Filsuf Damardjati Supadjar adalah sihir pertama yang membuat lelaki kelahiran Rembang, Jawa Tengah, ini ringan langkah memasuki gerbang Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
“Selain karena dua senior saya di SMAN 1 Rembang kuliah di Filsafat UGM, Nurhadi Siswanto dan Puthut EA, saya memang terpikat dengan suara Pak Darmadjati di radio. Saya mendengarnya di Semarang,” kenang lelaki yang sejak kecil dipanggil “Uud” ini lantaran saat ia kanak-kanak Indonesia heboh Astung Pancasila dan UUD.
Terkesan dengan “Filsafat Gadjah Mada” Damardjati itu yang membikin angan Uud berpilin untuk membuat langkah serupa yang belasan tahun kemudian bernama “Filsafat Kaki Lima” yang diputar secara spartan oleh Radio Buku Live Streaming. Sebagaimana Damardjati, Uud menyenangi hal-hal keseharian yang dibahas secara filsafat.
“Filsafat itu bukannya menjadikan kita hidup absurd. Awut-awutan. Aneh-aneh. Bukan. Filsafat itu logika yang menuntun kita memahami bahwa kebenaran tidak tunggal. Termasuk memaknai benda-benda dan persoalan di sekitar.”
Mengagumi hal “remeh-temeh” itu sudah tercium saat Uud dengan yakin mengatakan tokoh fiksi favoritnya adalah Paijo di novel Pasar Kuntowijoyo. Paijo adalah karakter anak muda yang bekerja tak banyak pakai otak, tapi memiliki integritas. Ia menyelamatkan banyak orang. Paijo adalah asisten Pak Mantri yang naksir dengan Zaitun, pegawai bank.
“Di Pondok Budi Mulia saya dipanggil Paijo. Di Filsafat, teman-teman memanggil Mas Pai. Itu semua karena si Paijo-nya Kuntowijoyo itu,” kisahnya terkekeh.
Sholahuddin tercatat sebagai mahasiswa abadi di Filsafat UGM.
Ceritanya begini.
Mula-mula ia terlibat di Komunitas B-21, khususnya Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Bulaksumur.
“Saya menjadi reporter untuk website yang saat itu masih baru, tahun 1998. Sempat juga daftar ke majalah Balairung. Tapi, ujian masuk barengan dengan Kempo. Saya lebih memilih UKM Kempo. Di Bulaksumur Ahmad Nasir menjadi pemimpin umum, sementara Antariksa pemimpin redaksi. Nuraini Juliastuti yang mewawancarai saya,” kisahnya.
Selepas di SKM Bulaksumur, ia bergabung dengan komunitas yang didirikan oleh beberapa alumni Bulaksumur, seperti Antariksa dan Nurani Jualiastuti. “Saya menjadi manajer KUNCI Cultural Studies. Tugas utama saya bukan sebagai penulis, melainkan bagaimana produk bisa dijual dan gagasan terdistribusi,” paparnya.
Saat menjadi manajer KUNCI itulah ia bertemu dengan pemilik Bentang Budaya Buldanul Khuri. Bahkan, selain mau mencetak newsletter, Buldan juga mempersilahkan KUNCI berkantor di Bentang. “Sungkan betul saya dengan nama ini,” ujarnya serius.
Status kuliah di Filsafat? Tunggu dulu.
Si Paijo van Rembang ini mencatatkan namanya sebagai staf di grup perusahaan buku ajar terbesar di Klaten, Jawa Tengah, Intan Pariwara. Empat bulan ia ditempatkan di lini buku penunjang pelajaran. Termasuk membuat majalah Bisma untuk SMA. “Jualan iya, menulis iya. Staf iya, pimred iya.”
Di Klaten ini pula Sholahuddin merancang lahirnya Jojon Center. Ia memilih nama ini karena Jojon adalah sosok yang sanggup merejufinasi, memperbarui diri, atau kerennya pelawak Jojon ini pintar menyesuaikan diri dengan situasi kekinian. Cara Jojon bertahan mengesankan. Walau kata penyuka gorengan tempe dan bakwan jagung ini, Jojon bisa pula sebagai akronim dari: Jogja Joke Network.
Nah, Jojon Center yang pernah berumah di Yayasan Umar Khayam Yogyakarta ini yang mengantarkannya menjadi pembicara di tingkat Asean ihwal humor pada 2010 di Universitas Chullalongkorn, Bangkok, Thailand.
“Saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswa di forum itu. Banyak yang kaget karena semua pembicara adalah doktor atau kandidat profesor. Saya satu-satunya student. Dan itu di tahun 2010. Saya masuk Filsafat UGM tahun 1997. Sudah menghitung berapa tahun jarak status mahasiswa saya?” kata penyuka humor, tapi tak suka tampil di panggung ini.
Sholahuddin tidak sedang bercanda, walau ia sempat menyusun leksikon pelawak di Indonesia dalam jojoncenter.blog.com dan dikutip Wikipedia sebagai pranala luar. “Saya menyerahkan tugas akhir, tapi tidak ikut ujian. Saya tinggalkan begitu saja. Nama saya, ya, tetap tercatat mahasiswa Filsafat.”
Dengan status “mahasiswa abadi” Filsafat itu pula Sholahuddin bertemu kembali dengan Buldanul Khuri saat sang tokoh buku legendaris Jogja ini tak lagi mengurusi Bentang Budaya lantaran sudah alih kepemilikan ke Mizan.
Di Pabrik Penerbitan JEJAK yang dihelat Buldan ini, Sholahuddin a.k.a. Uud a.k.a. Paijo a.k.a. Mas Pai ini belajar soal pracetak buku; mulai dari tatak letak, koreksi huruf, bikin kateren, hingga ke percetakan untuk membuat paperplate.
“Buldan mengajari saya untuk bekerja sempurna. Misalnya dalam soal koreksi kesalahan huruf. Buku Zharasutra itu dikoreksi dengan cara mengeja satu per satu huruf. Bersuara keras. Tak boleh terlewati. Jika pun tetap salah, ya itu bikin stress. Dan, buku Nietzsche itu tebal.”
Kini, Sholahuddin a.k.a. Uud a.k.a. Paijo a.k.a. Mas Pai ini pada akhirnya terdampar di Penerbit Bentang (Pustaka). Atas rekomendasi sahabat yang ia kenal dari B-21/Balairung, Imam Risdiyanto, mula-mula ia ditunjuk menjadi kepala sekolah untuk kelas menulis Akademi Bercerita. “Mungkin Mas Imam kasihan melihat filsuf menganggur.”
Dua tahun di Akber, lelaki menyebut diri sebagai filsuf kaki lima ini dilibatkan dalam Community Development yang secara khusus menangani komunitas pembaca Bentang. Lahirlah Klub Baca Bentang yang mula-mula mengagendakan secara reguler membaca buku-buku terbitan Bentang. Peluncuran pertama Klub Baca ini di empat titik: Kantor Bentang, Rumah Pustaka Cak Nun, Mooi Kitchen, dan Petak Umpet. “Di Petak Umpet dibatalkan karena abu Gunung Kelud menutupi tanah Jogja,” jelasnya.
Sebagaimana posisinya yang sudah-sudah, Sholahuddin a.k.a. Uud a.k.a. Paijo a.k.a. Mas Pai tetap konsisten di lajur nonredaksi. Ia menerima dengan ikhlas takdirnya berada di lini promosi dan media sosial. Posisi seperti ini tampaknya dihikmatinya sebagai praktik filsafat dalam gemuruh dunia perbukuan.
Bagi Sholahuddin a.k.a. Uud a.k.a. Paijo a.k.a. Mas Pai hirarki tertinggi dalam upaya manusia mencapai pemahaman adalah komunikasi, vertikal maupun horizontal. Nah, sebagai praktik filsafat, maka menjual buku mesti disadari sebagai upaya menjalin hubungan antara manusia satu dan manusia lainnya. Transaksi adalah medium. Nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi yang pertama.
“Buku itu karya kreatif. Susah bikin buku. Maka dari itu, ayo perlakukan penulis seproporsional mungkin. Hargai kerja kreatif mereka dengan cara pasarkan karyanya secara krearif pula. Menghargai penulis mestilah dimulai dari orang-orang buku sendiri. Kalau penerbit tak memperlakukan penulis secara layak, bagaimana publik bisa memperlakukannya dengan baik pula,” pungkas “filsuf kaki lima” dari Gadjah Mada ini.

#TemankuOrangBukuKeren