Ruangan no. 26 ini terletak dalam deretan blok-sewa di Jalan Veteran I, Monas, Gambir, Jakarta Pusat. Dilihat dari tampak dapur, ruangan ini bersisian tembok dengan Markas Besar Angkatan Darat.
Orang mengenal Blok 26 itu sebagai Newseum Indonesia. Newseum adalah sekaligus galeri semi-publik yang dipunyai Taufik Rahzen (TR).
Saya ingat, saya pertama kali ikut tinggal dan bekerja di sini pada titimangsa Mei 2005. Yang lebih dulu akrab dengan ruang ini tentu saja perupa Dipo Andy yang menggarap projek seni dalam rangka 50 Tahun Asia Afrika, April 2005. Desain-desain Dipo Andy kemudian dibawa ke Bandung untuk dipamerkan di sebuah gedung tua.
“Nomor bloknya 26. Veteran I. Dari Stasiun Gambir, jalan saja ke utara. Nyebrang di depan Mabesad. Nyampe tuh. Di seberang sungai itu ada Istiqlal. Jangan lupa salat,” demikian Dipo Andy memberi ancar-ancar kepada saya.
Dan, saya pun memang sampai. Dindingnya dicat dengan warna merah marun, ah, pada akhirnya saya ingat cat Gelaran Budaya di Karangkajen, Yogyakarta.
Saya juga diperkenalkan kepada seorang lelaki kurus berkulit sawo matang tua, tapi punya tenaga kuda dan berotot. Ia sodorkan tangan kanan sambil sebut nama: “Renges.”
Lalu, dengan gayanya yang cengengesan dan sesekali tertawa ngakak, Renges mulai menunjukkan pokok-pokok tempat. Yang pertama adalah di mana belanja rokok.
Jauh sebelum usaha Pak Abas menjadi pedagang asongan tersukses di sepanjang Jalan Veteran I, ia memarkir kios kelontongnya persis di sisi kanan Blok 26. Jika hanya rokok, kopi, autan, dan perkap mandi tak perlu ke Pasar Baru di seberang Gedung Kesenian Jakarta itu. Pak Abas sangat bisa diandalkan.
Dari informasi hasil cakap-cakap gukguk, Pak Abas sudah 30-an tahun menduduki trotoar Veteran I. Sebelumnya, kehidupan Pak Abas berada di antara barang bekas dan pengepul. Dapat modal, lalu membuka lapak kelontong. Hasilnya sekarang?
Tabungan dagangnya kemudian bisa membeli mobil Avanza dan kelontongnya juga pakai mobil L300 supaya bisa mlipir cepat kalau Satpol Ibu Kota kumat. Bukan hanya itu, usaha kelontongnya itu bisa membelikan anaknya motor besar yang keren seharga 30-an juta.
“Avanza Pak Abas itu diparkirnya, ya di Veteran I. Kadang di depan Domus, kadang juga di depan Blok 26. Itu tuh mobilnya,” tunjuk Nana Yuliana, yang saat ini yang selalu mengikuti TR berbelanja buku dan barkas lawasan.
Kembali ke soal awal. Mungkin saya orang ketiga atau mungkin kelima yang dipanggil TR untuk merasakan kerja dalam atmosfer Blok 26. Tentu saja orang pertama adalah si tukang kayu Renges itu.
Dari niat awal sewa, demikian yang saya ketahui kemudian, blok 26 ini diperuntukkan untuk pelbagai kegiatan budaya, perjumpaan, dan persinggahan. Momentumnya tentu saja setelah beberapa purnama TR kembali dari Yunani sebagai kepala kafilah ratusan pegiat budaya Indonesia mengikuti Olimpiade Kebudayaan di Athena.
Dalam perjalanan waktu, ruangan ini kemudian beranak-pinak. Mulanya satu, lalu dua, dan puncaknya sembilan blok disewa TR untuk segala macam kegiatan. Sehingga pengelola Gedung Indonesia Menggugat (2003-2014) Mohammad Hanief berseloroh: “Ini sih bukan Jalan Veteran, tapi Teeran.”
Macam-macam kegiatan dilakukan dengan ratusan orang yang bekerja di dalamnya: kafe, restoran gudeg, televisi, riset dan penelitian, galeri, heritage, penerbitan, dan kamar redaksi majalah serta tabloid.
Betul, ratusan orang pernah bekerja dengan TR di sembilan blok itu. Saya adalah satu dari ratusan itu.
Tapi, memasuki tahun 2011, perlahan suasana kembali normal. Satu per satu blok itu lepas. Hingga kini, yang tersisa hanya dua blok, yakni Blok 26 dan Blok 25.
Lepasnya blok-blok itu tentu saja diikuti lepasnya orang-orang. Memang seyogyanya begitu. Sebab, ruang Blok 26 yang sejak 2007 dikenal dengan nama Newseum Indonesia ini diniatkan sebagai ruang persinggahan. Serupa halte. Ada yang datang, ada yang pergi.
Yang tersisa kemudian adalah Nana, Fitrie, Novi yang setiap hari mengurusi administrasi dan kerumahtanggaan. Dan, saya masih kerap ke sini dalam kapasitas sebagai “muka lama dan lawasan”. Wajah-wajah berminyak lain yang masih menyinggahi blok ini tentu saja perupa-perupa Gelaran seperti Galam Zulkifli, Yayat Surya, Dipo Andy. Juga, para penggerak festival dari Solo, seniman/wati dari Mataya.
Dan, dari awal hingga kini, TR tak pernah berubah dari posisi selera: menjadikan ruang tinggal sebagai rumah bagi ratusan ribu buku dan benda-benda seni. Dari lukis hingga benda-benda antik yang datang dari Solo dan Pasar Hitam Jatinegara.
Dan, dari awal hingga akhir tak ada mobil pribadinya yang terparkir di depan Blok 26. Kata Sofyan yang bekerja di Blok 26 sejak lulus SMP: “Mobil Pak TR tuh yang warna biru. Setiap ada sedan biru lewat atau berhenti di Jalan Veteran, itulah mobilnya.”
Yang dimaksud Sofyan “mobil biru” itu adalah taksi Blue Bird dan semua adik-adiknya. Saya tambahkan, selain taksi ada bajaj. Lebih dari 10 kali saya jalan dengan TR dengan menaiki bajaj. Kuantitas terbanyak saat ke lapak buku Kwitang, Senen, sebelum lapak legendaris itu hijrah ke Blok M, Jakarta Selatan.
Demikianlah, saat saya pamit pulang ke Jogja di pagi pekan kedua Desember 2016, TR tampak masih lelah setelah “berburu” buku. Saya pamit untuk membawa belasan bundel majalah Panji Masjarakat yang semampunya saya bawa.
“Tempo ditinggal dulu, Gus. Hati-hati di jalan,” ucapnya.
Di Newseum, tiap hari buku datang, tiap hari majalah tiba. Tua dan baru diperlakukan sama.
Jika Anda membuka warungarsip.co, pahami bahwa itu hanya 2 persen dari koleksi dari Blok 26 yang diunggah-bagi ke publik.
Selamat ulang tahun, Pak TR! Sehat selalu.