“Membaca tak sebatas mengeja huruf. Membaca itu kerja menaut dan mengaitkan ide. Maka sebagai awal, bacalah buku sebanyak-banyaknya” ~ Najwa Shihab, Duta Baca Indonesia
Bisakah buku dan musik berada dalam satu panggung pergelaran? Bisa! Yang datang ke MocoSik: Book and Music Fest menemui sebuah peristiwa yang ganjil, beyond.
MocoSik adalah akronim dari “Moco” (Jawa: baca) dan “Sik” (musik). Bisa pula MocoSik diartikan sebagai moco sik, baca dulu, ah. Sebuah kalimat cakapan yang menginterupsi, jeda.
Membaca sejatinya ritus jeda; perjalanan menuju keheningan pedalaman batin, pergolakan pikiran dalam kesunyatan. Seperti halnya musik, praktik moco, kerja baca, adalah relaksasi sekaligus menjemput kegembiraan lewat gerak yang dipicu oleh salah satu saraf terpenting manusia, yakni indera dengar. Jika irama dalam buku adalah komposisi diksi dan tanda baca, maka nada-nada teratur dalam musik itu hasil komposisi balok-balok not.
Festival bertajuk “Membaca Musik, Menyanyikan Buku ini sesungguhnya membaca tanda-tanda baca dalam performa nada di balok not itu. Diselenggarakan Rajawali Indonesia Communication bekerja sama dengan Kampung Buku Jogja, 12 hingga 14 Februari 2017 di Jogja Expo Center, Yogyakarta, komposisi itu menjadi permulaan yang menjanjikan.
Modus Siasat Kebudayaan
Dalam sejarah perbukuan—dan juga musik—festival ala MocoSik ini adalah yang pertama digelar dengan menjadikan buku sebagai tiket tanda masuk. Menampilkan panggung musik dan panggung buku secara berimbang dalam sebuah festival menjadikan dua entitas kreatif ini bisa “berdialog”. Atau dalam sebaris kalimat penulis dan aktivis literasi bergerak Nirwan Ahmad Arsuka: “leluhur sastra sesungguhnya adalah musik. Tekslah yang membuatnya berbeda. Tanpa teks, yang ada ialah musik”.
Ini bukan soal buku-musik atau musik-buku. Ini adalah ihwal mendialogkan dua modus budaya kreatif dalam sebuah rekayasa; mulai dari rekayasa manajemen tiket, model venue, hingga tata panggung.
Benar, di setiap perhelatan pekan raya buku kita kerap saksikan diisi dengan acara-acara musik. Namun, musik hanya sebagai pengiring acara. Musik bukan subjek utama. Sebagai pengisi acara—itu pun dengan penampil apa adanyamusik menjadi sekadar penghibur untuk para pembeli buku.
Ketika mengoordinasikan sebuah riset almanak musik bersama Kelik M. Nugroho yang kemudian dibukukan menjadi buku Almanak Musik Indonesia, saya menemukan hal yang juga sebaliknya. Buku menjadi medium yang periferal. Bagi musisi, buku dalam musik tak lebih dari medium autobiografi si musisi. Maka, kita kemudian menemukan secara gradual kronika musik—tidak terlalu seringmusisi fulan meluncurkan buku autobiografinya. Atau, pengarang lagu fulanah membikin antologi cerita pendek. Atau, sejarah sebuah band atau kota jenis musik tertentu yang dibukukan.
Pergelaran festival semacam MocoSik ini mengajukan keduanya sebagai subjek-subjek; tak ada yang lebih tinggi dan rendah dari lainnya. Buku dan musik berada dalam satu panggung yang meriah dan sekaligus sublim; saat pekerja buku melihat musik sebagai sebuah kegairahan budaya populer yang tak pernah lekang dan pekerja musik memandang buku sebagai rekanan yang hangat dalam peradaban literer.
Buku dan musik atau musik dan buku adalah dunia yang sebetulnya dekat, tapi dalam kenyataannya menjauh dan berjalan sendiri. Oleh Kampung Buku Jogja (KBJ)promotor peristiwa buku di Jogja paling militan dalam dua tahun terakhirbuku terkadang tak sampai ke pangkuan pembaca bisa jadi karena metode dakwahnya yang kelewat-lewat complicated.
Empat sekawan dalam KBJ ini, yakni Arief Abdulrakhim, Adhe Maruf, W.K. Eka Putra, dan Irwan Bajang mencoba perlawatan dengan menemui bidang kreatif lain yang saat ini digandrungi; bukan saja musik sebetulnya, tapi bisa merambat ke seni rupa semacam ArtJog atau KustomFest yang penyelenggaraannya reguler.
Perjumpaan KBJ dengan Rajawali Indonesia Communication, sebuah lembaga penyelenggara pentas-pentas musik berskala internasional, kemudian menemukan titik-kreatif yang tak biasa. Saya kira ini menjadi mudah dan cepat terealisasi karena CEO Rajawali ini, Anas Syahrul Alimi, dalam sejarah perbukuan di Yogyakarta, dikenal sebagai salah satu penggerak penerbitan independen di kurun 1999 hingga 2004. Dibesarkan dalam dua ekosistem kebudayaanyakni, keseruan dan kehangatan teks-teks buku di dunia penerbitan humaniora dan memilih promotor musik sebagai jalan profesional—MocoSik sebetulnya bisa diringkas sebagai bagian dari nukleus inti jalan hidup Anas Syahrul Alimi.
Setidaknya, hadirnya MocoSik Fest menyegarkan modus penyelenggaraan peristiwa perbukuan nasional yang makin ke sini makin kehilangan kegairahan dan kreativitasnya. Pekan raya buku dan pergelaran-pergelaran buku turunannya nyaris kehabisan gagasan untuk menaikkan kembali marwahnya dari sekadar “pekan raya buku berdiskon”. MocoSik juga membikin pekerja buku tidak sekadar sebuah komune yang menghabiskan umur mengeluhkan pajak kertas, angka melek baca yang memalukan, dan saling bunuh di rak toko buku. Selalu ada peluang dan kesempatan sebuah generasi menempatkan buku dalam sebuah atmosfer bernama siasat kebudayaan.
Sebagai entitas yang hidup dalam ekosistem kreativitas, buku lewat hubungan kekerabatannya dengan musik belum benar-benar berakhir masa suramnya. Melihat duta baca Najwa Shihab demikian bersemangat di hadapan 2 ribu peserta kala membicarakan buku yang dipandu musisi Tompi dan Glenn Fredly menerbitkan harapan ada komune yang siang malam menahan api literasi agar terus menyala dalam sapuan angin iliterasi omong-kosong di jendela kecil gawai kita.
Tanpa kemampuan literasi, demikian musisi Tompi berseru, kita tak berpijak pada argumentasi, melainkan asumsi-asumsi belaka. Dan, pendapat yang ditopang oleh asumsi seperti ini yang menjadi penyumbang utama hoax yang mematikan trust kita sebagai bangsa.
Jalan ke arah itu, dalam konteks MocoSik, adalah dengan berusaha memperpendek jarak antara buku dengan para pemegang lisensi kemudaan saat ini, yakni generasi milenial.
Caranya?
Menghadirkan dan mendekatkan wajah-wajah penulis Indonesia yang memberi pikiran dan mewakafkan tenaga dan usia mereka untuk gagasan keindonesiaan lewat puisi, prosa, esai, pidato, filsafat dalam bentuk dalam bentuk panel-panel raksasa. Ke mana pun para penonton musik ini berpaling, selalu terantuk pada wajah dan kutipan-kutipan terpilih dari penulis dan pemikir-pemikir keindonesiaan kita itu.
Panel-panel yang memanjakan mata itu digarap dengan baik oleh seniman buku senior Ong Hari Wahyu. Ong sudah lama was-was, bukan saja sebuah generasi memudar ingatannya kepada para penyumbang gagasan keindonesiaan itu, tapi juga wajah-wajah mereka. Dari panel wajah Sukarno, Hatta, hingga Gus Dur; dari Kartini hingga N.H. Dini; dari Chairil, Rendra, hingga Linus Suryadi; dari Pram, Kayam, hingga Kuntowijoyo; dan dari Tirto, Marco, Semaoen, hingga Thukul.
Ong berpikir sederhana saja, paling tidak 40 panel lebih itu menggelitik generasi yang selalu menjadi korban “nyinyir statistik 0 baca” ini untuk mencari tahu kemudian dengan cara mula-mula menjadikannya sebagai latar berfoto untuk dibagi di akun media sosial mereka masing-masing.
Penonton yang Memegang Buku
“Ayo, kawan-kawan, angkat semua buku kalian! Dan, seperti inilah pemandangan saat vokalis kelompok musik Shaggydog asal Jogja memberi aba-aba: ribuan penonton konser musik itu mengangkat tangan dan nyaris tak satu pun yang tak memegang buku.
Pemandangan serupa mirip foto-foto yang disebar para pemanggul buku keras kepala dari pojok-pojok belantara yang nirakses buku, yakni saat anak-anak yang haus bacaan mengangkat tinggi-tinggi buku-buku yang mendatangi mereka dalam sebuah perjalanan yang diperjuangkan.
Demikianlah, saat pasar politik merampas dan membobardir keheningan sanubari kita, nun jauh di sana pegiat dan aktivis literasi yang bergerak dari kampung ke kampung, dari hutan ke hutan, atau dari pulau ke pulau digembirakan bahwa panggung pergerakan buku belum habis benar dalam khasanah kebudayaan populer kiwari.
Selama tiga hari dengan sembilan penampil di panggung musik MocoSik, kita melihat untuk pertama kali dalam sejarah konser musik semua penonton memegang buku, mengangkatnya tinggi-tinggi dalam kegembiraan. Tiket konser mereka yang tak lekang itu kemudian menghuni rak buku di kamar-kamar inkubasi mereka sepulang menonton peristiwa musik.
Memegang buku sambil menonton konser musik barangkali tampak banal dan nggaya, sebagaimana kita melihat bagaimana ibu-ibu dengan was-was di sebuah kampung di Banten menanti andong membawa buku untuk anak-anak mereka yang menunggu bacaan datang.
Seperti dilaporkan Nirwan Ahmad Arsuka dalam pidato literasinya berjudul “Tentang Sastra dan Musik Semesta”, keberadaan pustakawan bergerak itu memungkinkan buku sebagai oksigen peradaban bangsa bisa menjangkau bagian tubuh terjauh. Dan itu bisa terjadi berkat jasa laskar sel darah merah yang menjadi metafora untuk menyebut pegiat pustaka yang menyalakan lilin harapan itu.
Kita butuhkan kerja-kerja seperti ini saat “kebudayaan baru ini mewabah: keinginan berkomentar di media sosial membiak sedemikian rupa ketimbang kesabaran membaca buku.
Pada akhirnya, menenteng buku di acara musik—ya, menenteng buku—sudah menjadi jalan permulaan yang lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Mirip dengan sesuatu yang sudah terlebih dahulu kita saksikan: menenteng buku dalam bingkai kamera film-film bioskop.
Dan, soal yang beginian ini sudah dicontohkan secara paripurna untuk pertama kalinya di hadapan rakyat-banyak oleh Yang Terhormat Bapak Presiden Joko Widodo sehari jelang Hari Pers Nasional 2017 di Kota Ambon. Sosok yang menaiki tampuk kekuasaan nomor satu Republik ini dengan citra sebagai penonton musik yang pintar ini pada akhirnya menyentuh buku di purnama kedua tahun 2017 atau nyaris 1000 hari sejak mesin kekuasaan untuknya dinyalakan.
Mengikuti teladan citrawi Bapak Presiden Yang Terhormat, maka menonton konser musik sambil menenteng buku adalah jalan doa awal menuju ikhtiar besar membaca musik (lebih tekun) dan menyanyikan buku (lebih sublim).
- Pertama kali diterbitkan Harian Jawa Pos, Minggu, 19 Februari 2017