Tempat Pembuangan Akhir Buku

Setelah buku diretur toko buku besar, ke mana pembuangannya? Ke Raja Murah, Yusuf Agency, pameran buku. Sudah, itu saja” ~ Adhe, founder Octopus dan Dewan Pendiri Kampung Buku Jogja

Jika Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jogja adalah “representasi” negara-swasta yang menentukan jajaran genjangnya wajah buku, maka sudah hampir dua tahun mereka tak mengadakan pameran buku. Seburuk apa pun wajah pameran itu. Padahal, pameran buku adalah salah satu tempat pembuangan akhir buku (TPB).

Jika Ikapi Jogja sudah kehabisan imajinasi dan tenaga untuk merayakan buku walau itu sekadar pergelaran pembuangan buku akhir, bagaimana kita menitip asa yang berlebih pada wacana besar pembebasan Indonesia yang punya 80 ribuan desa ini bebas dari fakir (akses) bacaan.

Jika penerbit yang memiliki cadangan cashflow lebih baik saja berhitung untuk melakukan apa pun yang tak mendapatkan batih banyak memunggungi gelanggang besar, lalu harapan macam apa lagi hanya untuk mengatakan “Industri Buku” bermanfaat untuk persebaran bacaan untuk rakyat banyak.

Ikapi itu wajah negara, walau bukan benar-benar lembaga di bawah negara. Posisinya seperti MUI dalam soal keagamaan. Inovatif Ikapi dalam kerja buku, optimisme pula kita kepada negara menyediakan bacaan apa yang dibutuhkan rakyatnya. Ogah-ogahan Ikapi, ogah-ogahan pula negara menyuapi rakyatnya dengan bacaan.

Apa kata Ikapi, itu kata negara. Lha, kalau Ikapi Jogja malas-malasan, ya itulah wajah pemangku negara: malas-malasan.

Soal memajukan industri buku untuk perayaan bacaan lebih luas dan merata di seluruh Nusantara itu mesti dilakukan oleh kerja sama pelaku buku “major label” dengan pemangku negara.

Hal-hal seperti itu bukan pekerjaan komunitas, aktivis literasi yang kere, atau penerbit-penerbit kecil yang hanya punya uang mencetak buku 300 eksemplar setiap judul dan “share proverty” dengan reseller-reseller dari pemuda-pemuda yang putus asa menunggu datangnya pekerjaan lain yang lebih mapan.

Ekosistem literasi dari pelaku buku kecil ini jangan juga kemaruk bisa menyelesaikan persebaran buku untuk seluruh Nusantara ini. Jangan. Kelompok “sarekat kere” ini mesti sadar dengan takdirnya yang hanyalah penjaga mata air semangat agar gerak itu tetap ada; walau gerak itu sekadar gerak-gerik yang menggelitik kalangan yang memang bisa digelitik.

Kita memang berterima kasih kepada sarekat-sarekat kere yang masih merawat mata air perbukuan di Jogja, sebagaimana dilakukan Kampung Buku Jogja, Mocosik, atau bazar buku yang dihelat aktivis di kampus-kampus. Bahkan, yang giat menyelenggarakan pameran hingga di kabupaten-kabupaten yang mustahil dijamah pameran buku itu justru EO swasta macam 3G Production. Dan, nyaris event organizer yang dikomadani Hinu Os ini menjadi pemain tunggal untuk menjangkau sesuatu yang sesungguhnya bukan porsinya.

Mereka ini memekarkan potensi-potensi kecil, menjual kecil-kecilan, berbagi rasa kemiskinan dalam penjualan daring. Mereka ini bermain di hulu yang sunyi, terpencil, tapi bahagia. Jika semangat sedang membesar, mereka bikin peristiwa buku dalam skala besar. Mungkin asupan makanan mereka masih organik dan terpapar oksigen nomor satu untuk semangat bermain-main di buku dalam satu prinsip kere: sacukupe.

Mestinya pelaku buku yang dianugerahi Tuhan modal besar bermain di keramaian, pasar malam yang megah, melayani umat banyak, menghidupkan industri buku untuk pasar besar demi rakyat banyak.

Aturan main sosialnya begitu: yang punya banyak uang yang mestinya punya porsi tanggung jawab yang lebih besar. Misalnya, membuka infrastruktur paling minimal dalam persebaran belanja buku, yakni toko buku yang representatif di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul.

Tapi, jika enggan juga jalan sendiri karena takut miskin kembali, penerbit-penerbit dengan terbitan ribuan eksemplar setiap judul itu punya posisi tawar yang lebih baik berbicara pakai pelantang di telinga pemangku negara untuk membangun infrastruktur buku bernama “pasar buku baru” hingga ke kabupaten kota yang ratusan jumlahnya itu.

Jika itu pun sulit, ya, ajaklah Kepala BUMN yang membawahi pos dan telekomunikasi itu barangkali bisa membuka lini usaha barunya yang sudah bejibun itu untuk menjadi warung buku hingga di level kecamatan. Sebab, pos ini kantornya di mana-mana dan punya armada pengiriman yang dibutuhkan untuk suplai buku. Tunjukkanlah foto gunungan buku returan dalam audiensi itu yang bahkan tak terserap bila hanya “dibuang” di pameran buku yang kehilangan penyelenggara utamanya.

Jika itu pun tetap tak bisa, tolong, yang besar jangan menelan sarekat kere yang bermain menjaga mata air di ceruk-ceruk bukit dan gunung sana. Atas nama apa pun. Apalagi atas nama pamer kekayaan.

Jika itu pun tetap tak bisa, anggap saja esai ini tak ada. Dan, kehidupan kembali “normal”. Kelar.