penyair dan penerbit terlibat dalam kerjasama; bukan saja dalam pra-produksi teks, melainkan dana cetak. Penyair bukan lagi faktor di sana, melainkan juga terlibat dalam faktor di sana. Sistem tanggung renteng itu diakui penyair Kedung Dharma Romansha ketika saya hubungi via Whatsapp saat buku puisinya berjudul Uterus terbit. Buku yang diterbitkan Gambang itu bahkan 70 persen memakai dana dari kantong penyairnya.
Memang tak semua penerbit menggunakan sistem bagi renteng seperti itu. Bagi penerbit yang memiliki cashflow seperti Basabasi dan Buku Mojok, naskah dicari dan dibiayai sendiri penerbitannya. Memakai model industri, walaupun dalam skala kecil. Buku Tia Setiadi, Tangan Yang Lain, untuk menyebut contoh, adalah buku puisi yang murni dibiayai penerbit. Beberapa penerbit yang menyisir buku-buku puisi terjemahan juga menggunakan sistem “bayarlah gaji buruh sebelum keringatnya kering”. Indrian Koto yang menangani penerbit KM Book kepada saya mengatakan di penerbitnya ketika buku siap dicetak, biaya terjemahan sudah dibayar lunas.
Tapi itu tadi, hanya beberapa penerbit yang memiliki cahflow. Penerbit “gerilyawan” tetap memakai sistem yang “sehat” bagi dua pihak; pihak penyair dan pihak penerbit. Memang, penyair mengeluarkan dana untuk menerbitkan puisinya sendiri mungkin sesuatu yang aneh. Tapi, sebagai “portofolio” buku puisi menjadi kartu jalan si penyair untuk mendapatkan “panggung” berjumpa dengan pembaca yang lebih luas. Berkaca pada publikasi buku puisi masa lalu, mengutip kembali kata-kata Buldanul Khuri: “jangan bicara bisnis dengan puisi”. Artinya, menerbitkan puisi adalah kerja idealisme di atas rata-rata yang tak mengharapkan uang banyak.
Tak lama setelah penerbitan puisi Uterus itu, sang penyair diundang ke Malaysia untuk sebuah diskusi puisi. Bahkan, untuk keperluan ke Malaysia itu lahir buku puisi baru Kedung Darma Romansha, Masa Lalu Jatuh Ke Senyumanmu (Merpati Jingga, 2016). Merpati Jingga adalah penerbit indie di Malaysia yang bekerja sama dengan IBC dalam hal praproduksi hingga cetak. Dengan “portofolio” buku puisi itulah sang penyair mendapatkan tawaran diwawancarai TV Astro Awani, koran Kosmo, dan diundang dalam forum diskusi di Rumah Gerak Budaya. Peruntungan lain adalah si penyair tampil di panggung KB Lit Fest & Pesta Buku Alternatif di Malaysia.
Sebagaimana penerbit buku puisi bergerak di ranah rumahan dengan cetak yang terbatas, gerai penjualannya juga mengandalkan sistem daring. Penikmat-penikmat puisi itu barangkali sudah membacanya di media sosial semua puisi yang tercetak dalam buku, namun tetap tergerak untuk membeli sebagai langkah mengoleksi. Fenomena itu yang terjadi dalam kultur daring yang memakai aplikasi Wattpad, misalnya. Di sana, para penulis mencari dan sekaligus menguji teks yang dibuat apakah mendapatkan pembaca atau tidak. Bahkan, beberapa penerbit mencari penulis dan karya segar mereka yang menyasar ratusan ribu pembaca dari aplikasi Wattpad ini.
Gerai penjualan Jual Buku Sastra, Pojok Cerpen, Stand Buku, Buku Indie, Mojok Store, dan Warung Arsip adalah sejumlah nama pelapak daring yang menyediakan buku-buku puisi yang—pinjam jargon JBS—“tak tersedia di toko buku”. Sistem penjualan umumnya “beli-putus” dan bukan sistem “titip-jual” atau konsinyasi. Jadi, ada dana cash yang berputar yang itu tak ditemui pada kultur penerbitan sebelumnya.
Hal lain yang menjadi menarik dari sistem penjualan daring ini adalah tentu saja relasi penyair-pembaca makin dekat dan intim sebagaimana kalimat Agus Noor: “Untuk buku puisi ini, saya memang memilih penerbit indie, yang mencoba melakukan penjualan langsung ke pembaca. Saya merasa, penyebaran atau distribusi buku puisi melalui toko buku sama sekali tidak efektif: seperti disebar begitu saja, dan belum tentu tepat sasaran ke pembaca yang memang menyukai puisi.”[4]
Ada penyair yang menciptakan naskah, ada penerbit yang mengelola naskah sebaik-baiknya untuk menjadi buku, ada percetakan yang menarik biaya cetak yang sangat bersahaja, dan terakhir ada gerai penjualan yang memungkinkan buku puisi menemui pembaca dengan cepat, tepat, nyaman, dan intim.
Dari sisi sumbangsih produksi buku puisi kiwari ini saja tampaknya cukup menjanjikan dan cerah bagi keberlangsungan dinamika puisi di Yogyakarta. Puisi belum benar-benar habis. Buku-buku puisi dari penyair baru terus lahir, sebagaimana penyair-penyair sepuh yang bukunya tetap terbit secara ajeg yang barangkali tak mereka rasakan di masa analog.
Buku terbit, bisnis di dalamnya pun masih berjalan. Walau dengan kuantitas kecil, berbisnis dengan dunia puisi tak betul-betul membangkrutkan.
[1] “Bentang Budaya, Buldanul Khuri dan Biografi Lampu Merkuri”, Mata Baca, Vol I No 6, hlm 26.
[2] Klik dan baca [ muhidindahlan.radiobuku.com/2016/12/19/dodo-hartoko-kesenangan-saya-kepada-buku-itu-seperti-hobi-saya-minum-bir/ ]
[3] Klik dan baca [ bukuindie.com/penerbitan/langkah-langkah-menerbitkan-buku-di-indie-book-corner/ ]
[4] Klik dan baca [ agusnoorfiles.wordpress.com/2012/08/19/buku-puisi-ciuman-yang-menyelamatkan-dari-kesedihan/ ]
*Dibacakan dalam “Orasi Budaya” Pesta Puisi Akhir Tahun oleh Studio Pertunjukan Sastra, Taman Budaya Yogyakarta, 24 Desember 2016. Dipublikasikan pertama kali Harian Jawa Pos Minggu, 25 Desember 2016