Cerita Selibat: “Eh,  Ada Sapi Lewat”

Begini, saudara. Yang dimaksud “sapi lewat” di judul ini adalah klenengan yang menggantung di belakang si Selibat. Ini bukan soal si Selibat itu jantan atau betina. 

Klenengan yang jika si Selibat dikayuh biasanya mengeluarkan bunyi asosiasi. Tak dikayuh pun, jika bertemu dengan jalanan yang tak rata, ekor si Selibat pun mengeluarkan bunyi. 

Nah, bunyi klenengan itu yang mengubah status si Selibat. Dari sepeda lipat menjadi sapi; dari besi pabrikan sepeda bermerek Dyno menjadi hewan kurban. 

“Eh, ada sapi lewat,” seru seorang ibu kepada anaknya ketika si Selibat melewati jalanan kampung.

Bunyi klsnengan ini pun bersifat universal. Saudara perlu ketahui, klenengan ini diberikan Sigit Susanto a.k.a Kang Bondet di Stasiun Keretaapi Bawahtanah Frankfurt, Jerman. Pagi yang dingin itu kami berjumpa. Kang Bondet, si penggerak sastra Indonesia di Swiss,  datang dengan bus dan sepeti besar buku dan oleh-oleh. 

Dan, klenengan atau kluntung atau klontheng ini. Benda mengeluarkan bunyi ini datang dari sebuah negeri sapi. Klenengan menjadi memori bangsa yang mewujud dalam cinderamata khas. 

Di Sewon maupun Swiss, klenengan adalah sapi. Di sana dan di sini memiliki pertanda yang sama; memori yang segaris dengan bunyi dan asosiasinya. Bahkan, saat klenengan itu digantung di ekor si Selibat, klenengan adalah sapi. Itulah kekuatan simbol, itulah kekuatan asosiasi. 

“Eh, ada sapi lewat” adalah keserupaan memori atas bunyi klenengan. 

Tapi, di sini, sapi juga melahirkan asosiasi yang lain untuk partai tertentu. Sapi dalam umat Hindu adalah makhluk dengan derajat tinggi tiba-tiba di ranah maya kiwari menjadi sebutan yang minor untuk sifat manusia serakah. Partai menyumbang asosiasi buruk untuk sapi. 

Terimakasih, Partai!