Apresiasi: Rizky Akbari S ~ “Aku terhanyut dalam pemikiran-pemikiran Nidah Kirani”

TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR! Buku karya Muhidin M Dahlan ini pertama kali kubaca saat menginjak semester 8 atau 9an perkuliahanku saat itu. Buku ini kubeli di Toko Buku besar. Jarang sekali aku membeli buku di Toko Buku Besar. Maklumlah, mahasiswa seperti aku ini tak punya banyak uang. Buku-buku yang aku punya kebanyakan kubeli saat bazaar berlangsung. Biasanya saat bursa buku digelar. Paling banyak buku-bukuku belinya di toko loak. Dengan tawar-menawar sengit tentunya. “Tuhan Ijinkan aku menjadi pelacur!” adalah buku yang pertama kali kubeli lewat toko buku besar di Jember.

Buku ini kubeli karena disarankan beberapa kawanku, karena kontroversi yang timbul akibat isi buku ini. Hal itulah yang mendorong aku untuk membeli buku ini. Setelah kubeli dan kuhabiskan dalam waktu seminggu. Tiba-tiba saja, aku merasa tersesat. Tersesat tak punya tujuan. Tujuan untuk mengisi aktivitas-aktivitas luangku dalam kampus kala tidak kuliah. Betapa Nidah Kirani saat itu mendorongku berfikir berulang-ulang tentang aktivitas luangku. Akhirnya kupikirkan secara matang bahwa aku akan masuk organisasi Intra Kampus saja (UKM) tak akan ikut masuk ke dalam Organisasi Ekstra Kampus untuk mengisi waktu luangku.

 ‘Flashback sejenak ke memori awal kuliah dulu’

Awalnya aku memutuskan berhenti kerja dan melanjutkan kuliah karena tuntutan sebagai anak sulung dalam keluargaku. Tuntutan untuk menjadi suri tauladan bagi adik-adikku. Bapak-Ibuku masih berfikiran bahwa titel Sarjana akan lebih memudahkan mendapat kerja dengan gaji tinggi. Kala itu aku sudah cukup punya uang lebih dari hasil kerjaku selama 2 tahun. Setelah bersusah payah mendaftar masuk kampus via tes SPMB. Akhirnya tes SPMBku yang kedua meloloskan masuk ke perguruan tinggi negeri. Sayangnya jurusan yang lolos masuk adalah pilihanku yang kedua. Dengan pertimbangan pribadi dan tak mau melihat orangtuaku bersedih dengan nasib anak sulungnya –jika tak kuliah, gaji dan karier kerjaku tak akan cepat naik- akhirnya aku terima pilihan tersebut. Alhasil sampai sekarang aku masih bergelut –tak lulus- dalam kampus sampai sekarang.

Sejatinya orangtuaku tak menuntut banyak padaku. Mereka tak ingin aku lulus cepat –secara implisit-. Aku malahan dianjurkan untuk menikmati kehidupan perkuliahan serta mencari jaringan sebanyak-banyaknya. Nasehat secara implisit itu aku turuti hingga sekarang. Dan aku terlampau menikmati hal ini  ingga kebablasan tak lulus-lulus dari strata S1. Maafkan tingkah polah anak sulungmu ini Bapak dan Ibu. Mencari jaringan di sini yang dimaksud adalah peningkatan skill atau kemampuan pribadi. Tentu saja awalnya aku disarankan mencari kawan-kawan yang punya jaringan keluarga kaya, yang bisa untuk dimasuki perusahaannya saat lulus nanti. Atau minimal jaringan itu sebagai koneksi saat kesulitan mencari kerja. Sayangnya jaringan yang dimaksudkan Bapak-Ibuku kurubah 180 derajat. Tak lagi melulu soal koneksi demi kemudahan mencari kerja. Malahan kawan-kawanku kebanyakan berasal dari kalangan miskin, kelas menengah dan sedikit sekali yang punya perusahaan. Kawanku kebanyakan berasal dari bidang yang berbeda dengan bidang kuliahku.

Okeh, kembali lagi soal buku Muhidin M Dahlan.

Buku ini secara tak sadar membawaku ke dalam perkumpulan kawan-kawan pencinta buku, diskusi dan kopi. Buku ini menjadi tiket masukku. Aku terhanyut dalam pemikiran-pemikiran Nidah Kirani yang berani menantang Tuhan dengan cara yang tak biasa. Banyak dari kawan diskusiku beranggapan Nidah Kirani berubah demikian karena otaknya telah dicuci. Dicuci oleh lingkungannya, kawan dekatnya serta organisasinya. Beberapa pula mengatakan bahwa jalan yang ditempuh Nidah Kirani adalah cara terbaik untuk menunjukkan betapa Tuhan itu memang tak ada. Oh, betapa kawan-kawan diskusiku mencerahkan pikiranku yang sempit ini. Dan saat itulah aku menahbiskan diri untuk masuk dalam organisasi Pers Mahasiswa.

Flashback lagi yah!

Setelah masuk Pers Mahasiswa sebenarnya banyak tawaran datang padaku mengajak masuk ke dalam organisasi Ekstra Kampus. Saat itu tawaran bertambah kencang, gara-gara setahun setengah aku beraktivitas di Persma aku diangkat menjadi Pimpinan Umum. Tawaran menarik tentunya. Nasihat implisit orangtuaku bisa mudah terwujud ketika aku masuk di Organisasi Ekstra Kampus. Aku pun memikirkan matang-matang tawaran tersebut. Banyak kawanku kuajak diskusi tentang hal ini. Orangtuaku pun tak ketinggalan kutanyai pendapatnya. Jawaban mereka adalah lampu hijau. Aku disuruh masuk ke salah satu Omek tersebut. Bapakku mengambil contoh beberapa politisi yang sukses menjadi ‘orang’ ketika selesai berproses di omek terkenal itu. Sayangnya pendapat bapakku ini kujadikan alasan untuk tak bergabung ke dalam omek tersebut. Alhasil semua tawaran menggiurkan tersebut aku tolak semuanya.

Tentu aku menolak secara halus. Aku merangkul kesemuanya dengan sering mengadakan kegiatan bersama, diskusi bersama, menyusun strategi bersama dengan organisasi Intra Kampus; Persma. Aku tak ingin menjadi seperti Nidah Kirani. Nidah yang awalnya berapi-api memperjuangkan ideologi organisasinya demi terwujudnya Negara yang lebih baik, akhirnya harus jatuh dan takluk dengan pikirannya sendiri. Aku masih belum berani mengambil langkah setegas Nidah Kirani. Penolakanku lebih karena tujuan masing-masing Omek bisa diwujudkan secara bersama-sama, tanpa perlu adanya pemaksaan salah satu pihak. Toh tujuan itu adalah membuat Negara ini jadi lebih baik. Heranku, kenapa tak dibuat saja satu organisasi bersama?

Bapak-Ibuku kini lebih mempercayaiku. Titel Sarjana ternyata tak cukup membuat seseorang jadi lebih mudah diterima kerja dan mendapat gaji yang tinggi. Hanya titel inilah yang mampu menaikkan sedikit gengsi keluarga di mata sanak saudara. Yah, Gengsi! Kepalang tanggung apabila kuliah yang lama ini tak diselesaikan. Sampai saat ini pulalah pikiran ortodoks Bapak-Ibu kurubah perlahan-lahan. Toh yang akan menikmati hasilnya pun aku juga. Walau sumbangsih terbesar masih tetap dari mereka. Ah! Doakan saja Pak-Bu anak sulungmu kali ini sukses. Amien!

***

Buku ini adalah buku kontroversial kedua yang kubaca. Buku pertama: Langit Mendung karya Ki Pandjikusmin. Menarik perdebatan beberapa kalangan cendekiawan tentang buku ini-Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Seorang Pelacur! Sasaran tembaknya tentu si penulis; Muhidin M Dahlan. Beliau dianggap marxis, kafir sesat, merusak akidah Islam, dan penulis harus bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pembaca buku ini. Cercaan, tuduhan, hinaan yang ditujukan kepada penulis dijawabnya melalui pledoi sederhana di akhir buku ini.

Aku punya dua buku Muhidin M Dahlan ini. Pertama cetakan ke-12 oleh Scripta-Manent April 2008 dengan cover wajah wanita berhijab yang menangis darah. Sedang buku kedua adalah terbitan Melibas, cetakan ke-4 mei 2004 dengan cover menara masjid dengan  gambar bintang, bulan sabit dan wanita yang sedang tidur menyamping dengan gambar abstrak yang menampilkan bagian bokongnya penuh dengan bunga-bunga. Oh iya warna covernya merah muda alias pink. Buku pertama aku beli di Toko Buku Besar di Jember, dan kini buku tersebut sudah berjajar rapi di perpustakaan Tikungan Jember. Buku kedua –cetakan Melibas- aku dapatkan di toko loak jalan Kenanga II, Gebang, Jember. Aku beruntung bisa mendapatkan buku cetakan melibas ini.

Kedua-duanya sudah kubaca dan sudah kubandingkan. Buku cetakan Melibas lebih banyak diksi-diksi jawa. Seperti ngece; menghina masih terdapat di buku cetakan Melibas, di Scripta-Manent berubah jadi nyinyir. Cetakan Scripta Manent; isinya lebih diperbaharui diksi-diksi yang lebih umum. Pada bagian pengakuan keempat; Ketika Nalar dan Imanku disiakan; saat Nidah Kirani menceritakan suara Azan Maghrib, ada bagian-bagian yang disensor. Entah sengaja disensor atau memang tak boleh dituliskan jelas. Pada cetakan Melibas sensornya berupa persegi panjang hitam pada bagian tertentu (block hitam), sedangkan pada Scripta-Manent ditampilkan seperti ini[…]. Pada bagian pembuka buku juga berbeda. Cetakan Melibas menampilkan tahun, sedangkan di Cetakan teranyar Scripta-manent tak lagi menampilkan tahun. Keseluruhan inti buku tersebut sama saja. Isinya tetap sama. Dan saya beruntung pernah membaca keduanya dan memiliki keduanya.

***

             Tentang kontroversi, aku tiba-tiba teringat kasus Novel Ki-Pandjikusmin. Dengan cerita; penggambaran seorang Nabi yang turba ke bumi, demi menyelamatkan manusia dari iblis-iblis. Nabi ini turba disuruh Tuhan. Tuhan membuat keputusan meluluhlantakkan bumi, Nabi disuruh mengecek apakah keputusan-Nya tepat atau tidak. Sayangnya manusia yang ditemui oleh Nabi kebanyakan sudah berubah menjadi Iblis. Lengkapnya sila baca sendiri, yah!

Karya sastra adalah sesuatu yang independen. Artinya, ia tidak ada kaitannya dengan hal-hal lain di luar karya itu sendiri. Meminjam kalimat HB. Jassin dalam pidato pembelaannya atas kasus Ki Pandjikusmin, karya sastra memiliki alamnya sendiri yang tidak bisa disangkut-pautkan dengan alam di luarnya. Ini bisa menjadi semacam ‘celah’ bagi para penulis sastra untuk menyampaikan pendapat dan pikiran-pikiran liarnya dengan bebas, tanpa takut ada yang protes. Kalaupun ada yang protes, mereka bisa membela diri: “Lho, ini kan karya sastra?”

Sebenarnya Pledoi Muhidin M Dahlan sudah cukup jelas. Bahwa buku Tuhan Ijinkan Aku menjadi Pelacur adalah sebuah ‘fiksi’ yang bahan bakunya dari kisah nyata. Hasil memoar seorang muslimah. Penulis mempraktekkan benar-benar nasehat Pramoedya Ananta Toer; “Tulislah apa-apa yang kamu lihat saja, jangan tuliskan yang gaib-gaib”. Sayangnya pihak pencerca lebih menyoroti pribadi si penulis. Dengan embel-embel dosa yang terus ditempelkan erat pada penulis. Pencerca yang mendoakan si penulis agar masuk Neraka. Haha! Hanya karena sebuah buku! orang-orang begitu tak menghargai sesamanya. Ataukah ini malah sebuah wujud penghargaan dengan cara nyeleneh.

Buku ini adalah Tiket Emasku dalam mendapatkan jaringan kawan-kawan pencinta buku. Gara-gara buku ini pulalah aku pergi kemana-mana, lagi-lagi hanya demi mendapatkan kawan-kawan komunitas baru serta lingkungan baru. Satu buku membawa informasi serta ajakan untuk membaca buku-buku lainnya. Dari buku ini aku pun mengenal filsafat lebih dalam. Mengenal pula Sigmund Freud dengan teori What’s On My Mind!

Tentunya buku ini pulalah yang membawa aku sampai pada si penulisnya langsung. Bertatap muka dengannya langsung–Sebagai Catatan; Penulis buku ini; Muhidin M Dahlan ternyata tak seseram yang kubayangkan awalnya. Orangnya ramah dan humoris pula. Bagi siapapun yang ingin bertemu dengan beliau, sila datang langsung ke Jogjakarta. Mampirlah ke Indonesia Buku di jalan Patehan, Alun-Alun Kidul. Disana terdapat perpustakaan buku-buku babon (buku-buku yang wajib anda baca). Ada pula radio buku, warung angkringan, serta kawan-kawan komunitas yang siap menyambut anda dengan kehangatan.

Disalin dari: kamarmuntah

Buku ini bisa didapatkan di warungarsip.co. KLIK