Tokoh pers Tirto Adhi Soerjo yang juga disebut “Sang Pemula” sebenarnya telah mulai menyinggung seni kuliner dalam beberapa tulisan.
Ia menulis tentang kursus-kursus memasak dan juga penghargaan yang diberikan kepada mereka yang memenangi lomba membuat masakan.
Pada masa itu buku-buku resep makanan sudah banyak diterbitkan. Meski demikian, gambaran mengenai dunia kuliner belumlah lengkap.
Tidak ada gambaran mengenai suasana saat makan, menu-menu pilihan, tempat makan, makanan di perjalanan, perlengkapan makan, dan lain-lain.
Novel-novel tokoh pergerakan Mas Marco Kartodikromo, yang masih belum diakui perannya, menjadi salah satu media untuk menjangkau dunia kuliner masa itu.
Melalui novel Mata Gelap (1914), Student Hidjo (1918), dan Matahariah (1918), kita bisa membayangkan dunia kuliner masa itu. Marco termasuk penulis yang sangat rinci menulis acara makan, suasana makan, dan tentu makanan atau minuman yang dikonsumsi.
Di mata pengelola Warung Arsip dan penulis Muhidin M Dahlan, jika kuliner masuk dalam gaya hidup Marco, ia bisa memahami hal itu. Marco adalah seorang pencinta gaya hidup alias modis tingkat akut, termasuk dalam dunia kuliner.
Mulai dari nama, Marco adalah pria yang gandrung pada sesuatu yang tak biasa. Mas Marco Kartodikromo adalah nama dari perjumpaan dua kultur yang saling memunggungi.
“Marco adalah seorang yang dendi. Dia anak gaul di Bandung yang meniru guru jurnalistiknya, Tirto Adhi Soerjo. Tirto ini gandrung pada dunia kuliner, pengobatan, dan mode. Marco yang ikut belajar jadi penata wajah Medan Prijaji pastilah terhubung dengan koran gaya hidup Poetri Hindia yang dikelola Tirto dan para gadis anak bupati dan tumenggung,” kata Muhidin.
Disalin dari Harian Kompas, 20 April 2016