Garuda (Memang) “Kafir”

 

Dari Kota Semarang, garuda dikafirkan oleh poster yang beredar di lingkup akademia Universitas Diponegoro (Undip). Saya pastikan, para pembikinnya terkena sanksi berat dari kampus seakan mereka adalah pelaku-pelaku makar pengguling kuasa negara.  Tidak hanya karena garuda adalah bagian inheren dari visual konstitusi utama, melainkan juga posisi politis garuda.

Nama dan visual garuda secara verbal terdapat dalam hukum positif. Artinya, ia bukan burung biasa, melainkan hewan (mitos) yang luar biasa dilindungi di ruang lingkup “NKRI”.

Tapi, karena mendapatkan perlindungan secara “berlebihan” itu kemudian garuda pancasila (gardala) dalam politik harian kerap menjadi dalih untuk kepentingan-kepentingan rendahan segelintir kaum.

Demi pemurnian nilai gardala, segerombol tentara memimpin sebuah eksekusi mati massal kepada kaum yang di tahun 1957 hingga 1958 berjibaku mengembalikan UUD RI pada kerangka awal semangat revolusi 45.

Anda tak bisa bayangkan bagaimana ormas yang pada namanya melekat “Pancasila” terlibat secara terang-terangan dalam pembubaran pameran seni rupa, pertunjukan film dokumenter, dan serentetan bentuk pemaksaan yang lain dengan jalan fasisme.

Puluhan tahun kita saksikan, untuk menghancurkan suatu kaum yang berbeda, cara paling gampang adalah memosisikannya vis a vis dengan gardala. Untuk memukul petani yang menggelar kegiatan pembangkangan melawan pemerintah korup yang menyokong pengusaha serakah, labeli saja petani itu dengan antigardala. Sesederhana itu, gerakan itu pasti gembos.

Oleh karena itu, gardala tinggallah berhala dua dimensi dengan mata kosong di sebuah dinding utama kamar kerja seorang menteri atau dirjen saat mereka merancang korupsi uang negara secara berjemaah. Atau, seorang aparatur sipil negara yang tak ada risih sama sekali dengan gardala di dinding ruangannya asyik main gim soliter di jam kerja pelayanan.

Di satu sisi pemerintah marah dengan aktivitas merokok warganya dengan bikin statemen “bunuh membunuh” di bungkusan rokok, tapi di pita cukai pajak rokok itu  gardala ditempatkan untuk memalak para pengusaha rokok. Lihatlah, ini pendidikan kewargaan macam apa.

Pengabaian gardala seperti itu berlangsung masif dan sistemik dalam praktik harian berbangsa dan bernegara. Gardala betul-betul telah menjadi visual kafir yang menjauh dari sukma para penggedenya yang justru hidup dari pajak negara yang saat ini diuber sedemikian rupa.

Gardala pun tak ubahnya sekadar pupur tipis dalam bersolek di kaca buram aparatur negara tiap hari Senin. Atau, mantra hapalan dalam penataran menyambut datangnya pegawai baru.

Betul, sosok gardala memang hadir hingga di depan-depan gang kampung atau di poskamling. Kehadirannya yang masif semacam itu dirancang oleh niat “mulia” untuk meng(h)ajar warga untuk eling kepada nilai bersama mengapa kita masih satu lagu kebangsaan dan masih satu negara.

Namun, kehadiran yang masif dan dipaksakan itu justru melahirkan pelupaan massal yang membuat gardala tak ubahnya sekadar visual dekoratif.

Gardala barangkali masih sakti untuk menggertak para pelaku teror (negara), namun dalam keseharian ia sungguh payah. Hanya di momen-momen tertentu gardala bisa merasuki sanubari, seperti ketika Timnas PSSI main bagus di stadion negara-negara Asia Tenggara atau saat negara (tetangga) serumpun berulah. Selain momen-momen itu, gardala tak ubahnya adalah berhala kafir yang dekat dalam santiaji, tapi sungsang dalam amal.

Kita bisa saja marah dengan anak-anak muda di Undip Semarang, tapi kemarahan itu hanya pengulangan kemarahan yang sama yang sudah-sudah. Kita tak pernah risau bahwa gardala sebetulnya merana, rudin, kian dekil dalam makna dan amal.

Di lapangan sejarah, yang kita temukan, justru tukang teriak bergardala secara murni dan konsekuen itulah yang kerap mengubah gardala sebagai senjata penggebuk bhinneka tunggal ika.