Engkos Kosnadi: “Aku Pegawai Kontrak Dinas Pertanian, tapi Kolektor Buku Kiri”

Setelah lulus dari jurusan Teknik Industri Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta pada 2006, ia diterima bekerja sebagai tenaga kontrak di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro. Hanya empat tahun di Agro, ia bermigrasi ke Badan Ketahanan Pangan. Dan saat tulisan ini dibikin ia menjadi pekerja di Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Semuanya di Provinsi Jawa Barat.

“Saya masuk ke dunia pertanian karena kerja jurnalistik saya di pers mahasiswa,” katanya. Di dunia pangan dan pertanian, mantan Pemimpin Umum LPM Pendapa Taman Siswa ini menangani sistem informasi dan data. Ia berakrab-akrab dengan kliping koran dan pengelolaan website.

Tapi bekerja di lingkungan ambtenaar di dunia pangan dan tani sungguh tak menghalanginya untuk menulis puisi. Justru di saat suntuk menghadapi kerja rutin dan regular itu ia melemparkan pikirannya kepada kebahagiaan dan kesenangan kepada dunia kata-kata. Dan, lahirlah buku puisi pertamanya: “Mata Rama”.

Kecintaan pada kata-kata dan kemudahan berbagi puisi di beranda media sosial Facebook yang membuatnya rajin mengunggah puisi, terutama malam hari atau pagi sebelum kerja kantor dimulai.

Buku puisi kedua pun lahir, “Ramayana”, yang disusul buku puisi “Namaskara” dan “Firka Firdausi”.

Sebagai sosok yang dibesarkan di alam pendidikan Taman Siswa, kecintaannya pada Ki Hadjar Dewantara tak pernah punah. Bahkan saat bekerja menjadi ambtenaar dalam alam birokrasi yang meringkus kesenangan pribadi, ia masih punya daya dan dana untuk menghimpun segala informasi ihwal Ki Hadjar.

“Mengoleksi Ki Hadjar sudah saya lakukan dari tahun 2000 sampai sekarang. Saya kadang berjumpa dengan buku-buku yang unik seperti buku tipis Ki Hadjar yang terbit tahun 1938, “Nationale Opvoeding”. Saya juga mengoleksi majalah Pusara dan surat-surat Ki Hadjar,” kisah lelaki kelahiran Ciamis dan pernah bergabung sebagai barisan Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) saat SMU di kota asalnya itu.

Saat suntuk mengoleksi apa pun informasi soal Ki Hadjar itulah ia mengembangkan minat koleksinya ke buku-buku kiri. “Ki Hadjar itu orang kiri yang bermetamorfosis menjadi guru bangsa. Taman Siswa itu adalah taman kebangsaan yang tak alergi dengan kiri. Bahkan komunis sekalipun,” jelasnya.

Ia pun berburu buku kiri, terutama pra dan pasca pembantaian massal 1965. Nyaris seluruh gajinya di Dinas Pertanian amblas untuk belanja buku-buku kiri. Kiri apa saja. Bahkan buku kuminis primbon dari Bali atau petunjuk teknis bagaimana “mengelola” tapol. “Kadang saya memburunya di lapak atau pameran buku. Juga memesannya dari penjual buku-buku di dunia daring,” ujar pecinta puisi-puisi Sunda ini.

Koleksi kiri yang disimpannya di Ciamis, Indramayu, dan Bandung ini melahirkan buku puisinya yang kelima: “Testamen di Bait Sejarah”. Pendiri Dewantara Institute dan pengelola reading group Bumi Manusia di Bandung ini membaca dan mengungkapkan tafsirnya atas kiri lewat puisi di buku itu.

Ah, jika semua ambtenaar seperti Engkos Kosnadi alias Rama Prabu alias Rama Prambudhi Dikimara, maka lapak buku kiri ada harapan, dan tunasejarah bisa sedikit demi sedikit dientaskan dari garisnya yang fakir.

Dan mengiang lagi kata-kata jenderal tua Kivlan Zen yang menjadi viral di medsos bulan Mei 2016 bahwa orang-orang di pertanian itu adalah sarang kuminis terkutuk. [Muhidin M. Dahlan]

#TemankuOrangBukuKeren