#TurbaLiterasi Radio Buku – Menyusuri Pantai Barat Tanjung Merah – Teluk Mandar

Pantai Barat adalah sebutan “lain” yang tak resmi untuk pesisir pantai di sebelah barat Pulau Sulawesi yang membentang dari Tanjung Aga di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah hingga Barugaya di Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan. Panjang Pantai Barat ini lebih kurang 1157 kilometer.  

Perbandingan garis pantai itu sama dengan menyusuri Cilegon di ujung barat Pulau Jawa hingga Banyuwangi di ujung timur, 1154 kilometer. 

Tapi, tenang, saya tak sejauh itu menempuh perjalanan. Lagi pula, saya penulis yang jarang sekali melakukan perjalanan yang melintasi rute lebih dari 200 kilometer secara konstan, ajeg, dan diniatkan sebagai sebuah laku berjalan. Saya sejenis penulis yang bahkan malas keluar rumah jika tak benar-benar didesak oleh sebuah proyek menulis; baik yang dirancang sendiri maupun oleh Indonesia Buku. Keluar dari rumah–apalagi dalam lemparan ribuan kilometer–adalah sejenis paksaan yang sesuangguhnya berat saya lakoni, namun menantang dalam cerita. Maka, bahkan keluar rumah dan memasuki sebuah kota dalam jarak dekat, selalu menakjubkan bagi saya. Seperti halnya saya memasuki Kota Jogja sehari sebelum berangkat ke Pantai Barat di mana sudah dua dekade lebih saya berdiam, selalu menyimpan keterkejutan. Tentang produksi pakaian “batik” dan kaus, pusat perbelanjaan buku, deretan kios yang menjajakan jasa bingkai poster dan batu akik, meja-meja kerajinan dan souvenir, mal Ramai yang sepi, dan terutama sebarisan bus-bus raksasa yang berbaris panjang menuju parkiran yang luar biasa kecil. 

Oleh karena itu, jika bukan karena “dipaksa” saya tak akan memilih perjalanan ini, perjalanan yang memaksa saya menyusuri separuh jarak dari keseluruhan panjang tepian air di Pantai Barat. Ridwan Alimuddin van Pambusuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat adalah sahabat saya si “pelaut” muda, setahun silam, sudah menawarkan untuk ikut hadir di Perpustakaan Rakyat Sepekan (PRS) ke-IV yang digelar secara ajeg tiap tahun di setiap alihmusim; dari angin barat ke angin timur, dari musim hujan ke musim kemarau. 

Dengan ketakjuban yang tak pernah padam kepada Iwan Mandar–demikian ia kerap saya dengar disapa Oom Halim H.D. dari Solo–saya akhirnya keluar dari rumah, dari Jogja dan menuju sebuah ruang memori yang jauh yang tak pernah saya raih ketika dalam darah saya mengalir darah Mandar. Ayah saya asli Mandar yang tinggal di Bambalamotu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Bahkan, saya masih punya sanak di Campalagiang, Polewali Mandar. Saya mengenal nama-nama ini dalam cerita lisan yang setengah mati saya mengingatnya lantaran saya dibesarkan dalam kultur suku Kaili di pesisir Pantai Barat, tepatnya di seputaran Teluk Tompe di kawasan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. 

Walhasil, perjalanan menuju Festival Perpustakaan Rakyat di Pambusuang di Teluk Mandar adalah perjalanan kembali ke tali pusar literasi di mana saya pernah mengingatnya lamat-lamat. Turba literasi ini adalah serangkaian narasi turun ke bawah merekam dari dekat literasi di tepian air dari Tanjung Malei (Merah) hingga Teluk Mandar. 

Mari! 

* Jarak Tanjung Malei/Merah – Teluk Mandar –> 661 kilometer. 

#TurbaLiterasi #RadioBuku #PantaiBarat