Zen R.S.: “Ia si Penulis yang Lahir dari Lapangan Pancasila”

Percayalah, nama ini saya justru kenal bukan dari LPM Ekspresi UNY. Suatu sore temaram, datang tiga orang penggerak HMI MPO Komisariat Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) IKIP Yogyakarta di sekretariat bersama Kampung Kuningan H-1. Jika tak salah, tiga laki-laki yang masih bersimbah keringat membincangkan nama ini. Seakan ia adalah sebuah penemuan yang menerbitkan optimistis. Bahwa komisariat yang baru saja siuman dari tidur panjang itu kedatangan messiah, kader baru yang potensial.

“Pintar dan suka buku,” puji Caly Setiawan yang kini doktor dari Columbia University. Mereka mengeja namanya: Jejen. LK 1 HMI MPO dari FPOK dilewati si kader messiah ini —jika Anda risih dengan istilah itu, ganti saja dengan “Heru Cokro” yang pernah dinisbatkan ke H.O.S. Tjokroaminoto.

Saya tak tahu bagaimana nasib pujian itu. Sebab, si Heru Cokro ini tak pernah masuk dalam jajaran penggerak roda organisasi HMI Komisariat FPOK. Kabar yang muncul ia minggat ke jurusan lain yang letaknya di sisi timur Lapangan Pancasila. Belum lagi jelas duduk soal bagaimana aksi minggat itu terjadi (desas-desus liar bertabrakan tak keruan), si kader itu sudah menjadikan LPM Ekspresi IKIP sebagai tempat tinggalnya (dalam pengertian sebenarnya).

Rupanya, di tempat baru inilah, di rumah baru ini, ia lebih nyaman; membaca buku dan menulis berjalan bersisian. “Pertama-tama meresensi bukulah. Jika tulisan tak jadi, paling tidak kau membaca satu buku dengan tekun sampai selesai,” katanya setiap saat.

Caly Setiawan memang benar. Di LPM Ekspresi, ia menjadi salah satu tulang utama penggerak kultur intelektual di organisasi. Ia menjadi kepala sekolah. Kegilaan bacaannya menjadi-jadi karena ia kuliah di jurusan sejarah lengkap dengan kisah “perkelahian” dan “persaingan” wagu soal kuantitas resensi buku dengan profesor sejarah yang menjadi dosennya. Itu adalah pengalaman pertamanya berselisih pendapat dan berseteru yang kemudian terbawa-bawa hingga kini.

Jika mulutnya saru, itu adalah keliaran bawaan sejak orok. Ia sering bercerita tentang pengalaman jorok saat SMP di desa pinggiran kabupaten Cirebon yang sama sekali tak layak diceritakan. Terlihat tegar, tapi ia bisa melankoli dalam perburuan cinta. Namun, saya tak ingin mengingat segala banalitasnya, selain bahwa ia pembaca buku yang kuat, penulis yang cepat, dan pengingat yang baik.

Seperti “Lapangan Pancasila” yang disinggungnya di novel pertamanya Jalan Lain ke Tulehu (2014), seperti dua frase itulah rentang tema tulisannya.

“Pancasila” adalah sejarah, humaniora. “Lapangan” adalah sepak bola. Ia bisa bolak-balik dengan lincah di antara lapangan dan Pancasila itu. Hingga 2005, ia masih bergelut dengan tema “Pancasila”, terutama dalam bentuk esai dan resensi buku. Namun, sejak Piala Dunia Jerman 2006 menjadi titik berangkat paling menentukan bagaimana ia gila menulis esai bola dari sisi humanioranya, dari sisi “Pancasila”.
Dan, butuh enam tahun ia mendalami esai-esai “teknik sepak bola”. Esai-esai bola model begini yang dari awal sudah bisa ditebak mengantarkannya menjadi komentator sepak bola.

Soal cocot bola ini, soal nggambleh bola ini, ia muncul pertama kali saat geger PSSI pada pengujung tahun 2010. Di acara yang dipandu Pandji, “Proactive Provocative”, ia masih sebagai “aktivis” yang ingin memakan hidup-hidup Nurdin Halid si durjono PSSI.

Kemunculan keduanya, ia benar-benar sebagai pandit, sebagai juru cocot, peng-gambleh sekelas Bung Alif dan Binder Singh. Sebagaimana esainya yang lincah yang dibukukan dalam Simulakra Sepakbola (2016), seperti itu pula cocot-nya (juga jasnya, dasinya, bedaknya, rambutnya, sepatunya).

Mengapa begitu? Karena ia memang pemuda cerdas mula-mulanya; gak bisa terikat, dan tak gampang ditundukkan oleh aturan-aturan organisasi. Maka, jalan terbaik baginya adalah mendirikan padepokan sendiri di mana ia menjadi pimpinannya dan leluasa membuat aturan di dalamnya. Panditfootball adalah nama padepokan itu yang merupakan ejawantah dari kisah dari “Lapangan Pancasila”.

Berdirilah di Lapangan Pancasila yang kini hanya tinggal dalam kenangan tanpa nisan di Kampus Karangmalang. Ke barat agak serong ke selatan Anda akan menghadap fakultas awalnya yang ditinggalkannya dengan sebab yang masih misterius bagi saya; sebuah lapangan sepak bola dan gedung-gedung dengan fasilitas renang dan atletik yang jauh sangat memadai menjadi olahragawan. Hadapkanlah wajah Anda ke timur serong agak ke utara, niscaya Anda berhadapan dengan ruang kelas sejarah yang juga pada akhirnya ditinggalkannya dengan sesadar-sadarnya.

#TemankuOrangBukuKeren