Sepeda Sunyi, Sepeda Kita

Yogyakarta membuka kalender 2017 yang baru dengan kabar kematian yang ironis. Kepala Dinas Perhubungan DIY Sigit Haryanta tewas setelah dirawat di RSUD Sardjito akibat ditabrak sepeda motor di Simpang Tiga Pedes, Argomulyo, Sedayu, Bantul.

Bersama rombongan komunitas pegowes, Sigit di Selasa pagi itu bersepeda dari Wates menuju Kota Jogja. Hanya enam jam dirawat di UGD, Kepala Dishub itu pun menghembuskan napasnya yang terakhir.

Lihatlah jalanan itu. Tak pilih-pilih siapa yang berkalang maut di atasnya. Bahkan, seorang pemimpin tertinggi yang mengurus transportasi pun disikatnya. Dan, itu terjadi di saat sang pemimpin menggunakan moda transportasi “berkasta rendah” di jalanan (selain sepeda, termasuk di dalamnya becak dan andong).

Kematian yang getir itu mengingatkan lagi sebuah luka kenangan yang belum juga pulih dan kemudian melahirkan tagar #SepedaSunyi di ranah maya.

Tersebutlah kalender lima Januari yang menjadi tonggak lahirnya gerak(an) #SepedaSunyi di Yogyakarta. Pemicunya adalah kematian seorang bocah kelas 1 SD, Nova Arif Safaat. Nova meninggal di tempat oleh sebuah Bus Pariwisata yang melaju kencang ke utara di KM 10 Jalan Palagan.

Tak lama setelah para pegiat sepeda menyalakan lilin dan mengusung “sepeda putih” yang menjadi simbol #SepedaSunyi di Tugu, kematian Nova disusul kemudian kematian Ocha, siswa kelas IV SD Padokan 2 di Jembatan Cemplung, Padokan, Kasihan, Bantul dua pekan setelahnya. Ocha meninggal di tempat tak jauh dari sepedanya yang berwarna pink. Gadis kecil ini adalah teman sekelas anak sulung saya, Dipa Pinensula Whani.

Lihatlah belia-belia itu mati di jalanan yang makin ke sini makin beringas. Kecepatan menjadi harga mutlak di jalan raya. Yang lambat menyingkir jauh-jauh. Ngeyel, sikat. Dan, itu terjadi di semua status jalan: negara, provinsi, hingga jalanan desa.

Bersepeda untuk mendukung aktivitas sehari-hari pun menjadi sesuatu yang menakutkan. Sepeda adalah kayuhan kesunyian.

#SepedaSunyi adalah sebuah refleksi ke dalam. Tiba-tiba ada lubang kemanusiaan yang kosong dalam lubuk jalanan kita. Dalam kecepatan itu kita lupa kemanusiaan kita. Dan memang, seturut Milan Kundera, nasehat kebaikan menghilang saat orang menunggangi kecepatan. Bahkan, lupa pada diri sendiri dan keluarganya.

Pemerintah Kota di era Herry Zudianto sudah melakukan langkah konkret mengeluarkan aturan bernomor 551/048/SE/2009 tertanggal 22 Mei tentang pelaksanaan Sego Segawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe/sepeda untuk sekolah dan bekerja). Aturan itu juga diikuti dengan pembuatan jalur sepeda dan plang penunjuk “jalan alternatif” para pegowes.

Gerakan ini disambut dengan antusias lantaran Wali kota Herry Zudianto meneladankan bagaimana bersepeda tidak menjadikan seorang pemimpin rendah statusnya di jalan raya. Bersepeda bersama seorang pemimpin dalam kota membikin warganya tiba-tiba tidak sendiri melintasi jalanan dari tahun ke tahun makin sesak dengan kendaraan bermesin.

Bersepeda lalu menjadi kebiasaan yang menggembirakan. Jalanan seperti kembali sebagai gelanggang patembayan, ketimbang trek adu cepat yang melelahkan pikiran.

Bersepeda adalah laku penanaman pendidikan dasar berlalu lintas, penghormatan pada yang hidup di sekeliling, ramah dan patembayan, dan saling sapa. Dalam bersepeda, perlambatan bukan sesuatu yang hina. Bersepeda menanamkan mental untuk tidak menjadi manusia yang bergegas.

Ketika “pendidikan sepeda” ditanam-biasakan dalam perilaku dini, maka ketika menunggangi moda transportasi mesin yang lebih cepat, mental beradab di jalan raya ikut serta.

Dan, “pendididikan sepeda” dengan ruang kelas sepanjang jalanan itu membutuhkan keteladanan pemimpin, ketersediaan infrastruktur, dan penegakan hukum.

Namun, keteladanan itu surut lagi seiring dengan sirkulasi kekuasaan. Awalnya balaikota yang menjadi simbol kekuasaan kota yang steril dari kendaraan bermotor, kini diperbolehkan.

Sepeda pun kembali sunyi seperti sedia kala tatkala metode ajaib setan kredit (leasing) belum ditemukan para dewa pelapak kendaraan bermotor. Loket setan kredit tumbuh serupa kehadiran toko waralaba dalam kota.

Mungkin masih kita temukan kegembiraan dan keramaian bersepeda dengan lambaian umbul-umbul persembahan dari para pemilik usaha dengan modal besar. Kegembiraan itu terjadi dengan garansi hadiah motor atau mobil.

Memiliki mobil dan motor menjadi parameter terdepan untuk menunjukkan di level sosial mana kita berdiam–dan tentu saja bangga.

Maka kita bisa memaklumi bagaimana sebuah keluarga dengan takzim membiarkan seorang anak yang masih Sekolah Dasar mengendarai motor; alih-alih mendidik secara penuh anaknya hidup di jalan raya berfalsafahkan #SepedaSunyi. Mula-mula keliling kampung, namun lama kelamaan menjadikan jalan raya sebagai trek balapan sebagaimana mereka pelajari dalam game-game di internet.

Sepeda pun makin sunyi dan tersisih makin ke pinggir. Bila pun sepeda disebut-sebut, maka aktivitas bersepeda pun tergelincir hanya pilihan gaya hidup kelas menengah baru pada hari-hari tertentu.

Di tangan kelas ini, bersepeda kehilangan elannya sebagai sebuah moda transportasi individu yang ramah dan menyehatkan. Ketika prinsip bersepeda berubah menjadi tak ubahnya sebarisan pamer, maka kegiatan ini tidak menyumbang apa pun untuk “memperbaiki” kualitas peradaban lalu lintas kita.

Yang lahir dari perlombaan menumpuk seluruh rasa bangga berkendara jalanan yang tak bisa lagi ditambah lebarnya ini menghasilkan sikap permisif bahwa kematian di atas aspal adalah sesuatu yang normal. Sesuatu yang biasa saja.

Bila seperti ini peradaban yang kita mau di jalan raya, maka bersepeda bukan saja sunyi, tapi juga sesuatu kegiatan yang makin ke sini makin aneh dan rudin.

Jika maunya begitu, ayo, mari kita bikin jalanan Yogya sebagai gelanggang para gladiator seraya berseru serapah: mati dan membusuklah kalian para pesepeda. Pilihan aktivitas kok bersepeda.

  • Dipublikasikan pertama kali Harian Kedaulatan Rakyat, 11 Januari 2017.
#SepedaSunyi, #SepedaKita