Puisi dan Penyair Yogyakarta (5, Selesai): Penyair Tunakomunitas, Penyair Tunawisma

Kultur siber tak hanya mengubah sistem rumah penerbitan buku puisi, tapi juga pola berkomunitas. Komunitas penyair yang biasanya bersama-sama menetap di sebuah sekretariat menjadi masa lalu. Komunikasi antarpenyair kini berpindah sepenuhnya ke media sosial dan beberapa aplikasi-pesan yang sifatnya komplementer dan interaktif.

Di situasi seperti ini yang diperlukan adalah para penyelenggara peristiwa-puisi; baik dalam skala kecil maupun festival yang sifatnya reguler. Studio Pertunjukan Sastra, Sastra Bulan Purnama Tembi, dan Ngopinyastro adalah contoh nyata bagaimana penyelenggara peristiwa sastra ini eksis. Dalam kultur-penyelenggara, jaringan adalah kunci pertama dan utama.

Kepada para penyelenggara peristiwa-puisi inilah dunia kepenyairan kita menyandarkan nasib dan masa depannya berselancar ke dunia tanpa batas ini.

Dan, mari kembali ke sosok penyair yang umumnya pemulia kata-kata tanpa di kelilingi harta melimpah ini. Saya ingat diplomat pertama Indonesia dan seorang politglot sahabat Raden Ajeng Kartini, Agoes Salim, pernah berkata, dan kemudian menjadi jalan hidup yang dihelatnya secara konsisten: “Memimpin adalah menderita”.

Saya juga mau mengatakan: “Berpuisi adalah menderita”. Penyair yang bersetia dengan jalan ini tanpa sabuk pengaman hidup yang lain, tanpa “berbisnis” dengan “parapihak” sudah bisa dipastikan dikerat oleh derita yang sambung-menyambung. Pilihan gaya hidup yang lebih rasional adalah: hidup sederhana. Itu pun tak cukup kuat melipir dari ancaman yang pasti mengintai, yakni tunawisma. Ini konsekuensi real saat berniaga secara langsung dengan kenyataan kerasnya hidup di bumi.[1]

Penyair Bakdi Soemanto berseru: Penyair, kembali ke bumi![2]

Dan, Joko Pinurbo memang kembali. Setelah memakai celana dan melilit sarungnya, ia menjawab seruan itu:

Penyair. Di dadamu orang-orang mati tak mau dikuburkan.

Penyair. Mayat-mayat membangun kemah di jalan-jalan.

Penyair. Ke mana arwah-arwah mengusung sejarah.

Penyair. Orang-orang gila bikin rumahsakit di lautan sampah.

Dan perempuan tua yang terus tersenyum itu masih saja menulis puisi.

Kantuknya ia jaga sampai pagi, kantuknya ia tahan sampai mati.[3]

Sementara itu, Romo Sindhunata, apa boleh bikin, hanya bisa mengajak pasrah dan berdoa ketika puisi justru tak berarti apa-apa lagi “di tengah mahalnya hidup dan murahnya kematian”[4]

Kau telah sampai di surga air kata-kata

Doakanlah kami yang masih harus mengembara

Di dunia yang hanya memberi pedih dan susah

Bila kami tak meminum air kata-kata[5]

[1] Saat saya bagikan link berita tirto.id di laman Facebook yang mengulas soal mahalnya properti dengan judul yang bikin pucat, “Anak Muda Yogya Tunawisma”, beberapa penyair muda terpancing untuk nimbrung dengan segala was-wasnya. Klik dan baca [ https://tirto.id/anak-muda-yogya-terancam-tunawisma-bw5N ]

[2] Bakdi Soemanto, “Penyair”, dalam Kata: Antologi Puisi 1976-2006 (Bentang, 2007: 81)

[3] Joko Pinurbo, “Yogyanya Linus”, dalam Sembilu (FKY, 1991)

[4] Retno Iswandari, “Negeri Pertanyaan” dalam Pawestren (Madah, 2013: 109)

[5] Sindhunata, “Air Kata-Kata” dalam Air Kata-Kata (Galang Press dan Bayu Media, 2003: 19

*Dibacakan dalam “Orasi Budaya” Pesta Puisi Akhir Tahun oleh Studio Pertunjukan Sastra, Taman Budaya Yogyakarta, 24 Desember 2016.