Agar Umat Islam Tak Lagi Galak dengan Komunis

Salah satu scene yang paling banyak disorot para peneliti di film Pengkhianatan G 30 S/PKI karena ketakakuratannya adalah drama penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya—selain, tentu saja, asap rokok Ketua Osis PKI D.N. Aidit yang seperti sepur Surabaya-Jakarta.

Ada yang tak pernah disorot, yakni scene awal setelah kamera menyorot Lubang Buaya. Scene saat narator memberi latar sebelum malam pembunuhan para jenderal berlangsung. Di sana, narator menyebut dua kata kunci pemicu ucapan-ucapan kiwari (mantan) Jenderal Kivlan yang notabene adalah aktivis (Brigade) Pelajar Islam Indonesia (PII) yang ganas terhadap apa saja yang ber-BAU PKI.

Kata kunci narator itu adalah: “PII” dan “Kanigoro”.

PII bangga dong disebut dalam sebuah film kolosal yang bersekutu sempurna dengan alam pikiran manusia Indonesia selama 20 tahun lebih. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga disebut. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) nggak. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) senasib dengan organ Muhammadiyah itu. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) nggak kelihatan sama sekali, apalagi Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND).

Keluarnya nama “PII” dalam film itu memiliki makna yang sungguh dalam—dan melahirkan dendam yang tak bertara. Scene peristiwa “penyerbuan” masjid di lingkungan pesantren Al-Jauhar, Kanigoro, yang diasuh H. Jauhari itu dijadikan bara pengobar dendam memperhadapkan PKI dan ormas Islam hingga di struktur paling bawah.

Kanigoro yang secara geografis hanyalah noktah amat sangat kecil justru menjadi menu utama dalam kurikulum Basic Training (Batra) PII. Secara politik, desa di Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur itu memegang posisi penting dan sekaligus menjadi bensin yang menggerakkan hasrat pembunuhan besar-besaran atas mereka yang dituduh sebagai umat komunis.

Jika yang saya dapatkan saat menonton film Gestapu (sebutan lain fim Pengkhianatan) hanya kelam dan rasa takut, tapi tidak ketika saya memasuki pintu gerbang PII. Saya mengenal PKI lebih jauh dan teramat-amat kejam, justru dari Basic Training, justru ketika sejarah PII memasuki desa kecil Kanigoro.

Cerita Kanigoro dikipas sedemikian rupa hingga mencapai titik didih yang tak terbayangkan, untuk menjadikan seorang muslim ringan tangan membantai saudara sekampungnya, sekotanya, untuk sebuah misi yang “direstui” Tuhan.

Buku “pegangan” di Batra itu adalah buku karya Anis Abiyoso dan Ahmadun Y Herfanda, Teror Subuh di Kanigoro (1995). Buku ini diterbitkan ulang tahun 2016 di Jogja oleh Papi Buldanul Khuri dengan penerbit barunya, Mata Bangsa. Buku tipis yang kini dijual secara indie dan terbatas oleh Papi Buldanul Khuri itu merepresentasikan narasi tunggal yang “direstui” pemerintah untuk mengabadikan betapa PKI itu nauzubillah bejatnya.

Jika Kanda Kivlan garang, jika Kanda Taufiq Ismail sampai pikun terus melawan PKI-Lekra di semua seminar dan diskusi, jika PII ada di semua demonstrasi antidiskusi kiri yang mereka gadang-gadang sebagai selimut PKI; pahamilah, betapa “Teror Kanigoro” dianggap sebagai peristiwa tak terampuni. Kapan pun, di mana pun, hingga kelak sehari sebelum kiamat tiba.

Semua kader PII—baik kader kimcil maupun kader matang dan kader berusia magrib—menerima penggambaran Kanigoro di film Pengkhianatan itu secara absolut tanpa tanya-tanya lagi.

Dendam Berkarat di Kanigoro

Kanigoro jika dilihat dari segala aspek memang isu yang paling basah untuk dieksploitasi. Terutama sekali untuk menggerakkan dendam. Semua unsur-unsur pembakarnya jelas tersedia: agama (PII), ateis (PKI dan ormas-ormasnya), masjid (rumah suci), dan kitab suci (Quran).

Bayangkan saja, jika tergeletak scene cerita orang-orang ateis subuh-subuh mengamuk dalam masjid tanpa melepaskan alas kaki. Mereka dengan brutal membubarkan peserta mental training yang diikuti sekira 127 kader PII se-Jawa Timur di bulan suci Ramadan. Imam salah subuh dianiaya, leher kiai dikalungi arit.

Tak sampai di situ saja. Gerombolan itu juga mengobrak-abrik kitab suci di lemari tua dan memasukkannya ke dalam karung serta selanjutnya menghamburkannya di halaman masjid.

Bayangkan, jika cerita itu yang tersebar di seantero Kediri lalu melintas menjadi isu panas di Provinsi Jawa Timur. Bayangkan bagaimana amarah mendidih mendengar perilaku orang-orang komunis itu sehingga ketika mereka digorok semuanya, perbuatan setan mereka masih belum termaafkan.

Arifin C. Noer dalam Pengkhianatan G 30 S/PKI memvisualkan “Teror Kanigoro” itu secara paripurna. Di sebuah masjid desa segerombol massa berzirah hitam-hitam memasuki masjid tanpa perlawanan. Menembaki jemaah yang salat. Arit berkelebat membabat kader-kader PII yang sedang khusyuk mendengarkan lantunan imam membaca surah-surah. Dengan arit juga, gerombolan itu memporak-porandakan kitab suci.

Narasi itu disodorkan secara tunggal tanpa interupsi dan pleidoi apa pun. Ia dijaga rapat oleh sepatu lars kekuasaan untuk pembentukan opini laten; bahwa PKI yang ateis mursal itu adalah seterkutuk-kutuknya kaum. Sudah tak bertuhan, bikin onar di mana-mana, melecehkan agama pula. Sempurna.

Politik Menggoreng Kanigoro

Kita tak pernah mendapatkan narasi lain atas Kanigoro. Saya berpikir ulang tentang “Peristiwa Kanigoro” ini setelah saya menemukan tiga kliping buram di Harian Rakjatedisi 11, 12, dan 13 Februari 1965. Semua kader PII nyaris tak pernah disodori narasi-narasi lain untuk mereka waspadai siapa sebetulnya yang menang besar dari propaganda Kanigoro ini.

Di kliping itu, dua hal yang langsung dibantah PKI atas apa yang disebut “penggeropjokan” Kanigoro. Pertama, “penggeropjokan” itu tak dilambari oleh semangat memusuhi agama Islam, tapi semata karena soal politik; bahwa “pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2”.

Oleh Pemuda Rakjat dan BTI, tokoh bernama Samelan itu ditengarai hadir. Sekaligus mereka saat itu meminta tanggung jawab panitia yang sebelumnya sudah berjanji tak menghadirkan Samelan.

Kedua, PKI mengeluarkan keterangan resmi bersama Front Nasional Jawa Timur di mana terdapat unsur NU dan Kepolisian di dalamnya bahwa tak ada “anggota PKI meng-indjak2 Al Qur’an”. Isu bahwa “dalam peristiwa Kanigoro telah di-indjak2 Kitab Sutji Al-Quran”, jawaban Front Nasional tegas: “itu tidak benar”. Itu kata Komandan Kodim dan sekaligus Ketua Front Nasional Cabang Kediri Mayor Mukadji.

Hubungan Ansor dan Pemuda Rakjat bagaimana? Dalam perjumpaan kedua organ pemuda anggota keluarga besar Front Nasional untuk menengarai desas-desus liar diperjelas bahwa Ansor sama sekali tak menyetujui dan tak ikut dalam “mental training PII se-Jawa Timur” itu.

Pengurus Besar Front Nasional mengemukakan “penggeropjokan” itu adalah hasil keputusan rapat Front Nasional di Kras pada 19 Desember 1964 dan 11 Januari 1965 yang didahului statemen dua organ anggota FN, yakni NU dan PKI tentang ketersetujuan diadakan pelarangan ceramah keagamaan oleh oknum-oknum ex Masyumi.

Penggerebegan dilakukan BTI dan Pemuda Rakjat karena Samelan yang terkena kartu merah untuk berceramah hadir di Mental Training. Samelan juga adalah anggota BPH dan DPRD-GR Tingkat II Tulungagung.

PKI merespons isu liar berkembang itu dengan luar biasa hati-hatinya. Nyaris sepanjang Januari setelah hari penggeprojokan 13 Januari hingga pekan pertama Februari, pimpinan Politbiro dan koran PKI Harian Rakjat tak menurunkan sepotong pun berita reaksi sebelum Tim Riset dari PB Front Nasional menyelesaikan tugas mereka.

PKI sadar betul, isu agama sangat sensitif dan mereka tak mau bermain-main dengan api itu.

“Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang, ‘anggota PKI meng-indjak2 Al Quran’. Tema ini sadja pun sudah menundjukkan, bahwa maksud sipembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.” Demikian pernyataan resmi PKI dalam Editorial Harian Rakjat.

Data tambahan lain yang dihimpun Sari Emingahayu (2007) menunjukkan bahwa Kanigoro adalah basis merah. Secara statistik saja, pada pemilu 1955 di Kediri PKI memperoleh suara 31,2 % (15 kursi), disusul NU 20% (6 kursi), PNI 19,5% (6 kursi), Masyumi 11,3 (5 kursi), PSII (1 kursi), dan Parkindo (1 kursi).

Tapi, mengapa PII “nekad” mengadakan training berskala besar di kampung ini. Belum lagi sudah jadi rahasia umum bahwa PII adalah famili dekat Masjumi yang dibubarkan pemerintah karena keterlibatannya di sejumlah “pemberontakan” di Sumatera.

Isu lain yang meresahkan juga muncul bahwa elite-elite PII, baik di Pengurus Besar (PB) maupun Pengurus Wilayah (PW), mendapat perintah dari Jenderal Abdul Haris Nasution agar mengintensifkan kegiatan-kegiatan Mental Training atau mantra di daerah basis PKI.

Yang bisa kita baca adalah: ini bagian dari kejahilan tentara dengan mengumpankan PII untuk memancing amarah kader PKI agar masuk dalam perangkap yang di kemudian hari bisa digoreng untuk memukul mereka sampai kelenger setengah abad lebih.

Namun sayang, narasi seperti ini menguap begitu saja dan tak pernah berguna di mahkamah sejarah di mana PKI kalah segala-galanya. Narasi seperti ini tak pernah ada dalam indera dengar kader-kader kimcil PII, karena ketiadaan informasi tandingan yang membuat mereka mendapatkan celah empati kemanusiaan; sekecil apa pun itu.

Dan kini, di sini, narasi begini tetap senyap setelah peristiwa itu berlangsung setengah abad lebih dan telah melahirkan lubang luka yang sangat mengerikan.

PII tetap berbaris bersama tentara yang menguber dan menembaki dan memenjarakan mereka di kasus Asas Tunggal sejak 1985 hingga Orde Tentara tumbang pada 1998. Jika narasi lain seperti saya paparkan di atas tak pernah masuk dalam kurikulum sejarah mereka, PII akan tetap menjadi organ terpelajar yang galak, bukan kepada tentara yang memburu mereka hingga jadi organ paria dan terlunta-lunta, melainkan kepada PKI semata wayang yang sudah setengah abad lebih jadi hantu.

Dan umat Islam perlu tahu narasi ini.

Diterbitkan pertama kali mojok dot co, 28 September 2017