Joko Widodo: Wiji Thukul Harus Ditemukan, Hidup atau Mati!

Ketika pada 19 Januari 2017 film biopic Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-Kata (Yosep Anggi Noen, 2016), diputar secara serentak di bioskop jaringan XXI di 19 kota di seluruh Indonesia, saya mengingat janji Joko Widodo pada 9 Juni 2014. Janji yang memberi harapan kepada keluarga dan kerabat penyair pelo Wiji Thukul yang raib di taun 1998.

Tarikh janji itu diucapkan setelah PDIP memastikan kemenangan dalam Pemilu Legislatif dan satu purnama sebelum Pilpres digelar. Artinya, Jokowi mengucapkannya dalam kerangka kampanye menjadi calon presiden. Janji itu adalah:

“Dalam kondisi apa pun, Wiji Thukul harus ditemukan, hidup atau mati. Harus jelas. Masa 13 orang bisa tidak ketemu tanpa kejelasan! Wiji Thukul itu, saya sangat kenal baik. Dia kan orang Solo. Anak-istrinya saya kenal. Puisi-puisinya saya juga tahu.”

Kata-kata Jokowi itu pendek dan datar, tapi sangat tegas. Bahkan, ia memakai slogan yang pernah dilahirkan “revolusi”, yakni hidup atau mati. Jokowi bahkan mengaku tahu siapa Wiji. Terlebih lagi Jokowi tahu puisi-puisinya.

Sebagaimana Jokowi, Wiji tinggal di Solo; sebagai buruh pabrik, penyair, dan penggerak kebudayaan. Pada tubuhnya yang ringkih berdiam nyali. Pada kakinya yang jenjang berdaki meluap-luap energi yang tak mau diam. Pada lidahnya yang pelo (tak fasih menyebut huruf r), berbiak api. Kata-kata Wiji dalam sebaran puisi-puisinya adalah api yang membakar semangat buruh dan pembangkang, namun menakutkan bagi rezim militer Soeharto.

Jika Jokowi tahu Wiji, maka pastilah mengetahui dengan presisi siapa lawan politik penyair miskin pemberani ini. Jika Jokowi tahu puisi-puisi Wiji, maka pastilah mengetahui kata-kata Wiji adalah peluru yang menembak ke jidat aparatus militer Orde Baru.

Saya meyakini Jokowi tidak sedang memainkan retorika kosong ketika tahu penyair Wiji telah lama hilang dan ia menyiapkan diri dan mesin kekuasaan jika sudah dalam genggaman untuk mencari dan menemukannya: hidup atau mati.

Sebab, Jokowi sedang berada dalam posisi emasnya sebagai politisi yang dalam zirah pedalamannya meraup begitu banyak harapan yang muluk-muluk tentang kehidupan masa depan: petani yang sejahtera, wong cilik yang diajeni, dan tentu saja menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu yang menghalangi jarak pandang. Termasuk dalam soal terakhir itu adalah menemukan penyair Wiji yang hilang bersama 12 orang lainnya oleh suatu operasi siluman yang rapi dan terstruktur.

Dan, Jokowi lewat sebuah pertarungan sengit benar-benar menggapai kekuasaan puncak di Republik. Ia menjadi presiden dengan panggilan kehormatan: Bapak Presiden Yang Mulia Joko Widodo.

Membenahi kabinet dan kemudian larut dalam pelbagai ritus pembangunan infrastruktur, Presiden Jokowi seperti lupa pada sebuah janji yang diucapkannya dengan sangat tegas; mencari Wiji Thukul yang raib, hidup atau mati.

Kita yang terus menunggu dari sebuah tempat yang sangat jauh di luar istana tidak melihat ada gerak apa pun mencari penyair Wiji ini. Jangankan mengingat Wiji, sudah ribuan hari Payung Hitam yang terdiri dari bapak dan ibu-ibu yang sudah lanjut usia berdiri saban Kamis di depan Istana Negara mengadukan duka kehilangan putra-putra mereka yang raib oleh musabab politik.

Aduan duka kehilangan orang yang dicinta itu seperti membentur tembok kekuasaan yang tak tergapai; serupa puisi Wiji yang telangas itu: Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/ Kau hendaki tumbuh/ Engkau lebih suka membangun/ Rumah dan merampas tanah// Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/ Kau kehendaki adanya/ Engkau lebih suka membangun/ Jalan raya dan pagar besi.

Puisi “Bunga dan Tembok” itu terasa dekat sekali sekarang, diarahkan buat pemimpin macam apa, walau ia ditulis tiga dekade yang lalu. Puisi Wiji itu serupa arwah yang mengejar siapa pun yang doyan menggorok wong cilik dan menista petani serta buruh kasar atas nama jalannya pembangunan.

Kini, dengan seluruh mesin kekuasaan di tangan, Jokowi bahkan tak menunjukkan tanda apa pun menebar radar di mana penyair Wiji berada. Malah sebaliknya, arwah Wiji—bila benar ia sudah “moksa”—justru kini menghantui Jokowi dengan segala janjinya.

Arwah itu kini betul-betul hadir. Di permulaan tahun ini, arwah Wiji dihidupkan kembali lewat ritus budaya pop bernama film. Pemutaran film biopic Wiji Thukul ini menjadi fait accompli atas ketaksungguhan presiden kelahiran Solo itu mengerjakan janji politik yang diucapkannya sendiri untuk si penyair.

Film ini pada akhirnya merupakan siasat budaya menagih tunai janji Jokowi!