Kalau Bu Mega Tak Mau Berbaris Bela HAM ’65, Kalian Mau Apa?

Saat tentara menjadi garda depan acara nonton bareng film yang sudah dihentikan pemutarannya oleh Presiden B.J. Habibie sejak 1998, saya sesungguhnya tak kaget. Laskar, terutama dari kalangan “umat” Islam, ikut saja apa kata tentara. Apa kata tentara, ikut dah. Nggak kata tentara, ya nggak. Lupa mereka, tentara yang (masih) berpostur sama ini juga turut membedil tokoh-tokoh umat di Priok, Lampung, dan menangkapi aktivis-aktivis masjid di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Ingat? Kebanyakan makan micin sejarah kau, Bung Penulis.

Jelang dua dekade berjalannya Reformasi ini, tentara  memang mulai kembali pulih kesehatannya dari bayang-bayang dilahap sebuah kekuatan massa. Untuk membuktikannya, mereka mengetes dari film Pengkhianatan G 30 S/PKI besutan Arifin C. Noor, yang oleh penulis film kebanggaan saya, Ardyan M. Erlangga, disebut sebagai film terbaik sepanjang massa yang pernah dibikin orang Indonesia.

Tentara ingin bermain simbolik. Nggak asal seruduk. Dan, “PKI” adalah tiga huruf yang selalu bikin kzl, kzl, dan kzl Presiden RI Joko Widodo dan PDIP. Titik tembak terlemah ini yang ingin dites tentara.

Tampaknya, ada lampu hijau. Menteri Dalam Negeri RI Tjahjo Kumolo yang merupakan sosok dalam Ring 1 Bu Mega mempersilakan nonton bareng. Jika yang mempersilahkan itu adalah para kritikus film, mungkin tak punya gaung apa-apa. Tapi berbeda jika itu suara pejabat teras terpenting pemerintahan, semuanya menjadi lain.

Belum juga nonton bareng itu terjadi, muncul peristiwa yang lain, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang mengadakan seminar penegakan HAM 65 disatroni polisi. Bahkan, cara polisi memperlakukan Kantor LBH Jakarta itu tak ada presedennya dalam sejarah; lebih kasar dari aparatus Pak Harto.

Ceritanya sudah klop? Belum! Seminar bubar, para aktivis bikin “AsikAsikAksi” di LBH yang isinya stand up comedy dan nyanyi-nyanyi. Umat pun datang menyerbu, sampai ribuan orang!

Masih ada pertanyaan yang menggantung dan menjadi misteri, mengapa dua kali PDIP ini mengantarkan kader terbaiknya sebagai presiden RI—Bu Mega dulu, Pak Jokowi kini—penegakan HAM berat ‘65 ini seperti mandek.

Bola kian liar karena pengandaian sejarah di pikiran orang memantul-mantul tak keruan. Kantor LBH yang menjadi benteng penegakan HAM terkuat di Indonesia—bahkan menjadi barisan terdepan membela Bu Mega dan Mas Budiman dari represi rezim Orde Baru—bisa digitu-gituin, apalagi tempat yang lain.

Bikin kzl, kan, Bung dan Nona? Seseorang yang kita gadang-gadang membawa hawa segar penyelesaian kasus HAM berat (pembantaian massal) 1965-1966 karena sebelumnya turut menjadi si teraniaya, justru saat mendapatkan kekuasaan yang luar biasa besarnya menjadi majal, menjadi … ah, sudahlah.

Kalian kira saya tidak kesal? Tentu saja, Bung dan Nona. Namun, kekesalan saya perlahan melenyap dan saya merebut lagi kewarasan saat tahu bagaimana daftarisi hati Bu Mega terkait HAM 65. Mestinya daftar isi hati Bu Mega ini sudah diketahui aktivis-aktivis peduli HAM yang mungkin pada Pemilu 2014 mempercayakan sepenuh hati kartu suaranya untuk memilih kader terbaik Bu Mega menjadi Presiden RI, Pak Ir. Joko Widodo.

Jadi, begini …. Berhentilah memberikan harapan yang besar bahwa Bu Mega—dan tentu saja kader-kader terbaik dan terdekat beliau—akan menyelesaikan kasus HAM dan pembantaian massal orang kominis ini.

Bukannya Bu Mega tak mau. Tapi, pinjam kata-kata Bu Mega sendiri: “Bung Karno Proklamator (itu), masih terjerat oleh Ketetapan MPRS yang nggak puguh-puguh. Jadi, dia itu selalu dikaitkan dengan suatu pasal yang seakan berkonspirasi dengan partai komunis sehingga menjatuhkan pemerintah. Lha pemerintahannya itu pemerintahan bapak saya. Masak, bapak saya menjatuhkan bapak saya? Nah, ini yang saya bilang nggak puguh-puguh. Nah, ini kan nggak ada yang meng-klir-kan sebetulnya harus bagaimana. Mencabut (Tap MPRS No 25/66) atau bagaimana?”

Sampai di situ jelas, klir, Bu Mega sadar dan sangat dekat dengan derita yang diguncangkan tragedi nasional pembunuhan massal 65 yang membuat Sukarno dan keluarganya turut menjadi paria. Jika kalian sangat keras mengutuk peristiwa 65 dan sudah merasa jago banget dengan modal itu, lha terus Bu Mega bagaimana?

Bu Mega, sekali lagi, tahu jua betapa kalian itu nggerundel hebat. Jangan dikira Bu Mega tidak tahu kegelisahan kalian soal itu.

Berkata Bu Mega, “Waktu saya presiden, saya ditanyai hal itu. Saya jawab, tidak sepatutnya saya yang menyelesaikan, saya ini anak keturunannya. Sepanjang sejarah bangsa nanti, saya akan dibaca begini, ‘Oh, jadi anak turunannya juga yang menghilangkan bahwa dia itu bukannya—katakan, kalau kasarnya—pengkhianat’.”

Saya berhenti di sini dulu. Poin utama di paragraf kutipan itu: Bu Mega nggak enak hati ia membela penderitaan masa lalu diri dan keluarganya sendiri. Bukan karakter Bu Mega mendahulukan kepentingan keluarga dari “kepentingan yang lebih besar”. Bu Mega sepertinya sudah pasang badan, bahkan jika kelak disebut PKIpengkhianat (keluarga).

Jika sudah soal sakit kepada diri sendiri, Bu Mega tampaknya berat betul melakukan pembelaan saat diberi kesempatan melakukannya. Sampai di sini, saya menjadi paham, kasus kekerasan “Kudatuli” 27 Juli (1996), misalnya, sudah dinyatakan “selesai”. O, o, penonton kuciwa.

Jadi, tidak usah terlalu risau dan gundah karena Pak Mendagri Tjahjo Kumolo, yang notabene adalah tokoh terdekat Bu Mega, mempersilakan nonton bareng film Pengkhianatan. Bahkan, jika pun dua buku yang mendakwa PKI sebagai bajingan dan penjahat tiada banding di muka bumi ini dicetak massal lagi 100 ribu eksemplar dan dibagikan lagi di semua sekolah di segala tingkatan, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani tampaknya oke-oke saja. Toh, apa kata Bu Puan, Pak Mendikbud Muhadjir mau apa.

Tanpa dua buku agung ini, Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia(Nugroho Notosusanto & Ismail Saleh, Jakarta: Intermasa, 1968) dan Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994), film Pengkhianatan G 30 S/PKI itu kesepian.

Kembali ke pokok soal tadi. Sikap Pak Tjahjo Kumolo, dan (mungkin) Bu Puan menyusul kemudian, sebelum betul-betul disibukkan makin banyaknya acara OTT KPK, masih satu garis dengan “keluhuran” sikap Bu Mega untuk “tak membela” sesuatu bilamana itu melibatkan keluarganya. Sebesar dan sekelam apa pun itu dalam semua tinjauan kemanusiaan.

“Kan nggak lucu dong,” lanjut Bu Mega, “mestinya orang lain, sebagian dari bangsa yang gede ini, yang meng-klir-kan. Coba dong Bung Karno itu mau ditetapkannya bagaimana? Tap MPR itu dicabut? Nggak. Terus, saya mau dijadikan Ibu Bangsa? Terus, disuruh ngapain?”

Nah, Bu Mega menyodorkan korpus terbuka. Terus, disuruh ngapain?

Ketimbang mendorong Bu Mega dan Pak Joko Widodo untuk menyelesaikan sesuatu yang “mustahil” mereka selesaikan karena menyangkut soal “keluarga” yang boleh jadi akan nggak lucu dong, lebih baik konsolidasikan kelompok yang sependapat. Berorganisasi yang kuatlah, ber-apa-lah. Nggak usah menggantungkan harapan di pihak yang keliru.

Nasib adalah kesunyian masing-masing, kata seorang penyair. Sebab, bukan saja soal HAM 65 yang tersangkut langsung kepada Bu Mega dan keluarganya yang dianggap “selesai”, yang tak ada sangkut-pautnya pun kayaknya juga sudah “diselesaikan”. Daftarnya sudah dibikin jurnalis-jurnalis nggak keren dari situs abal-abal bernama tirto.id yang saya yakin dibaca Bu Mega, tapi sekalian di-swipe leftseperti yang biasa dilakukan para pemburu cinta di aplikasi Tinder.

Sampai di sini, saya ingin sekali mencium punggung tangan tiga (mantan) jenderal teman keren Pak Ir. Joko Widodo, yakni Pak Menko Wiranto, Pak Menhan Ryamizad, dan Pak Hendropri. Lalu, swipe left.

* Diterbitkan pertama kali di mojok dot co, 20 September 2017