Apresiasi: Fendi Chovi ~ “Begini Cara Mudah Menulis Esai”

Sejumlah anak muda hadir menikmati peluncuran buku, pembacaan karya, diskusi, serta pameran buku indie, dengan deretan buku-buku terpajang rapi sekaligus memanjakan mata para pengunjung di Jual Buku Sastra (JBS), Yogyakarta, Jumat (30/12/2016).

Muhidin M Dahlan, pegiat literasi sekaligus pendiri Radio Buku di Yogyakarta berbagi pengalaman tentang prinsip dasar seputar penulisan esai.
Menurut lelaki yang malang melintang di jagad literasi tersebut, menulis esai seharusnya dilakukan mirip seperti menulis status di media sosial.

“Coba perhatikan hal-hal sederhana di samping, kanan, kiri, lingkungan kita. Temukan sesuatu yang unik. Bisa benda-benda tak bernyawa ataupun bernyawa, lalu belajarlah mengomentari benda-benda tersebut,” tuturnya kepada peserta.

Lanjut Muhidin, bila benda-benda tersebut dikomentari dengan penghayatan sekaligus kepekaan artistik disertai kejujuran untuk menuliskannya, maka hasilnya pasti luar biasa. Tak tertebak dan dipastikan menarik minat publik.

“Bila benda-benda tersebut dituliskan, jangan lupa disertai foto dan share ke media sosial dan lakukan secara rutin. Lama-lama, ide-ide kalian akan terbaca publik dan akan mendatangkan para pembaca,” ujarnya.

Menurutnya, menulis esai semacam itu tidak salah. Sebab, banyak tipe menulis esai.

Muhidin menambahkan, bila menulis esai usahakan untuk melahirkan gagasan agar mampu memancing reaksi publik.

“Tulislah apa saja. Sebagai tahap menemukan pembaca kalian. Bisa saja belajar berkomentar dengan membuat tip tertentu. Susunlah gagasan dalam bentuk kronologis kejadian dan peristiwa semenarik mungkin,” tegasnya.

Menurut Muhidin, tak ada cara terbaik dalam menulis kecuali rajin membaca, rajin menulis, latihan secara rutin dengan tujuan mencapai kematangan dalam mengemas gagasan.

Muhidin menyinggung sekilas pengertian esai berdasarkan buku yang ditulisnya, Inilah Esai : Tangkas Menulis Bersama Pesohor.

Di buku tersebut, saya mengutip pendapat bapak esai Michel de Montaigne (1533_1592), saat menerbitkan esai pertamanya di abad ke 15. Di luar definisi itu, saya sepakat bila esai adalah suatu gaya menulis yang bukan-bukan,” sebut Muhidin sekaligus menegaskan bila pernyataan tersebut terinspirasi dari Cak Nun dan celotehan Gus Dur.

“Esai disebut tulisan yang bukan-bukan, bila mengutip Mointaigne, yaitu semacam ekspresi bahwa esai adalah cerminan, meditasi, dan percobaan yang diekpresikan secara licin dengan bahasa yang lentur,” ungkapnya.

Di buku itu, imbuhnya, sejumlah tokoh dan esais-esais terkemuka, mendapat ruang untuk menjelaskan tentang pendefinisian apa itu esai. “Maka, tak ada salahnya bila apa yang saya sampaikan dipraktikkan secara rutin,” pinta Muhidin kepada peserta.

Bila demikian adanya, lanjut Muhidin, mari menulis esai dengan topik dan bahasan yang disukai, buatlah esai seperti kalian menulis status di media sosial. Share ke publik dan temukan pembaca kalian.

Fendi Chovi adalah Blogger/aktivis perdamaian/pegiat literasi

Disalin dari surabaya.tribunnews.com